Mohon tunggu...
Candudimuka
Candudimuka Mohon Tunggu... -

Anonim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merdeka? Selalu Datang dan Selalu Pergi

20 Agustus 2016   06:12 Diperbarui: 20 Agustus 2016   10:29 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Merdeka I

Kala itu aku masih duduk di bangku SD, aku sudah lupa berapa umurku saat itu.  Seperti anak-anak SD pada umumnya, aku lebih suka bermain dibanding belajar. Matematika merupakan momok besar, sedangkan olahraga kebalikannya. Sudah tidak terhitung oleh jari berapa kali aku dihukum (setrap) oleh guru karena tidak mengerjakan PR. Guruku selalu memberi hukuman dengan menyuruhku mengerjakan PR di depan kelas dan menuliskannya berkali-kali. Seperti ini contohnya :

Perang Diponogoro berlangsung pada tahun 1825 - 1830

Perang Diponogoro berlangsung pada tahun 1825 - 1830

Perang Diponogoro berlangsung pada tahun 1825 - 1830

Perang Diponogoro berlangsung pada tahun 1825 - 1830

Perang Diponogoro berlangsung pada tahun 1825 - 1830

Perang Diponogoro berlangsung pada tahun 1825 - 1830

Perang Diponogoro berlangsung pada tahun 1825 - 1830

Perang Diponogoro berlangsung pada tahun 1825 - 1830

Perang Diponogoro berlangsung pada tahun 1825 - 1830

Perang Diponogoro berlangsung pada tahun 1825 - 1830

Itu baru 1 soal, bayangkan jika ada 10 soal atau 20 soal. Aku harus menulis secara manual di buku bergaris. Terkadang aku dihukum bersama teman-teman, namun lebih sering dihukum sendiri. Terlepas dari hina atau muliakah siswa yang mendapat hukuman, justru hukuman itu yang selalu menyelamatkanku dalam UUB (Ujian Umum Bersama) tanpa harus belajar. Tidak tahu kenapa setiap kali mengerjakan soal Ujian hampir semua jawaban selalu muncul di otakku. Teman-teman tidak ada yang memintaku contekan, karena mereka tahu aku anak yang pemalas. Namun sering kali nilaiku justru lebih baik dari mereka.

Pukul 15:00 WIB merupakan sesuatu yang paling indah di kala itu. Aku bisa bermain hingga petang dan meninggalkan semua kepenatan pendidikan dasar. Karena rumahku letaknya di Desa aku justru lebih sering bermain dengan anak-anak desa dibanding teman-teman SD yang rata-rata tinggal di kota. Kadang aku bermain bola, bermain lumpur di sawah, berenang di sungai, dan sesekali bersama teman-teman kami mencuri hasil pertanian. Salah satu yang aku ingat sampai sekarang, kami pernah menjebol kolam ikan dan mencuri ikan-ikan tersebut. Jika pernah melihat bolang, nah hampir seperti itulah gambaranku masa kecil.

Itulah kenapa aku tidak pernah mengerjakan PR, pagi hingga siang aku berada di sekolah, sore hingga petang aku kelayapan, dan malam harinya aku sudah kelelahan. Tak jarang orang tuaku menyuruhku belajar atau mengerjakan PR dan menungguku di belakang meja belajar. Namun aku justru tidak melakukan apa-apa di meja belajar, hanya melamun dan pura-pura belajar di hadapan orang tuaku.

Merdeka II

            Ketika lulus SD dan beranjak ke SLTP tidak banyak yang berubah, bedanya aku sudah bisa membagi waktu untuk mengerjakan PR. Sering kali PR kukerjakan setengah jam sebelum masuk sekolah itupun dilakukan secara masal dengan teman-teman sejawatku. Walaupun masih sedikit hina setidaknya aku tetap mengerjakan.

            Pulang sekolah lagi-lagi menjadi sesuatu yang paling menyenangkan saat itu. Walaupun aku harus menunggu bus kota, namun tempatku menunggu bus dikeliling oleh kaum-kaum urban. Banci perempatan, banci insaf yang kemudian membuat warung makan, penjual bensin eceran dan tambal ban. Merekalah yang menjadi teman-temanku bermain, tentu tidak hanya aku sendiran yang berteman dengan mereka, seingatku ada 5 orang temanku yang sama-sama menunggu bus kemudian bergaul dengan kaum-kaum urban ini.

            Berawal dari situlah aku mulai berkenalan dengan rokok, dan minuman beralkohol. Tak jarang kami mengulur-ngulur waktu sekedar untuk menghabiskan hari dengan minum hingga sore hari, ketika sampai rumah aku beralasan bahwa bus kotanya lama nunggunya. Keadaan seperti ini sering kali terulang ketika kami pulang sekolah, hingga akhirnya guruku mengetahui kegiatanku dan memanggilku. Itulah hari dimana aku sangat menderita, kelima orang tua dari lima siswa turut dipanggil oleh guru BP.  Mereka mengancam kami untuk berjanji untuk tidak mengulanginya, namun tetap saja aku mengulanginya. Berkali-kali aku lolos dari jeratan skorsing dan berkali-kali juga aku masuk dalam perangkap skorsing, hal ini berdampak sangat tidak baik ketika aku di bangku SMA.

            Di bangku SMA orang tua ku justru menjadi over protektif menghadapiku, sering kali kami berkelahi adu mulut hingga adu fisik dengan ayahku. Tentu bukan adu jotos karena aku tidak pernah membalas pukulan ayahku. Hukuman fisik ini justru mampu menguatkan mentalku, sering kali pukulan bertubi-tubi mengarah ke diriku dan beberapa kali aku berhasil menghindari dan menepisnya. Tentu cara defense fighting ini aku pelajari secara otodidak dengan melihat acara tinju setiap hari minggu.

            Hampir satu semester kerap kali susah mendapat ijin untuk pergi di malam hari. Mungkin karena itulah aku terhindar dari kegiatan tawuran pelajar. Tentu bagi seorang siswa SMA malam minggu menjadi salah satu hari yang sangat dinanti-nanti. Malam minggu itu ialah menjadi malam minggu yang tidak pernah terlupakan, aku masih ingat betul bagaimana kejadiannya. Saat itu aku mendapat kabar ada sebuah gigs musik Punk, tentu aku sangat ingin bertandang kesana. Karena selama ini aku hanya menjadi publik MTV yang hanya melihat pertunjukan musik lewat layar televisi. Awalnya aku sudah berencana untuk meminta ijin baik-baik dengan orang tuaku, namun justru yang terlontar ialah makian dan tidak adanya ijin. Serentak akupun menjadi emosi dan kuputuskan untuk langsung pergi tanpa ijin, aku langsung keluar rumah dengan berjalan kaki. Tentu jarak rumahku dengan kota sangatlah jauh, namun aku tak tahu lagi harus bebuat apa selain berjalan kaki. Saat itu tanpa sengaja aku bertemu dengan teman desaku yang sedang mengendarai motor dan memberiku tumpangan ke arah kota.

            Aku tidak pulang pada hari itu, bukannya tidak berani namun aku sangat membenci rumahku saat itu. Hingga pada hari minggunya ibuku menelponku dan membujukku untuk pulang. Semenjak itulah terjadi perubahan pola pikir orang tuaku, mereka tidak lagi over protektif dan aku tidak pernah berbohong lagi. Ketika aku ditanya akan pergi kemana, aku selalu menjawab jujur. Bahkan aku menceritakan hampir semua kegiatanku, mulai dari nongkrong di pinggir jalan bersama teman-teman scene punk, mengamen, minum hingga dini hari. Mereka sama sekali tak pernah marah dan menceramahi aku, mungkin karena berita tawuran pelajar cukup menjadi momok menakutkan saat itu dan tempat bermainku bukan disana hingga mereka tak lagi mengkhawatirkanku.

Merdeka III

            Kelulusan SMA menjadi salah satu pencapaian kebahagian hampir seluruh siswa SMA di Indonesia. Kelulusan SMA bagiku adalah lepasnya aku dari kepenatan pola pendidikan. Aku dapat bermain tanpa ada beban dan aku tidak harus melakukan rutinitas yang menyebalkan. Setelah lulus tentu aku mendaftar perguruan tinggi dan ternyata pola rutinitas ini terulang. Aku sama sekali tidak menuntut untuk memilih sebuah jurusan, karena aku pernah mendengar orang tuaku memberi penilai buruk pada sebuah jurusan yang notabenenya aku ingin disana. Hal itulah yang membuatku tidak meminta untuk memilih jurusan itu. Semua keinginanku aku pendam dan aku menuruti mereka.

            Akhirnya aku masuk ke bangku perkuliahan dengan jurusan yang cukup populer. Tiga bulan menunggu masuknya perkuliahan tentunya tidak aku sia-siakan, aku membuat band dan bersenang-senang. Ketika tiba saatnya aku masuk ke perkuliahan, tanpa sadar aku menolak sistem yang ada. Aku datang dengan pakaian sesukaku, masuk sesuka hati, tidak pernah mengerjakan tugas. Salah satu dosen pernah memarahiku karena pakaianku tidak rapi, tentu hal itu aku balas dengan cara cukup sombong saat itu, yaitu menjawab semua pertanyan (kuis) yang dilontarkan oleh dosenku. Hal itu justru membuat dosenku marah hingga pada setiap kuis selanjutnya dia tidak pernah menunjukku, bahkan ketika hanya aku yang mengacungkan tangan.

            IP ku pada semester 1 sangat buruk bahkan di semester 2 justru mengalami penurunan. Ketika akan melanjutkan ke semester 3 aku harus menghadap ke Rektor, tentu itu menjadi pengalaman berharga karena aku bisa masuk ke ruang rektor dan melihat dimana rektor bekerja dengan suasana sangat nyaman seperti kantor-kantor mafia di film-film holywood. Disana aku di sidang oleh beberapa staf kampus dan juga rektor, mereka memberiku 2 pilihan

1. Mengundurkan Diri

2. Melanjutkan dengan konsekuensi jika Ipku semester 3 tidak mengalami peningkatan aku mendapat surat D.O. (Drop Out)

Setelah bercakap-cakap dengan rektor selama 1 jam tentang hal diluar perkuliahan akhirnya aku memutuskan untuk memilih pilihan yang pertama. Akhir kata aku terlepas dari sistem tersebut tanpa harus lulus dari kampus itu.

Merdeka IV

Walaupun demikian hal ini aku tidak aku ceritakan ke siapapun, orang tuaku, teman-temanku, bahkan kekasihku waktu itu. Hingga suatu saat ketika aku sedang berkencan dengan kekasihku, dia bertanya kepadaku

“Kamu kira-kira berapa tahun lagi lulus?”

dengan mulut yang bergeming aku menjawab

“ehhmm, kalau normal ya 3 tahun lagi, kalau normal lho, hehehe”.

Kemudian dia berkata

“oh gitu yaa, ya berarti paling nggak 5 tahun lagi kita nikah ya”

Penyataannya tersebut serentak membuatku tersedak dan batuk-batuk. Dalam hatiku berkata “kamu pasti akan menyesal menjadi kekasihku.”

Semenjak kencan tersebut, aku mulai bekerja serabutan patuh waktu. Hal ini tentu aku lakukan untuk melanjutkan apa yang sudah aku kerjakan, tentu “kehidupan bermusik secara indie”. Bisa dibilang yang membuat aku meninggalkan bangku kuliah yaitu kehidupan musikku. Kerap kali aku harus tour keluar kota, manggung disana-sini, walaupun dengan fee yang tidak sepadan. Argument lain yaitu karena aku kurang bisa mengatur waktu, karena teman-temanku band sudah bisa menyelesaikan kuliahnya walaupun dengan waktu yang tidak normal.

Aku pernah berkerja menjadi penjaga toko komputer, studio musik, studio foto dengan penghasilan yang cukup untuk menghidupi kehidupanku sendiri. Aku mulai terjebak di jalur indie, jika pernah mendengar lagu milik Silampukau :

". . . Duh Gusti, pernah ‘ku mencoba peruntungan,

dana pas-pasan pokoknya bikin rekaman.

Kuliah, Gusti, kutelantarkan

atas nama musik dan hidup yang penuh kebebasan . . .

Paling tidak jika digambarkan seperti itulah kehidupan setelah keluar dari bangku perkuliahan.

Selama 3 tahun aku menjadi pria indie serabutan, hingga akhirnya kekasihku aku ceritakan hal yang sesungguhnya, tidak ada sepatah kata keluar dari mulutnya ketika aku menceritakan semunya. Keesokan harinya ketika aku sedang melayani konsumen cukup renta, dia berkata kepada

“Kalau sudah nyaman itu sudah bergerak ya”.

Kata-kata orang tua tersebut menghantuiku setiap hari, hampir berbulan-bulan aku memikirkannya. Semua terjadi sangat cepat, aku sudah tidak ingat lagi bagaimana, kenapa dan akhirnya aku memilih untuk kembali ke bangku kuliah. Kuputuskan untuk memilih jurusan sendiri dengan uang pas-pas, bahkan kurang, yang akhirnya di bantu oleh kekasihku yang sangat mendukung aku untuk kuliah lagi.

            Saat ini aku sudah berada di tahun ketiga bangku perkuliahan dengan pilihanku sendiri, semuanya berjalan lancar. Walaupun aku sudah tidak bersama kekasihku yang telah membuatku tersedak dan kubuat dia terdiam. Namun saat ini aku sudah bisa membagi waktu dengan kehidupan indieku, dan esok di tahun ke 4 aku yakin akan menyelesaikannya.

Datang dan Pergi

Cukup panjang, itulah kisahku dimana kemerdekaan selalu datang dan pergi. Ketika masa SD merdeka adalah dimana aku bisa bermain kemudian kemerdekaan itu pergi ketika aku harus belajar. Ketika masa SMP merdeka adalah dimana aku bisa bersenang-senang dengan teman kemudian kemerdekaan itu kembali pergi saat orang tuaku menjadi protektif. Ketika SMA, kemerdekaan itu hadir ketika aku dan orang tuaku sudah tidak lagi berkonflik kemudian kemerdekan itu pergi ketika aku harus berkonflik lagi dengan mereka.

Terus untuk apa kita merdeka jika ia akan pergi juga?

Seorang Biksu dari Thailand pernah berkata, kita hidup untuk mati.

Jangan terlarut akan suka karena duka akan datang.

Jangan terlarut akan duka karena suka akan datang. 

Bagiku semua yang berkesan dan bermakna ialah proses diantara kedatangan dan kepergian, bukan ketika kita meraih kemerdekaan bukan juga ketika kita kehilangan kemerdekaan. Melainkan proses ketika meraih kemerdekaan dan proses kita kehilangan kemerdekaan.

           

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun