I. Latar Belakang
Dalam perkembangannya, kini tato mengalami pergeseran dan memasuki nilai antroposentris. Sebelumnya, tato bernilai spiritual, religius dan magis pada masyarakat suku bangsa pedalaman. Ketika tato menjadi simbolis tren, secara otomatis ia akan kehilangan nilai sakralitas dan dipandang masuk dalam stigma negatif. Stigma ini diperkuat ketika Petrus – penembak misterius – terjadi pada tahun 1983-1984 yang diberlakukan kepada penjahat atau pelaku kriminal yang tubuhnya bertato.
Namun, pasca runtuhnya rezim orde baru, ternyata kebebasan dan liberalitas dalam berekspresi dirasakan oleh kaum urban juga. Salah satu bentuk nyata yang dilakukan adalah kian merebaknya tato dan menjadi simbol yang dapat ditafsirkan bermacam- macam, dari sekadar ikut-ikutan, pemberontakan, ekspresi, dan rasa seni. Di dalam Ensiklopedia Indonesia dijelaskan bahwa tato merupakan lukisan berwarna permanen pada kulit tubuh (1984:241).
Tato telah menjadi fenomena kebudayaan massif yang menimbulkan kesan interpretatif. Perubahan di masyarakat inilah yang akhirnya membentuk tato sebagai budaya pop. Tato sendiri termasuk budaya populer pula, karena beberapa ciri seperti banyak disukai orang, dikerjakan secara rendahan, dikonsumsi secara individual, dan menyenangkan (Williams, 1983 : 87-88). Jika dulu tato dipakai bagi kalangan tertentu namun sekarang tato menjadi lebih membumi, karena setiap orang bisa dengan mudah mengonsumsinya, sampai menjadi budaya populer dikalangan anak muda.
II. Pembahasan
Tato dalam Masyarakat Tradisional Indonesia Indonesia
1. Tato dalam Masyarakat Adat Indonesia
Dari segi budaya material yanag tertinggal, Indonesia sesungguhnya telah mengenal tato sejak sekitar awal masuknya masehi. Ini dapat dilihat dari berbagai dekorasi penggambaran figur manusia yang terdapat pada kendi tanah liat, perunggu serta barang yang diduga digunakan sebagai peralatan penatoan, berupa berbagai jarum tulang hewan mamalia, ditemukan di berbagai gua di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan (Anggraeni, 1994:139-154). Ironinya, eksistensi tato pada masyarakat adat di Indonesia mulai memudar.
2.Tato Mentawai
Tato sebagai simbol jati diri suku dapat menjelaskan dari mana seseorang berasal, seperti tergambar lewat motif durukat di dada pria dan dapdapi di dada perempuan. Namun demikian, pada tiap wilayah kekuasaan suku terdapat perbedaan dalam bentuk simbolnya. Bagi masyarakat Mentawai, tato juga mengkomunikasikan posisi dalam masyarakat, baik jenis kelamin, usia, maupun jabatan, kemahiran individu. Misalnya, motif binatang melambangkan keahlian seseorang dalam berburu.
3. Tato Dayak
Status sosial dalam komunitas juga di identifikasi melalui tato. Misalnya kelas elit seperti kepala suku menggunakan tato dunia atas. Tato dunia tengah dipakai oleh imam, sedangkan masyarakat biasa dengan simbol dunia bawah. Dalam ritus masa peralihan usia, tato juga andil berperan, seperti melukis jari, tangan, lengan, bawah, paha, betis, hingga kaki.
4. Tato Bali
Motif dari Tato tradisonal Bali secara prinsip tak berbeda dengan tato tradisional lainnya, yakni berciri khas alam sekitar. Misalnya gambar rerajahan binatang berkaki empat, berkaki dua, melata, serangga, dan tetumbuhan. Berbagai motif rerajahan tersebut didapat dari inventaris berbagai lontar.
Tato Sebagai Komoditi
Komodifikasi adalah proses transformasi barang dan jasa yang semula dinilai karena nilai gunanya, menjadi komoditas bernilai karena ia bisa mendatangkan keuntungan di pasar setelah dikemas (Ibrahim dan Akhmad, 2014: 17).
Apabila dilihat dari segi komodifikasi, tato memiliki Segi industri mencakup peralatan tato, studio tato, iklan, dan fashion, sampai akhirnya mendorong munculnya seniman tato di Indonesia. Apabila dilihat dalam segi iklan keberadaan tato juga sebagai penanda maskulinitas. Dalam wacana ini media juga berperan sebagai pembentuk, yakni keyakinan bawa isi yang disebarkan oleh media memiliki kekuatan untuk mempengaruhi masa depan masyarakat (Ibrahim dan Akhmad, 2014: 3).
C. Seni dan Tato
D. Eksibisionis
F. Tato Sebagai Identitas
Sebagian lain ternyata malah membelokkan kegunaan untuk menandai hal yang negatif, tato menjadi identik dengan kriminalitas. Tanggapan negatif masyarakat tentang tato dan larangan memakai rajah atau tato bagi penganut agama tertentu semakin menyempurnakan imej tato sebagai sesuatu yang dilarang, haram. Maka memakai tatto dianggap sama dengan memberontak.
III. Kesimpulan
Tato memang sudah menjadi bagian dari kebudayaan manusia, termasuk Indonesia yang mempunya cerita panjang tentang tato. Kehadiran tato dari awal kemunculannya hingga sekarang memang melalui sangat banyak pergeseran dan dinamika. Akan tetapi, pergeseran-pergeseran tersebut muncul sesuai dengan konteks sosial pada masa itu dan menjadi penanda zamannya masing-masing.
Pada era saat ini dimana kebebasan berkomunikasi dan berekspresi menjadi wacana yang besar, sudah semestinya tato mendapat tempatnya di masyarakat untuk ditanggapi secara bijak dan diapresiasi. Sebagai sarana komunikasi dan ekspresi, tato menjadi wahana yang sangat personal yang semestinya tidak bisa dimarjinalkan dengan sudut pandang tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni. 1994. “Melacak Tradisi Tato pada Masyarakat Prasejarah di Indonesia”.
Dalam Sumijati Atmosudiro, Anggraeni. Dan Tular Sudarmadi.Jejak
Budaya
Greertz, Clifford.1983. Local Knowledge. New York : Basic Books. Hatib Abdul Kadir Olong. 2006. Tato. Yogyakarta : LkiS
Hauskeller Michael. 2015. Seni-Apa Itu?. Terj: Satya Graha dan Monika J.
Wizemann. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Hujatnikajennong, Agung. 2105. Kurasi dan Kuasa. Tangerang : Penerbit Marjin
Kiri.
Ibrahim, Idi Subandy dan Akhmad, Bachruddin Ali. 2014. Komunikasi dan
Komodifikasi. Jakarta : Yayasan Pustaka Penerbit Obor.
I Ketut Sudita. 2002. “Eksistensi Tato dalam Karya Seni Rupa Masyarakat Bali Masa Kini”. Tesis Program Pascasarjana Kajian Budaya. Universitas Udayana.
Marianto, M. Dwi, dan Syamsul Barry. 2000. Tato. Yogyakarta. Lembaga
Penelitian Institut Seni Indonesia Yoayakarta. Male emporium magazine. 2006 : Eksibisionis
Strinati, Dominic. 2003. Populer Culture, Pengantar menuju Teori Budaya
Populer. , Pengantar menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta : Bentang.
Williams, Raymond. 1988. Keywords. London : Tontana Press
Candrani Yulis / 1312285024/ DKV Reguler
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H