Mohon tunggu...
Candra D Adam
Candra D Adam Mohon Tunggu... Lainnya - The Man From Nowhere

Pecinta Sepak Bola - Penulis (ke)Lepas(an)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Nasionalisme Nusantara": Dari Madagaskar sampai Suriname

20 November 2021   03:10 Diperbarui: 28 Januari 2022   04:20 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tercatat, 9 Agustus 1890 adalah kedatangan gelombang pertama buruh-buruh asal Jawa di Suriname, yaitu sebanyak 94 orang, disusul ratusan orang pada gelombang-gelombang berikutnya.

Hingga kini, Penduduk Suriname keturunan Jawa adalah sekitar 15% dari total penduduk Suriname. Selain tradisi dan bahasa, keturunan Jawa di Suriname juga masih membawa nama "Jawa" dalam sendi-sendi kehidupan mereka. Mayoritas Keturunan Jawa di Suriname punya mimpi untuk dapat menginjakkan kakinya di negeri tempat leluhurnya berasal, bahkan tak sedikit dari mereka yang melakukan korespondensi dengan keluarga mereka yang masih ada di tanah Jawa.

Yang unik adalah, para buruh yang didatangkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke Suriname tidak hanya berasal dari Suku Jawa, beberapa diantaranya justru berasal dari suku Sunda dan Madura, namun para Keturunannya menyebut diri mereka sebagai "Orang Jawa", dan tak sedikit yang menyebut negara Indonesia dengan nama 'Negoro Jowo'.

Bagi Soemita dan Hardjo, serta ribuan Diaspora Jawa dan keturunannya di Suriname saat itu (setidaknya generasi pertama dan kedua) rasa keterikatan mereka terhadap Jawa (Indonesia) adalah bentuk Nasionalisme, meskipun terpisah jarak ribuan kilometer dari tanah asalnya, diantarnya bahkan hanya mengandalkan imajinasi tentang Tanah Air dari orang tuanya karena sejak lahir belum pernah sama sekali menjejakkan kaki di tanah Jawa. Bagi mereka Jawa adalah identitas, mereka tidak hanya melestarikan budaya dan bahasa Jawa sebagai wujud identitas dan kebanggaan akan kejawaannya, mereka ingin "bersentuhan" secara fisik dengan Tanah Moyangnya, selain juga karena rasa rindu.

Terbukti dengan perjuangan mereka di tanah rantau nun jauh, rasa sakit dan penderitaan orang Jawa di Indonesia sebagai bagian dari Bangsa Indonesia pun mereka rasakan di tanah Karibia, Suriname.
Hingga akhirnya proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebar dan terdengar sampai ke Amerika Selatan, Oang-orang di Suriname pun ikut dalam hagemoni kemerdekaan Indonesia. Banyak diantara mereka ingin dan berbondong-bondong kembali ke Tanah Jawa lewat beberapa perjalanan Laut, termasuk generasi yang sudah lahir di Suriname. Kemudian di awal tahun 50an sebagian dari mereka direpatriasi oleh Presiden Soekarno namun ditempatkan di daerah Sumatera Barat, tepatnya di Kabupaten Pasaman Barat, bukan di kampung halaman masing-masing,  dengan alasan karena ketimpangan Demografi di Indonesia.

Sebagian mereka yang kecewa karena tidak bisa benar-benar kembali ke Tanah Jawa dan berkumpul dengan sanak saudara yang telah lama terpisah jauh (karena justru di tempatkan sebagai Transmigran di Sumatera Barat) akhirnya kembali lagi ke Suriname. Dan yang bertahan di Pasaman Barat (termasuk diantaranya Salikin Hardjo) mereka harus membuka lahan baru di tengah hutan untuk pemukiman yang kemudian bernama Kampung Tongar, Kehidupan mereka bahkan tidak lebih sejahtera dibandingkan ketika mereka di Suriname. Rasa Nasionalisme Orang Jawa-Suriname di tongar, harus dibayar dengan keterbatasan hidup -jika tidak mau disebut sebagai penderitaan- yang harus mereka jalani.

Lantas, bagaimana bisa orang-orang Jawa-Suriname yang sejak abad ke 19 Masehi sudah dikirim oleh Kolonial Belanda ke Suriname tetapi masih mempertahankan Nasionalisme nya setidaknya sebagai sebuah Bangsa bernama Bangsa Jawa, bahkan hingga pada akhirnya Bangsa Jawa menjadi bagian dari yang disebut Bangsa Indonesia?
Yang menjadi pertanyaan lagi adalah bagaimana mungkin keturunan Jawa yang lahir di Suriname pun merasa masih punya Nasionalisme yang kuat terhadap Jawa (Indonesia)? setidaknya hingga Tahun 1975 ketika Suriname sudah memproklamirkan kemerdekaannya dari Belanda.
Hingga hari ini tidak sedikit orang-orang Suriname Keturunan Jawa yang tidak hanya mengidentifikasi diri sebagai orang Jawa, tapi juga merasa punya dua "kwarganegaraan".

Beda-beda Nasionalisme keturunan Diaspora

Tentunya, "Kejawaan" keturunan Jawa Suriname berbeda dengan keturunan Jawa di Kaledonia Baru di laut Pasifik, beda lagi dengan yang di kepulauan Kokos serta beberapa di Christmas Island yang terletak di Samudera Hindia, selain dari tradisi dan bahasa, nasionalisme mereka akan tanah leluhurnya juga berbeda. Orang-orang Jawa di Kaledonia baru cenderung lebih menerima kenyataan bahwa mereka memang harus hidup di koloni yang baru dan harus rela melepaskan "tubuhnya" dari tanah moyangnya, mereka sepenuhnya bisa berasimilasi dengan budaya yang baru. Tidak seperti Orang Jawa di Suriname, yang sebagian besar masih fasih berbahasa Jawa dialek Suriname, orang Jawa di Kaledonia Baru harus melepas "bahasa ibu" mereka dan digantikan dengan bahasa Perancis, karena kebijakan politik pemerintah kolonial Perancis di Kaledonia baru.

Orang Jawa di Pulau Kokos dan Christmas Island pun harus mengalami penyeragaman bahasa yang diberlakukan pemerintah Australia, Bahasa Inggris dan Melayu adalah bahasa yang umum dituturkan di kepulauan Kokos dan Christmas Island. Tentunya keterikatan terhadap nenek moyangnya tetap mereka simpan di sanubari, bagaimanapun identitas mereka sebagai orang Jawa masih mereka rawat. Beberapa tradisi contoh adalah tradisi pernikahan dan acara-acara keagamaan dan budaya masih mereka jaga meskipun sudah jauh dari akarnya di Jawa. Hal ini yang membuat Orang-orang Jawa di Kaledonia baru, Kepulauan Kokos, dan Christmas Island tidak terlalu mementingkan "persentuhan fisik" dengan Tanah Moyangnya di Indonesia, bagi mereka "keterikatan" itu ada di sanubari, tanpa Berbahasa Jawa pun mereka tetap merasa sebagai Orang Jawa, karena pada dasarnya kebiasaan hidup dan falsafah Orang Jawa dibelahan bumi manapun hampir sama, dalam hal parenting, norma kesopanan, cita rasa makanan, tak bisa dirubah begitu saja.

.................................................................

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun