Singkat cerita ratusan ribu rakyat Aceh menjadi korban keganasan peperangan antara GAM dan TNI/Polri. Begitu pula pihak kombatan, tidak sedikit yang tewas. Banyak perempuan menjadi janda, anak-anak kehilangan orang tuanya, kehilangan harta benda, rumah-rumah penduduk dibakar, orang-orang yang tak berdosa diculik dan terbunuh menjadi korban perang.Â
Sementara pemerintah pusat pun tidak mau mundur sedikitpun. Penerapan status Daerah Operasi Militer (DOM) selama 32 tahun telah membuat Aceh semakin runyam.
Berbagai sektor kehidupan masyarakat saat itu hancur, pengangguran, kemiskinan, pendidikan, dan sosial hidup tergadaikan oleh kepentingan kekuasaan dan dorongan nafsu ekonomi kapitalis yang tidak mengedepankan keadilan.Â
Berbagai proyek vital yang ada di Aceh, seluruh (hampir 90%) pekerjanya dibawa dari pulau Jawa. Sedangkan anak-anak muda Aceh dibiarkan menganggur bahkan diberi stigma sebagai orang bodoh dan tidak bisa dipekerjakan.
Bagi rakyat Aceh waktu itu telah siap menghadapi apapun resikonya. Hingga bersatu patu, memberikan dukungan moril kepada GAM untuk memenangkan perjuangannya bagi keadilan Aceh.Â
Meskipun nyawa rakyat Aceh kala itu sama dengan harga nyawa seekor nyamuk, ditepuk langsung mati. (Begitulah Saudaraku).
Maka ketika paska kejadian penembakan 1 Desember 2018 Papua, lalu dalam hitungan menit, Presiden Republik Indonesia sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara ini mengeluarkan pernyataan dan titahnya kepada TNI/Polri "kejar dan tangkap seluruh pelaku tindakan biadab dan tidak berperikemanusiaan tersebut, tumpas hingga ke akarnya". Bisakah Anda membayangkan apa yang ada dibenak Presiden?
Barangkali kita kesulitan untuk memastikan apa yang ada dalam pikiran Presiden. Sebab soal isi otak tidak ada siapapun yang tahu. Namun secara bahasa yang terwujud dalam perintah nan tegas tersebut sedikit terlihat dan terbaca bahwa Presiden sangat berani dan tidak ada kompromi tentang hal ini.Â
Jika mungkin bila disandingkan dengan kalimat yang lain kira-kira "habisi mereka" sampai tidak tersisa.
Inilah yang kata teman saya dalam tulisannya yang ia sebut sebagai "orang pusat sering melihat daerah dari puncak monas". Apa maksudnya? Pemerintah pusat hanya melihat persoalan daerah dari jauh dan berdasarkan sudut pandang sendiri dengan pola pikir kekuasaan sentralistik ala orde lama dan orde baru.Â
Mestinya pusat bertanya pada dirinya sendiri, mengapa Papua minta merdeka? Kenapa tidak dilakukan penyelidikan lebih dulu.