Gemericik air dari tanggul memecah hening dari air jernih yang mengepung diri. Aku yang enggan membuka mata mulai terbuai dari suara air mengalir mengisi rongga kecil pada gendang telinga. Terlena dalam air tenang yang mulai bergejolak saat gerombolan tangan berbau anyir menarik tubuh ke dasar tanggul tak berujung.
Oksigen yang mengisi tubuhku terperangkap. Meski terus meronta sekuat tenaga, tangan dari makhluk tak kasat mata itu semakin kuat menarik badan yang mulai lemah. Jerat dari mereka membawaku ke tempat gulita. Hingga akhirnya tubuhku terkulai lemas tak berdaya.
Mati. Inikah rasanya mati? Suhu tubuh yang tadinya hangat mulai terasa dingin. Denyut nadi melemah, rasa takut mulai menyelimuti. Kelopak mata tak lagi terbuka, terlintas sepotong kenangan yang membekas di benakku.
Jika waktu dapat ku putar kembali, aku masih bisa melihat mentari di esok hari.- pikiranku berkecamuk.
Dalam kacau kala itu aku melihat sorot cahaya dari atas yang membuatku terbebas hingga mampu menggapai cahaya terang. Aku mengerjapkan iris netra pinggala untuk mengatur cahaya yang masuk ke kornea. Lamat ku melihat sesosok makhluk tak kasat mata yang berada tepat di depan wajahku.
Terbaring di atas ranjang tempat tidur dengan makhluk yang berada tepat di atas tubuhku. Rambut acak merambah lantai, matanya merah menyala, dan mulut dengan gigi tajam penuh darah yang terbuka lebar membuatku takut. Beberapa bagian tubuhnya terkelupas bahkan ia memiliki bau seperti bangkai yang membuatku menahan napas.
Rasa ngeri bercampur dengan marah lantaran sekujur tubuh yang tak mampu bergerak sama sekali membuatku semakin panik. Kata demi kata keluar dari gerakan mulut makhluk itu seakan tersusun rapi menjadi sebuah kalimat pembawa petaka.
Kau akan binasa!
Aku masih menahan napas beberapa saat setelah melihat makhluk yang terus mengulang gerakan mulut seakan mengutukku menghilang. Setelah terbebas, pikiran rasionalku mulai terkendali. Dengan cepat aku menyeruak keluar kamar meski tetap mengedarkan pandangan ke beberapa sudur ruang karena takut jika makhluk itu kembali.
Aku mengingat jelas kejadian teror ini bermula, aku tengah menjalankan kegiatan KKN di suatu desa terpencil. Hal itu terjadi malam setelah diriku memakan sesaji yang disediakan seorang nenek tua untuk penghuni pleret¹ yang kerap dianggap sebagai tempat para lelembut bersemayam. Aku ditugaskan untuk menemani kegiatan pemberian sesaji dalam kegiatan KKN kali ini. Nenek tua itu ialah sesepuh yang dianggap dapat berkomunikasi dengan makhluk tak kasat mata, beliau selalu menyediakan sesembahan kemenyan, dupa, bunga tujuh rupa, dan makanan serta buah pelengkap yang disusun dalam piring gerabah dengan alas daun pisang. Hari ini adalah hari ke 12 aku menemani beliau untuk memberi sesembahan. Biasanya beliau akan membaca mantra unik.
Kaki mong nyai mong seng momong wargo desa, sedulur kang katon lan sedulur kang ora katon, nyuwun pitedah supados warga desa saged dados warga ingkang makmur lan aman saking bebaya.²
Ia membaca permohonan untuk keselamatan warga sembari menyatukan kedua telapak tangannya di dada. Rapalan yang sering dikatakan membuatku mengingat kalimat itu begitu jelas. Beliau selalu menunggu hingga dupa dan kemenyan padam lalu pergi. Namun, hari ini enek tua itu terlihat aneh saat memberi sesembahan.
Ia terlihat seperti orang lain, gerakan tangannya cukup gemulai meski wajahnya lebih pucat dari biasa. Tatapan wajahnya saat melihat ke arah ku sedikit membuatku ngeri. Ia bahkan meninggalkan sesaji yang masih lengkap dengan dupa serta kemenyan yang belum dinyalahan begitu saja.
Awalnya aku berniat untuk menghidupkan dupa dan kemenyan yang ada dalam piring gerabah. Anehnya, tiba-tiba terasa hembusan angin bertiup membelai tengkukku hingga bulu kuduk mulai meremang. Beberapa kali aku menghidupkan batang korek api yang selalu padam sebelum berhasil mengenai dupa.
Entah mengapa hari itu terlihat lebih mendung meski di siang hari. Bodohnya, aku mengambil sesaji yang disediakan lalu melahabnya hingga habis. Entah mengapa keinginanku cukup tinggi dari biasanya.
Tubuhku seakan mempunyai naluri lain yang ingin melahab habis sesaji tersebut hingga aku merasa ada sosok yang melihatku dari belakang, tapi aku menghiraukan keganjalan itu dengan terus memakan semua yang ada di piring gerabah, sampai saat gigiku mengunyah kemenyan yang terasa pahit, akhirnya aku dapat menggerakkan tubuhku seperti sedia kala.
Dalam keadaan takut, aku berlari menjauh tanpa menoleh ke belakang, meski masih merasa sorot mata tajam yang memperhatikanku hingga sampai ke balai desa, kaki ini enggan berhenti. Keanehan lain muncul saat berpapasan dengan beberapa warga yang tak dikenal, bukan hanya memiliki wajah pucat, mereka bahkan berjalan dengan tatapan kosong. Langkah demi langkah ku tempu, semakin banyak warga tak dikenal bersikap aneh.
Saat malam tiba, suara hewan malam yang biasa mengisi suasana pedesaan tak terdengar. Hanya rasa mencekam layaknya desa tanpa penghuni tersisa. Rumah warga terlihat lebih gelap lantaran lampu rumah sengaja tak dinyalakan penghuni. Pintu tertutup rapat tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Suara langkah kaki serta gesekan kecil mengenai rerumputan membuat suara nyaring yang sedikit melegakan.
Lingsir wengi
Sepi durung biso nendro
Kagodho mring wewayang ngreridhu ati.³
Dering ponsel genggam bermuara pada saku celana panjangku membuat jantung berdegub. Jari jemari bergetar saat ku coba meraihnya. Keringat dingin meluncur dari pelipis hingga ke dagu.
Aku tak pernah mempunyai ringtone ataupun mp3 dengan nada lingsir wengi sebelumnya. Jantung berhenti sepersekian detik saat jariku mengusap layar untuk menghentikan suara sinden wanita yang kemudian berubah menjadi suara nenek tua bersuara berat.
"Siro bakal dadi seksi kang bekti."⁴
Tawa menggelegar seperti nenek lampir membuatku ngeri, layar ponsel yang tadinya normal tetiba memerah, sempat ku melirik jam pada ponsel yang bertulisan 00.00, tepat tanggal 12 bulan ke 12.
Cahaya silau dari ponsel membuatku memejamkan mata secara paksa. Hingga saat aku tak lagi merasa silau, mata mengerjap perlahan, tanpa sadar tubuh telah berada di atas ranjang kamar tidur. Entah mimpi atau bukan, efek dari hal buruk yang baru saja terjadi membuat tubuh bergetar.
Setelah melirik pada jam dinding yang menunjukkan pukul 12.00 aku bergegas aktifitas seperti biasa, bangun dengan meregangkan tubuh yang terasa ngilu pada beberapa bagian.
"yah, mau ada kejadian buruk seperti apapun, hari ini aku harus tetap melakukan kegiatan dengan baik meskipun terlambat," gumamku saat becermin pada kaca kamar mandi.
Anehnya teman-teman yang biasa membangunkan ku saat pagi tak datang, kali itu aku hanya berpikir positif.
Mungkin saja mereka bergegas membantu para warga dengan kegiatan umum. Aku mengingat jelas bahwa mereka hendak mengajar para warga untuk mengoperasikan komputer. Sepertinya aku harus bergegas menyusul, siapa Tau mereka kewalahan.-pikirku.
Aku masuk ke kamar mandi lalu meraih sikat gigi warna biru pada mug kecil beserta pasta gigi yang selalu ku gunakan. Saat kali kedua melihat bayangan tubuhku pada cermin, aku melihat tanda tak biasa pada pundak yang tadinya bersih. Tanda lebam kebiruan berbentuk tangan cukup membuat diriku mematung beberapa detik.
Jemari mulai meraih lebam tak wajar dengan perlahan, entah mengapa jari tangan ini seperti merasakan genggaman tangan seseorang yang masih mencengkeram pundak dengan kuat. Reflek dari tubuh mencoba berbalik melihat kebelakang, akan tetapi mataku tak dapat melihat sosok yang memegang pundakku. Dengan cemas aku mempercepat kegiatan mandi pagi itu, lalu bersiap untuk pergi ke ruang yang digunakan untuk mengajar komputer.
Sesampainya di ruang tersebut, kejanggalan demi kejanggalan membuatku ingin segera pulang dan mengunci diriku di dalam kamar. Teman yang biasanya ceria terlihat murung, mereka tak berbicara satu sama lain. Setiap kali aku hendak menyapa, mereka melewatiku seakan tak melihatku yang berada di hadapan mereka.
Jam makan siang yang biasanya riuh menjadi sepi seperti tanpa penghuni. Bahkan ibu RT yang biasanya menyiapkan santap makan untukku- sama sekali tak memperhatikanku yang memegang sendok dan piring, ia bahkan melewatkan piringku hingga waktu istirahat berakhir. Untungnya perut yang biasa terasa lapar tak melakukan demo saat tak diisi.
Waktu berlalu hingga pukul 18.00 salah seorang temanku menghampiri kursi duduk yang selalu ku singgahi.
Akhirnya setelah seharian tak melakukan apapun, mereka membawakan sesuatu untuk ku kerjakan besok harinya- pikirku.
Sayangnya ekspetasiku jatuh saat rekan itu hanya mencengkeram buku catatan kemudian berlalu. Lagi-lagi aku tak melakukan apapun hingga kembali ke kamar yang disediakan warga untuk peserta KKN. Aku berpikir mereka melakukan prank kecil dan akan kembali normal di hari berikutnya. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya.
Aku yang awalnya mencoba lebih giat dan ceria terpatahkan saat melihat tempat duduk yang biasa ku singgahi diisi oleh orang tak dikenal, tak hanya itu, ia membawa beberapa barang dari kamarku dan menaruhnya pada kardus. Dengan amarah aku pergi ke kamar ketua regu, hendak menanyakan apa maksud dari tujuannya, apakah mereka tapi mulutku tercekat saat melihat koperku disodorkan oleh bendahara kepada ketua regu.
Seketika tulang kakiku lolos, lututku lemas. Tubuhku terjatuh begitu saja. Aku yang tak dapat mendapat jawaban dari mereka, hanya menerima bahwa aku tak lagi dibutuhkan. Detik berlalu begitu saja, aku merasa duniaku runtuh.
Aku masih tak mengetahui apa salahku? Bagaimana aku bertanya jika mereka tak memperdulikanku? Apa aku harus duduk diam di kamar? Sebaliknya aku menunggu di kamar sampai mereka mau bicara padaku.- pikirku.
Hari demi hari berlalu dengan mimpi mengerikan yang berulang selama beberapa hari. Tak ada satupun orang yang sekedar datang atau bahkan mengetuk pintu kamarku. Tubuh yang terasa semakin lemah saat tak diberi asupan nutrisi apapun membuatku bingung, aku sama sekali tak merasa lapar dan dahaga seperti manusia pada umumnya.
Tubuh hanya terbaring saat siang memandang langit-langit kamar yang kini terlihat jelas detail cacat pada kabel yang mulai digerogoti tikus. Saat malam aku membiarkan lampu tetap padam dan memilih memejamkan mata, hari berikutnya terdapat memar baru yang bertambah banyak setiap harinya.
Hal itu berulang hingga tepat hari ke tujuh. Aku mulai melangkahkan kaki ke luar rumah, tempat yang awalnya terlihat sepi lebih ramai dan hangat. Alunan gamelan jawa terdengar lirih, seakan menunggu kedatanganku, bunga melati bertebaran di seluruh jalan setapak membuat wangi semerbak hingga menusuk hidung.
Uniknya hal itu tak mengganggu inderaku yang telah lemah. Aku mengikuti jejak tebaran bunga yang sepertinya memintaku untuk menelusurinya, semakin ku melangkah, semakin jelas suara gamelan yang membuatku terlena. Langkah ringan seperti terhipnosis dengan sinden membuatku merasakan kerinduan yang dalam. Tanpa sadar, aku telah berada di tengah pleret desa. Tubuhku terbaring dengan tenang mengambang di antara air yang menenangkan.
Seketika memori dari awal aku bertemu nenek tua tercetak jelas. Bukan dia yang terlihat aneh karena dirikulah yang mulai berteriak histeris, nenek tua yang awalnya menenangkanku terlihat kewalahan hingga akhirnya beliau memohon perlindungan pada para penunggu yang murka karena aku telah melakukan kesalahan fatal. Ancaman dari para lelembut adalah mengorbankan diriku atau kebinasaan warga desa.
Ya, aku mengingat kejadian di mana aku buang air sembarangan di pohon jambang tua yang dianggap keramat. Rupanya danyang⁵ dari pleret tak terima saat singgasananya diusik dengan cara seperti itu.
Mereka meminta tubuh serta jiwaku menjadi tunduk pada para danyang. Saat itu juga nenek tua tak dapat mengelak, ia pergi tanpa melihat ke arahku. Wajahnya terlihat sendu. Aku yang melihat diriku mulai melahap sesaji memohon untuk dibebaskan dengan isak tangis pecah. Suara dari makhluk tak kasat mata menggema memekakan telinga.
Sopo sing tumindak, sopo sing tanggung jawab.⁶
Aku bersimpuh menyaksikan potongan memori yang kini lengkap. Diriku mulai menenggelamkan diri ke pleret desa hingga akhirnya ditemukan para warga dalam kondisi tak bernyawa.
Para warga yang berpapasan dengan wajah pucat ialah orang yang meninggal karena membuat danyang penunggu desa marah. Teman yang bertingkah dingin bukan karena mereka acuh, tapi tak dapat melihat ragaku. Mereka terpukul mendengar kabar kepergianku dan membiarkan ruangan ku kosong.
Akhirnya aku dengan sadar diri menyodorkan jiwaku pada sang pemilik sejati dengan cara yang sama seperti saat diriku mati.
Selesai.
Catatan author:
¹ Tanggul air
² Khodam leluhur laki-laki/perempuan yang menjaga warga desa.
Saudara yang terlihat maupun tak terlihat.
Mohon petunjuk supaya dapat menjadi warga yang makmur dan aman dari marabahaya.
³ Saat menjelang tengah malam
Sepi belum bisa tidur
Tergoda dalam bayangmu
Di dalam hati
⁴ Kamu akan menjadi saksi yang berbakti.
⁵ Roh halus yang melindungi suatu tempat.
⁶ Siapa yang berbuat dia yang bertanggung jawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H