Mohon tunggu...
Candra D Adam
Candra D Adam Mohon Tunggu... Lainnya - The Man From Nowhere

Pecinta Sepak Bola - Penulis (ke)Lepas(an)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Nasionalisme Nusantara": Dari Madagaskar sampai Suriname

20 November 2021   03:10 Diperbarui: 28 Januari 2022   04:20 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam Madilog-nya, Tan Malaka pernah mengajukan mimpinya tentang Indonesia. Tan Malaka memimpikan tentang Indonesia yang membentang dari Madagaskar hingga kepulauan Filipina, dan Papua. Maka jika boleh diartikan, Nasionalisme Bangsa Indonesia yang besar harus disebarkan dan ditumbuhkan guna mewujudkan persatuan itu. Dan Tak sedikit dari para Founding Parents Indonesia yang punya mimpi seperti Tan Malaka.

Presiden Sukarno, mengetahui betul bagaimana diaspora para leluhur Nusantara hingga ke timur Afrika (Madagaskar) yang hingga hari ini kita masih bisa menemukan banyak keturunannya di sana. Pengetahuan ini adalah modal penting bagi pemimpin sekaliber Presiden Sukarno dalam merumuskan pemikiran dan pidato-pidato Nasionalis-nya.
Persatuan Bangsa Indonesia, akan terjadi ketika seluruh elemen bangsa sadar betul akan Nasionalisme yang sama.
Sekali lagi, Presiden Sukarno tahu betul bahwa Nasionalisme adalah Identitas bagi sebuah Bangsa, dan setiap manusia sejatinya membutuhkan identitas.

Mohammad Yamin bahkan rela berkunjung ke Antananarivo (Ibu Kota Madagaskar), dan kota-kota lain di Madagaskar, hanya untuk mengobati rasa penasarannya akan "keterikatan" Madagaskar dengan Indonesia. Tujuannya sama, merangkai mimpi Indonesia yang luas, 'Indonesia Raya' bagi Yamin pun adalah dari Madagaskar hingga ke ujung timur Papua. Di Madagaskar, Yamin menemukan "Indonesia", bagaimana penggunaan Bahasa Malagasi yang diidentifikasi di kemudian hari adalah percampuran dari ragam bahasa di Nusantara. Ada banyak kosakata yang mirip antara Bahasa Malagasi, Bahasa Dayak Maanyan, Bahasa Banjar, Bahasa Jawa, Bahasa Melayu, dll.

Bagaimana Yamin terkejut melihat penampakan Rumah Ibadah dan Rumah Tradisional yang lebih mirip Rumah Tradisional di Asia Tenggara khususnya Indonesia. Bentuk Rumah dengan dinding Kotak dan Atap Segitiga sangat berbeda dengan Rumah-rumah Tradisional Bangsa Afrika pada umumnya. Bahkan tradisi dan kebiasaan masyarakat Madagaskar pada umumnya sangat mirip dengan masyarakat di Indonesia. Pertanian dengan sawah untuk tanaman padi, beserta cara mereka mengolah dan membajak sawah dengan kerbau atau sapi, dan tentunya nasi adalah makanan pokok mayoritas penduduk Madagaskar.

Kain tenun dengan corak yang sangat mirip dengan kain tenun asli Nusa Tenggara Timor, Tradisi "menghidupkan" kembali orang yang sudah meninggal seperti tradisi Mann di Tana Toraja, bisa kita temukan di Madagaskar. Kuliner daging yang ditusuk-tusuk kemudian di bakar (yang kita sebut sate) sangat mudah di jumpai di pasar-pasar di Madagaskar. Fosil Perahu Cadik khas Nusantara, bahkan bisa kita temukan di beberapa tempat di Madagaskar.

Bagaimana Rumah-rumah kuno di Madagaskar, yang di bangun mirip dengan Rumah Joglo di Jawa, dan ada pula rumah-rumah panggung yang mirip dengan Rumah-rumah Tradisional di Kalimantan dan Sumatera, dan yang mengejutkan adalah semua menghadap ke arah Timur, yaitu ke Indonesia. Hal ini bisa diartikan bagaimana para penduduk Madagaskar, berusaha menjaga hubungan "batin" dengan tanah leluhur mereka, Nusantara, atau yang sekarang disebut Indonesia.

Dan tidak kalah penting bagi Yamin adalah kemiripan ciri fisik mayoritas orang Madagaskar dengan orang Indonesia (Ras Melayu dan Ras Melanesia), bagaimana mungkin Pulau di sebelah Barat Afrika yang terpisah jauh dengan Indonesia lewat Samudera Hindia ini sebegitu miripnya dengan Indonesia?
Jika dilihat dari letak geografis, seharusnya Madagaskar diisi oleh orang-orang Afrika dengan peradabannya.

Belakangan, rasa penasaran Yamin puluhan tahun yang lalu terjawab perlahan oleh beberapa penelitian yang dilakukan di era modern ini, pada tahun 2015 Massey University melakukan penelitian tentang keterkaitan DNA Penduduk Madagaskar dengan Penduduk Indonesia, hasilnya adalah memang benar bahwa Nenek Moyang orang Madagaskar adalah Orang Nusantara (Sekarang Indonesia). 

Disinyalir sekitar 30 perempuan pertama yang mendarat di Pulau Madagaskar adalah dari Nusantara, mereka tiba pada abad ke-9 Masehi atau lebih dari 1.000 tahun lalu, dan turun-temurun membentuk koloni suku Malagasy, Sebelum para pendatang dari jazirah Arab dan Ethiopia juga berdatangan dan menetap di Madagaskar. Penelitian ini juga dikuatkan oleh penelitian lain dari Eijkman Institute (Indonesia), University of Arizona (Amerika Serikat), dan Universite de Toulouse (Prancis).

Denis Pierron dkk. dalam makalah berjudul "Genome-wide Evidence of Austronesian--Bantu Admixture and Cultural Reversion in a Hunter-Gatherer Group of Madagascar" (2014) mengatakan gen orang Madagaskar memuat 60 persen gen orang Bantu, suku yang sebagian besar menghuni benua Afrika seberang barat pulau Madagaskar.

Sedangkan 30 persen lainnya, dalam kata-kata Pierron, "datang dari wilayah Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi."

Hasil tersebut didapatkan setelah menganalisis keterhubungan gen tiga suku yang menghuni Madagaskar, yakni Mikea (21 orang), Vezo (24 orang), dan Temoro (24 orang), dengan data gen orang Asia Tenggara dan Afrika.

Jejak para pelaut tangguh dari Nusantara di Madagaskar diperkirakan sudah ada sejak abad Ke 9 Masehi, mereka menempuh perjalanan puluhan ribu kilometer mengarungi Samudera Hindia dengan menggunakan Perahu-perahu bercadik, walaupun ada teori yang mengatakan bahwa para pelaut kuno ini sudah menggunakan kapal-kapal besar (Jung) dalam berbagai ekspedisinya termasuk ke Madagaskar.

Sangat mungkin bahwa leluhur Nusantara yang kemudian membuat koloni di Madagaskar ini adalah campuran dari berbagai macam suku di Indonesia, karena jika dilihat dari keragaman yang ada di Madagaskar ada banyak pengaruh budaya dan bahasa dari beberapa suku bangsa di Indonesia.

Nasionalisme bagi para keturunan Diaspora

Sampai hari ini, banyak orang Madagaskar mengakui bahwa leluhur mereka adalah Orang Indonesia, satu diantaranya adalah Richard Rakotonirina, Menteri Pertahanan Madagaskar saat ini. Richard juga sangat fasih berbahasa Indonesia, pengetahuannya tentang Indonesia khususnya Bahasa Indonesia dia dapatkan ketika menjalani pendidikan di Sesko AD dan Sesko TNI serta Lemhanas, purnawirawan Jenderal Angkatan Darat Madagaskar ini dengan bangga mengaku berdarah Indonesia, meskipun darah Indonesia yang ada di dalam tubuhnya sudah diturunkan lewat banyak generasi sebelumnya.

Richard setidaknya mewakili banyak orang Madagaskar yang bangga memiliki Leluhur dari Indonesia. Tercatat sudah banyak Mahasiswa asal Madagaskar yang mengambil pendidikan di berbagai Universitas di Indonesia, termasuk dua anak Richard Rakotonirina. Kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Madagaskar terutama di bidang pendidikan memang terjalin dengan sangat baik.

Tentunya Orang-orang Madagaskar yang memiliki DNA Indonesia tidak bisa menyebutkan secara spesifik dari daerah dan dari suku bangsa di Indonesia yang mana mereka berasal. Ya, Madagaskar dengan keragamannya, bisa dikatakan sebagai miniatur dari Indonesia saat ini.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah orang Madagaskar yang mengakui dan bangga akan ikatan darah dengan Indonesia bisa disatukan oleh mimpi-mimpi seperti mimpi para Founding Fathers Kita?

Tentunya Orang-orang Madagaskar tidak punya rasa Nasionalisme Seperti Nasionalisme para keturunan Diaspora Jawa di Suriname, karena rentang waktu yang begitu lama dan sulitnya mengungkap identitas spesifik leluhur Orang Madagaskar yang berasal dari Nusantara.

Bahkan ketika Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, keturunan orang Jawa di Suriname ikut memanaskan hagemoni kemerdekaan Indonesia meskipun terpisah jauh dari "kampung halamannya", banyak diantaranya melakukan kampanye-kampanye mendukung penuh kemerdekaan Indonesia, dan pembentukan organisasi-organisasi pendukung kemerdekaan Indonesia. Padahal negara di Amerika Selatan itu juga sedang berjuang untuk melalui masa-masa kelam perbudakan dan mencoba membebaskan diri dari kolonialisme Belanda.

Bahkan gerakan para buruh keturunan Jawa di Suriname (yang sebagian keturunannya sudah lahir di Suriname dan belum pernah menginjakkan kakinya di Tanah Jawa) mendirikan berbagai macam organisasi untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia, diantara para tokoh diaspora dan keturunan Jawa di Suriname itu antara lain ada nama Iding Soemita (yang sebenarnya berasal dari daerah Tasikmalaya) pendiri KTPI (Kerukunan Tani Persatuan Indonesia/Kerukunan Tuladha Pranatan Inggil), ada pula nama Salikin Hardjo Aktivis Buruh Suriname kelahiran Malang, keduanya adalah tokoh pergerakan Buruh di Suriname yang mendukung pula kemerdekaan Indonesia.

......................................................................

Tercatat, 9 Agustus 1890 adalah kedatangan gelombang pertama buruh-buruh asal Jawa di Suriname, yaitu sebanyak 94 orang, disusul ratusan orang pada gelombang-gelombang berikutnya.

Hingga kini, Penduduk Suriname keturunan Jawa adalah sekitar 15% dari total penduduk Suriname. Selain tradisi dan bahasa, keturunan Jawa di Suriname juga masih membawa nama "Jawa" dalam sendi-sendi kehidupan mereka. Mayoritas Keturunan Jawa di Suriname punya mimpi untuk dapat menginjakkan kakinya di negeri tempat leluhurnya berasal, bahkan tak sedikit dari mereka yang melakukan korespondensi dengan keluarga mereka yang masih ada di tanah Jawa.

Yang unik adalah, para buruh yang didatangkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke Suriname tidak hanya berasal dari Suku Jawa, beberapa diantaranya justru berasal dari suku Sunda dan Madura, namun para Keturunannya menyebut diri mereka sebagai "Orang Jawa", dan tak sedikit yang menyebut negara Indonesia dengan nama 'Negoro Jowo'.

Bagi Soemita dan Hardjo, serta ribuan Diaspora Jawa dan keturunannya di Suriname saat itu (setidaknya generasi pertama dan kedua) rasa keterikatan mereka terhadap Jawa (Indonesia) adalah bentuk Nasionalisme, meskipun terpisah jarak ribuan kilometer dari tanah asalnya, diantarnya bahkan hanya mengandalkan imajinasi tentang Tanah Air dari orang tuanya karena sejak lahir belum pernah sama sekali menjejakkan kaki di tanah Jawa. Bagi mereka Jawa adalah identitas, mereka tidak hanya melestarikan budaya dan bahasa Jawa sebagai wujud identitas dan kebanggaan akan kejawaannya, mereka ingin "bersentuhan" secara fisik dengan Tanah Moyangnya, selain juga karena rasa rindu.

Terbukti dengan perjuangan mereka di tanah rantau nun jauh, rasa sakit dan penderitaan orang Jawa di Indonesia sebagai bagian dari Bangsa Indonesia pun mereka rasakan di tanah Karibia, Suriname.
Hingga akhirnya proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebar dan terdengar sampai ke Amerika Selatan, Oang-orang di Suriname pun ikut dalam hagemoni kemerdekaan Indonesia. Banyak diantara mereka ingin dan berbondong-bondong kembali ke Tanah Jawa lewat beberapa perjalanan Laut, termasuk generasi yang sudah lahir di Suriname. Kemudian di awal tahun 50an sebagian dari mereka direpatriasi oleh Presiden Soekarno namun ditempatkan di daerah Sumatera Barat, tepatnya di Kabupaten Pasaman Barat, bukan di kampung halaman masing-masing,  dengan alasan karena ketimpangan Demografi di Indonesia.

Sebagian mereka yang kecewa karena tidak bisa benar-benar kembali ke Tanah Jawa dan berkumpul dengan sanak saudara yang telah lama terpisah jauh (karena justru di tempatkan sebagai Transmigran di Sumatera Barat) akhirnya kembali lagi ke Suriname. Dan yang bertahan di Pasaman Barat (termasuk diantaranya Salikin Hardjo) mereka harus membuka lahan baru di tengah hutan untuk pemukiman yang kemudian bernama Kampung Tongar, Kehidupan mereka bahkan tidak lebih sejahtera dibandingkan ketika mereka di Suriname. Rasa Nasionalisme Orang Jawa-Suriname di tongar, harus dibayar dengan keterbatasan hidup -jika tidak mau disebut sebagai penderitaan- yang harus mereka jalani.

Lantas, bagaimana bisa orang-orang Jawa-Suriname yang sejak abad ke 19 Masehi sudah dikirim oleh Kolonial Belanda ke Suriname tetapi masih mempertahankan Nasionalisme nya setidaknya sebagai sebuah Bangsa bernama Bangsa Jawa, bahkan hingga pada akhirnya Bangsa Jawa menjadi bagian dari yang disebut Bangsa Indonesia?
Yang menjadi pertanyaan lagi adalah bagaimana mungkin keturunan Jawa yang lahir di Suriname pun merasa masih punya Nasionalisme yang kuat terhadap Jawa (Indonesia)? setidaknya hingga Tahun 1975 ketika Suriname sudah memproklamirkan kemerdekaannya dari Belanda.
Hingga hari ini tidak sedikit orang-orang Suriname Keturunan Jawa yang tidak hanya mengidentifikasi diri sebagai orang Jawa, tapi juga merasa punya dua "kwarganegaraan".

Beda-beda Nasionalisme keturunan Diaspora

Tentunya, "Kejawaan" keturunan Jawa Suriname berbeda dengan keturunan Jawa di Kaledonia Baru di laut Pasifik, beda lagi dengan yang di kepulauan Kokos serta beberapa di Christmas Island yang terletak di Samudera Hindia, selain dari tradisi dan bahasa, nasionalisme mereka akan tanah leluhurnya juga berbeda. Orang-orang Jawa di Kaledonia baru cenderung lebih menerima kenyataan bahwa mereka memang harus hidup di koloni yang baru dan harus rela melepaskan "tubuhnya" dari tanah moyangnya, mereka sepenuhnya bisa berasimilasi dengan budaya yang baru. Tidak seperti Orang Jawa di Suriname, yang sebagian besar masih fasih berbahasa Jawa dialek Suriname, orang Jawa di Kaledonia Baru harus melepas "bahasa ibu" mereka dan digantikan dengan bahasa Perancis, karena kebijakan politik pemerintah kolonial Perancis di Kaledonia baru.

Orang Jawa di Pulau Kokos dan Christmas Island pun harus mengalami penyeragaman bahasa yang diberlakukan pemerintah Australia, Bahasa Inggris dan Melayu adalah bahasa yang umum dituturkan di kepulauan Kokos dan Christmas Island. Tentunya keterikatan terhadap nenek moyangnya tetap mereka simpan di sanubari, bagaimanapun identitas mereka sebagai orang Jawa masih mereka rawat. Beberapa tradisi contoh adalah tradisi pernikahan dan acara-acara keagamaan dan budaya masih mereka jaga meskipun sudah jauh dari akarnya di Jawa. Hal ini yang membuat Orang-orang Jawa di Kaledonia baru, Kepulauan Kokos, dan Christmas Island tidak terlalu mementingkan "persentuhan fisik" dengan Tanah Moyangnya di Indonesia, bagi mereka "keterikatan" itu ada di sanubari, tanpa Berbahasa Jawa pun mereka tetap merasa sebagai Orang Jawa, karena pada dasarnya kebiasaan hidup dan falsafah Orang Jawa dibelahan bumi manapun hampir sama, dalam hal parenting, norma kesopanan, cita rasa makanan, tak bisa dirubah begitu saja.

.................................................................

Di sebelah selatan Afrika, ada Bangsa Cape Malay yang mendiami beberapa wilayah di Cape Town, provinsi Western Cape, Afrika Selatan.
Cape Malay (melayu cape) pada dasarnya hanyalah penyebutan untuk keturunan Orang-orang dari Nusantara yang dijadikan budak, buruh, dan tahanan yang diasingkan oleh kolonial Belanda di Tanjung Harapan dan sekitarnya dari sekitar abad 18 hingga 19, setelah itu mereka membentuk koloni-koloni orang Melayu cape, diperkirakan saat ini ada sekitar 200.000 warga Melayu Cape di Cape Town.

Beberapa diantara mereka bahkan adalah para Tokoh-tokoh politik dari berbagai daerah di Nusantara yang sengaja diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda, sebagai Contoh adalah Syaikh Yusuf Al Makassari, Ulama besar dan berpengaruh dari Makassar yang diasingkan Belanda ke Tanjung Harapan dan kemudian melahirkan sebuah "peradaban" dalam pemikiran orang-orang keturunan Nusantara bahkan orang-orang Afrika Selatan pada umumnya. Syaikh Yusuf memang kemudian meninggal dunia dan dimakamkan di Afrika Selatan, tetapi hingga hari ini Syaikh Yusuf tetap hidup dalam pikiran dan hati orang-orang Makassar dan Afrika Selatan.

Syaikh Yusuf tidak hanya ada di hati dan pemikiran orang-orang Sulawesi, khususnya Makassar. Syaikh Yusuf bahkan dianugerahi gelar pahlawan oleh Nelson Mandela sebagai Tokoh Besar dan Berpengaruh di Afrika Selatan. Semangat dan perjuangan Syaikh Yusuf dalam melawan kolonialisme dari Makassar hingga ke Afrika Selatan tak pernah surut, Mandela memahami Syaikh Yusuf tidak hanya sebagai Tokoh dan Ulama Besar tapi juga seorang Nasionalis Sejati. Makamnya hingga kini tetap ramai diziarahi tidak hanya oleh kaum muslimin, bahkan nama 'Macassar' dikenang oleh pemerintah Afrika Selatan sebagai Nama dari sebuah distrik di daerah Western Cape.

Sama seperti orang Madagaskar, Saat ini, orang Melayu Cape mengidentifikasi dirinya sebagai "campuran" dari berbagai macam suku-suku bangsa dari Nusantara, seperti Bugis, Melayu, Jawa, dan sebagainya.
Syaikh Yusuf dan para keturunan Nusantara di Afrika Selatan adalah bukti bahwa perjuangan untuk kemerdekaan manusia ada diatas segalanya. Manusia yang merdeka adalah keinginan bagi semua Orang-orang di seluruh penjuru Bumi, merdeka dari penindasan fisik, merdeka dari penindasan pemikiran.

Demikian halnya dengan Diaspora orang-orang Nusantara di Sri Lanka atau Ceylon, bersamaan dengan dikirim dan dibuangnya buruh dan tokoh-tokoh Nusantara ke Afrika Selatan, koloni Melayu (Indonesia) di Sri Lanka justru dibangun oleh Tentara-tentara yang dikontrak dan dibawa oleh Kolonial Belanda. Saat ini ada sekitar 50.000 orang Keturunan Indonesia (Nusantara) di Sri Lanka, atau 0,5% dari jumlah penduduk Sri Lanka.

Orang-orang Nusantara tercatat datang ke Sri Lanka ketika negeri tersebut  masih menjadi bagian dari koloni Belanda, Gelombang pertama datang sekitar 1640--1796 disusul gelombang selanjutnya 1796--1948.
Bahkan jika mau ditarik lebih jauh, orang Nusantara sudah ada di Sri Lanka sekitar abad 13 Masehi pada saat Chandrabanhu Sridamaraja, Seorang Melayu sekaligus Raja dari Tambralinga datang dan menaklukkan bagian Utara pulau Sri Lanka pada 1247, para pengikutnya kemudian hidup dan berasimilasi dengan penduduk setempat.

Keturunan orang-orang Nusantara di Sri Lanka sama halnya dengan di Afrika Selatan, mereka adalah gabungan dari berbagai macam suku bangsa di Nusantara. Orang-orang yang disebut Melayu Ceylon atau Ja-Minissu (Orang Jawa) juga sama halnya dengan para Cape Malay yang berjuang untuk sebuah Peradaban di tempat tinggal mereka yang "baru", keluar dari penindasan dan cengkraman kolonialisme.

Hingga hari ini ada banyak tokoh-tokoh penting keturunan Nusantara (Indonesia) yang "bersinar" di negeri-negeri nun jauh di sana.
Selain Syaikh Yusuf, Soetinah Joemat Peterson (Tina Joemat) adalah salah seorang Menteri di Afrika Selatan. Ada nama Soewarto Moestadja, Raymond Sapoen, Willy Soemita, Paul Salam Soemohardjo (Mantan Ketua Parlemen Suriname), dan masih banyak Tokoh-tokoh keturunan Jawa yang bersinar di Suriname.

Di Srilanka ada nama
Tuan Samayraan Buhary Sally, mantan Kepala Staf Angkatan Darat Sri Lanka. Kemudian ada nama Tuan Burhanuddin Jayah, mantan menteri, diplomat, guru besar, dan politisi serta pemimpin organisasi muslim di Sri Lanka, ada juga nama Jacqueline Fernandez (kontestan Miss Universe 2006 dari Sri Lanka), dan masih banyak lagi tokoh-tokoh besar Keturunan Indonesia di Sri Lanka.

Corine Voisin (walikota La Foa), dan Emmanuelle Darman, seorang model dan Putri Kecantikan, adalah contoh dari beberapa keturunan Diaspora Jawa di Kaledonia Baru.

Pada akhirnya, mimpi menyatukan Indonesia dari Madagaskar, hingga Kepulauan filipina dan sampai ujung timur Papua, terhalang oleh fakta bahwa Madagaskar telah memilih dan memiliki kedaulatan sendiri atas negara dan bangsanya, begitupun Filipina dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya yang ada dalam Nusantara Archipelago.

Nasionalisme sebagai nafas persatuan, dan jika boleh diartikan pula sebagai bentuk dari pencarian identitas dan jati diri sebuah bangsa, tentu akan berubah ubah sesuai dengan keadaan dan cita-cita bersama berbagai suku bangsa dalam mempertahankan sebuah Bangsa atau dalam membentuk Bangsa yang Baru.
Dan tentu, Nasionalisme hanya akan ada dalam "kepala" -jika tidak bisa disebut sebagai imajinasi- para manusia yang ada dalam sebuah Bangsa.

Nasionalisme bagi para diaspora Indonesia (Nusantara) dan keturunannya di berbagai belahan dunia adalah tidak terikat oleh sebuah Tempat. Meskipun mereka berada jauh dari Tanah Moyangnya, tetapi identitas sebagai Bangsa Nusantara tetap melekat di jiwa dan sanubari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun