Termasuk yang paling anyar adalah pernyataan Wali Kota Semarang [pendukung Jokowi] meminta masyarakat yang tidak mendukung Jokowi untuk tidak menggunakan tol yang dibangun pemerintah. Bukankah ini pernyataan sesat seorang pejabat publik?
Gejala politik seperti itu harus sudah dihentikan. Kita harus kembali kepada khitoh politik kebangsaan. Dimana yang menjadi perhatian utamanya adalah memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara, melindungi segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, aktif menjaga perdamaian dunia, membela hak-hak negara tertindas, dan membawa negara ini kepada negeri yang 'baldatun toyyibatun warabbul ghafur.'
Wacana capres dan politisi Indonesia haruslah berbasis ideologi besar NKRI. Mengelaborasi pemikiran-pemikiran dasar dan besar demi memajukan Indonesia sampai satu abad kedepan tentu lebih elegan dan terhormat daripada mereka bicara tentang apa pekerjaan mereka di masa lalu, keturunannya, bahkan mengeksploitasi keluarga untuk kepentingan politik sesaat.
Kita sangat sepakat apabila tradisi politik dalam setiap pemilu selalu diisi dengan konten-konten yang mencerdaskan. Sehingga narasi yang dibangun memiliki argumentasi yang kuat.Â
Argumentasi yang logis, sahih, dan berkualitas. Bukan sekedar alibi atau menambatkannya pada cara pandang yang keliru. Dalam konteks inilah pemilu akan bermakna, karena siapapun yang terpilih berarti memang sudah teruji.
Oleh karena itu sekarang mari kita bicara tentang ekonomi negara, keuangan global, pembangunan manusia Indonesia, yuk kita bedah sistim hukum yang berkeadilan, mari pikirkan strategi menghilang korupsi di negara ini.Â
Dengan begitu, generasi muda dan rakyat akan merasa bahwa politik, pemilu, berarti hajatan penting bagi kehidupan masa depan bangsa dan negara.
Kita harus membuka cakrawala publik dengan informasi yang berbobot. Bukan sebaliknya, politisi menyajikan pentas drama keluarga yang bikin baper dan menghilangkan nalar. Itu bukan politik, tetapi badut politik.Â
Bagaimana badut politik? Mereka dihadirkan untuk menghibur penonton dan yang membayar dengan berlindung dibalik baju "kebesarannya". Badut tampil bukan seperti karakter asli pemainnya. Badut politik juga begitu, mereka berpolitik berdasarkan pesanan.
Bila mencermati kondisi terkini tentang dinamika politik, patut kita sedih dan risau. Pasalnya, pilpres terlihat mulai bergerak kepada perpecahan bangsa. Mungkin hal terjadi secara perlahan.Â
Yang tanpa disadari suatu saat akan terakumulasi menjadi sebuah pemicu kehancuran bangsa Indonesia. Siapa yang menghancurkan? Bangsa kita sendiri.