Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Freeport, Utang Negara, dan Masa Depan Kesejahteraan Bangsa di Tangan Presiden Baru

29 Desember 2018   10:51 Diperbarui: 29 Desember 2018   17:11 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : manado.tribunnews.com

"Kalau ada pengamat menyampaikan bahwa yang diperjuangkan dan dilakukan oleh pemerintah dibawah Presiden Jokowi adalah tindakan dan keputusan Goblok, saya hanya ingat nasihat almarhum Ibu saya: Seperti pohon padi, semakin berisi semakin merunduk, semakin kosong semakin jumawa," tulis Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan Republik Indonesia

Ucapan Sri Mulyani Indrawati sang Menteri Keuangan terbaik dunia tersebut meluncur karena masih ada saja yang menilai negatif soal langkah pemerintah tekait dengan akuisisi PT Freeport Indonesia (FI) beberapa waktu lalu. Mulai dari ekonom, mantan menteri, hingga netizen masih ramai membahas. Bahkan, keputusan pemerintah ini pun disebut keputusan goblok. Inilah yang membuat Sri Mulyani bereaksi dengan mengeluarkan kata-kata bijak ibunya.

Tapi mengapa para ekonom, bahkan mantan menteri yang tentu saja bukan orang-orang sembarangan itu mengatakan Jokowi dan jajarannya (pemerintah) goblok? Atau siapakah sebenarnya yang goblok? Nah, tentu saja rakyat yang sebelumnya mengikuti persoalan FI sejak masa orde baru hingga kini, pasti memiliki penilaian sendiri terhadap dinamika dan keputusan pemerintah di bawah komando Jokowi.

Saya sendiri termasuk bukan rakyat yang sangat memahami secara persis bagaimana FI pada posisi sebenarnya. Baik dalam konteks ekonomi korporasi, hukum ekonomi internasional, apalagi bicara FI bisa berefek kemana-mana. Maksudnya apapun yang dikatakan dan dilakukan pemerintah RI terhadap FI, mata dan kuping dunia selalu memantau dan "menguping".

Hal tersebut tentu bisa dimengerti, mengingat FI merupakan perusahaan pertambangan besar dunia yang memiliki kepentingan untuk menjaga stakeholder dan investor mereka di luar negeri. Apalagi FI sudah melakukan kerjasama dengan beberapa negara lain. Oleh karena itu kepentingan seluruh negara-negara tersebut terhadap FI sangat tinggi.

Saya rasa itu pula kesan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan dan termasuk Presiden Jokowi juga merasakan hal yang sama. Namun desas-desus itu tentu sudah diketahui sejak lama, jadi siapapun yang memegang kendali pemerintahan di Indonesia pasti tidak bisa mengelak hal ini. Karenanya tidaklah tepat untuk dijadikan sebagai alasan untuk tidak bertindak dan berbuat sesuatu terkait PT FI dan upaya divestasi FI menjadi lebih besar bagi RI.

Dan upaya mengembalikan kepemilikan Freeport Indonesia dalam bentuk saham berhasil dilakukan oleh rezim Jokowi. Dengan komposisi 51% kepemilikan saham Indonesia, maka Indonesia menjadi pemegang saham mayoritas. Untuk keberhasilan ini saya ucapkan selamat.

Berangkat dari langkah suskes rezim Jokowi-Jk membeli Freeport yang menurut sebagian ekonom yang kontra--- tidak perlu membeli karena memang Freeport perusahaan yang berada diwilayah hukum Indonesia dan mereka hanya memegang kontrak dengan Indonesia---bagaimana nasib FI kedepan.

Konon untuk membeli saham Freeport, pemerintah Indonesia menggelontorkan lebih kurang 57 triliun rupiah. Oleh PT Inalum sebagai perusahaan holding yang mengakuisisi saham Freeport dengan menerbitkan obligasi untuk mendapatkan pembiayaannya. Dengan kata lain PT Inalum melakukan utang untuk modal.

Ini pula yang disindir oleh mereka yang tidak sepakat dengan langkah rezim. Dengan modal dengkul plus utang, dan beli perusahaan yang seharusnya masih memiliki strategi lain yang lebih menguntungkan Indonesia tanpa harus mengeluarkan dana hingga puluhan triliun. Dalam hal ini mereka mengatakan rezim goblok. Itulah dasarnya.

Namun dibalik itu sesungguhnya ada sesuatu yang memudahkan PT Inalum menjual obligasinya ke investor sehingga puluhan triliun rupiah tersebut cepat terkumpul, ya bahwa investor masih memiliki kepercayaan tinggi terhadap kinerja keuangan PT FI. Sehingga menguntungkan pemerintah dalam menawarkan obligasi Inalum.

Inalum sendiri menerbitkan surat utang dengan empat tenor yakni US$ 1 miliar tenor hingga 2021, US$ 1,25 miliar tenor hingga 2023, US$ 1 miliar dengan tenor hingga 2028, dan US$ 750 juta dengan tenor hingga 2048. Rata-rata kupon obligasi ini sebesar 5,9991%.

***
Lalu bagaimana dengan utang Indonesia? Wow, posisi terakhir utang Indonesia memang terjadi peningkatan. Jika dikatakan sebagai pertumbuhan, maka Indonesia berprestasi mencapai pertumbuhan utang yang cukup signifikan. Petumbuhan utang mencapai 20 persen.

Walaupun Menteri Keuangan mengatakan utang Indonesia relatif aman karena masih dalam batas yang diperbolehkan Undang-undang. Jika dilihat dari rasio utang dibandingkan PDB masih dibawah 30 persen atau dengan rasio 29,9 persen. Namun namanya utang tetaplah sesuatu yang membebani negara ini dan generasi masa depan.

Dengan menempatkan utang sebagai bagian dari kebijakan fiskal. Pemerintah menyusun struktur APBN dengan menutup defisit melalui pinjaman dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Penerbitan SBN tersebut tidak hanya untuk menutupi defisit, melainkan juga untuk menutup pembiayaan sektor lainnya.

Berdasarkan rilis detiknews (24/12/2018), dengan mengutip data lembaga Moody's yang jadi sumber rujukan berita Bloomberg. Utang pemerintah mencapai Rp 4.478,57 triliun, utang BUMN ditambah Rp 600 triliun. Ditambah lagi utang lembaga keuangan publik, Rp 3.850 triliun. Kalau kita jumlahkan hampir Rp 9.000 triliun.

Dengan begitu besarnya jumlah utang tentu membuat sebagian besar rakyat Indonesia cemas. Mereka membayangkan bagaimana jika negara ini colaps dan gagal bayar kewajibannya ke negara-negara kreditor dan lembaga pemberi utang. Seperti yang dialami oleh beberapa negara eropa yang mengalami krisis utang. Akhirnya negara tersebut jatuh, seperti Yunani misalnya.

Disisi lain, Indonesia kekurangan modal. Meskipun negara ini kaya raya dengan sumber daya alam yang begitu besar. Namun tabungan nasional justru negatif. Sehingga untuk meningkatkan investasi, Indonesia harus mengandalkan pinjaman luar negeri dan penerbitan SBN.

Namun begitu, ketidakmampuan pemimpin negara ini keluar dari jebakan utang justru semakin memperparah tingkat kedalaman Indonesia dalam paradigma utang. Seaka-akan jika tidak utang, maka dianggap pemerintah yang kurang baik oleh negara kreditor atau lembaga kreditor. Seyogyanya siapapun presiden Indonesia harus berjuang membebaskan negara ini dan generasi yang akan datang dari jeratan utang.

Lihatlah Malaysia bagaimana Mahathir Muhammad, Perdana Menteri yang memenangkan pemilu mengalahkan Najib Razak secara tegas menghentikan kebijakan pemerintah sebelumnya soal utang. Bahkan lebih jauh, mampu menghimpun dana rakyatnya untuk menutupi utang. Walaupun itu tidak mencukupi.

Tetapi kita dapat melihat dengan jelas bagaimana posisi PM Mahathir Muhammad dalam pusaran utang luar negeri Malaysia. Adakah presiden Indonesia berikutnya berani menghentikan utang dan justru berupaya melunasi utang-utang tersebut?

Kalau kita mengacu kepada pernyataan capres yang saat ini sedang bertarung menuju Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024, hanya kubu Prabowo-Sandi yang tegas menolak penambahan utang negara bahkan Prabowo Subianto mengkritik keras utang Indonesia yang semakin menggunung.

Posisi oposisi sangat jelas dalam kebijakan utang rezim Jokowi-Jk. Yaitu menolak penambahan utang yang terus menerus dengan alasan dapat membahayakan Indonesia di masa datang. Pemikiran kubu Prabowo-Sandi tentu bukan tanpa dasar atau hanya untuk bahan kampanye. Namun mereka telah melakukan kajian dari berbagai aspek.

Jika kita melihat dari pandangan ekonom klasik. Utang dapat berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan masyarakat. Teori ini mendasari pada pemikiran bahwa APBN hanya terbebani dengan cicilan utang dan beban bunga. Sehingga mengurangi anggaran pembangunan dan pembiayaan publik.

Dalam jangka panjang, utang akan mengurangi tingkat kemakmuran, apalagi jika pertumbuhan ekonomi negara di masa datang cenderung menurun. Maka kompleksitas ekonomi baik makro maupun mikro menyebabkan keuangan negara semakin defisit dan kekurangan stimulus fiskal.

Inilah beberapa hal yang serius dipikirkan oleh masyarakat Indonesia saat ini. Untuk itulah Presiden Indonesia periode mendatang perlu menyiapkan sebuah strategi jangka menengah dan jangka panjang dalam mengatasi beban utang yang saat ini mencapai level kuning.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun