Â
Orlando Magic merupakan tim yang menarik. Berdiri pada tahun 1989 (kebetulan saya belum lahir #maunya sih gitu), Magic identik dengan putaran pertama babak play off (andai kata memang lolos play off).
Tercatat, dari 16 kali kesempatan lolos, Magic sebelas kali sekadar menjadi penggembira di babak play off. Terakhir kali mereka lolos ke babak play off tahun 2020, saat masih diperkuat center jangkung jago tembak Nikola Vucevic (Chicago Bulls) dan Aaron Gordon yang beberapa musim sebelunnya sempat menggemaskan jagat per-NBA-an lewat akurasi tembakan tiga angkanya yang cukup melonjak (lupa tepatnya, kurang lebih tahun musim 2017/18),
Menariknya, dari lima kesempatan sisanya, Magic dua kali melaju ke babak final NBA (1995 dan 2009) saat diperkuat Draft urutan pertama pada tahun yang berbeda yaitu,  Shaquille O'Neal (1992) dan  Dwight Howard (2004).
Selain sama-sama draft urutan pertama di angkatannya masing-masing, keduanya juga sama-sama merupakan pemain raksasa yang bermain di posisi center yang turut mengantarkan Magic ke final NBA.Â
Berdasarkan fakta tersebut, maka wajar jika ada  ungkapan, "jika resepnya teruji berhasil, kenapa nggak dilanjutin aja."Â
Sejak saat itu, entah kenapa, setiap kali mendengar kata Orlando Magic, pikiran saya langsung tertuju pada big man bertinggi minimal 208 cm yang berbobot minimal 115 kg, yang tidak harus didraft oleh Magic sendiri. Ngomong-ngomong, bobot Shaq (147 kg), Dwight Howard (120 kg), Shawn Kemp (127 kg), Nikola Vucevic (118 kg), Horace Grant (116 kg), Wendell Carter Jr (120 kg), Robin Lopez (125 kg), Mo Bamba (104 kg), dan yang terbaru rookie urutan pertama tahun ini Paulo Bonchero (116 kg).
Mereka-mereka ini adalah beberapa nama beken yang sempat atau sedang memperkuat Magic.
Kesempatan terbaik mereka yang pertama dimulai sebelum Magic memilih Shaq sebagai rookie mereka. Berbekal beberapa pemain muda seperti shooter Dennis Scott (draft no 4/1990), shooter lincah Nick Anderson (11/1989), Shaq, dan point guard Penny Hardaway, Orlando Magic tampil lumayan di pengalaman play off kali pertamanya, terutama karena Shaq dikelilingi beberapa penembak jitu, terutama playmaker mereka Penny Hardaway.
Penny sendiri sejatinya adalah draft milik Golden State Warriors (3/1993) sebelum ditukar dengan draft asli milik Magic yaitu power forward/center Chris Webber  (1/1993) dengan alasan komposisi pemain (plus biar Magic mendapatkan  tambahan draft lagi dari Warriors dengan menukar draft dengan urutan yang lebih rendah)
Entah karena tampil grogi atau apa, mereka langsung kalah di putaran pertama dari Indiana Pacers.
(Data tabel diambil dari statistik pemain yang rata-ratanya dari awal karir ampe game terakhir, nyari datanya gampang di mana-mana ada, dan klo diupdate tiap game pun statistiknya nggak akan berubah banyak biasanya, kecuali misal klo akurasi tembakan pemain atau block shot mereka melonjak tajam misal terhitung mulai musim baru).
Musim berikutnya (1995) berbekal komposisi yang nyaris sama plus power forward petarung yang punya umpan dan jump shot bagus Horace Grant dan playmaker yang kerap ditugaskan menjadi penjaga serangan lawan ketika dimainkan dari bangku cadangan Brian Shaw, Orlando Magic langsung melaju ke final, dengan gaya permainan yang nyaris sama seperti sebelumnya. Bedanya Grant memberikan variasi serangan ketika mendapat bola karena ia bisa menyeruduk ke bawah jaring atau memberikan ke Shaq.
Sayang, di final, Shaq bertemu lawan sepadan, center lincah yang juga jago berduel memperebutkan rebound, Hakeem Olajuwon. Kebetulan, rebound dan finishing Shaq yang bagus di bawah jaring menjadi pembeda dengan tim yang dihadapi Shaq eh Magic di putaran-putaran sebelumnya.
Pada putaran pertama, meski trio  Chicago Bulls, trio Pippen, Jordan, Luc Longley, tidak diragukan kapasitasnya, mereka belum punya pemain bertipe petarung dan perusak seperti Dennis Rodman sigap menantang Shaq di musim berikutnya.
Begitu pula center Rik Smith (Indiana Pacers), lawan Shaq di putaran berikutnya, yang mesti punya jump shot bagus, dari sisi tenaga, rasanya masih beda jauh dari Shaq.
Benar saja, di musim berikutnya, Dennis Rodman (dan point guard Ron Harper yang sempat mengimbagi kecepatan Jordan ketika masih bermain di Cavaliers) yang menjadi pembeda antara Bulls dan Magic di semifinal. Meski diperkuat komposisi yang relatif sama, Shaq harus menyerah 4-0 dari Bulls pada tahun 1996.
Musim-musim berikutnya, tanpa diperkuat Shaq, bisa dibilang Magic rutin menjadi penggembira di putaran pertama, termasuk saat mereka diperkuat nama-nama populer pada tahun 2002 seperti point guard Darrel Amstrong, legenda Toronto Raptors shooting guard, Tracy McGrady, shooter jangkung Mike Miller, shooter jangkung (lagi) kurang kokoh Pat Garrity, dan Horace Grant.
Dari bangku cadangan, Magic era tersebut jelas tidak kekurangan pemain bagus karena ada pemain jago slam dunk Bo Outlaw dan small forward dengan skill paling lengkap di eranya, Grant Hill, Â yang sayang rentan cedera dan Legenda Knicks Patrick Ewing.
Meski banyak diperkuat, pemain berpengalaman, pusat permainan praktis ada di tangan McGrady dengan jump shot, umpan, tusukan, dan slam dunk.
Entah karena terlalu berpusat pada McGrady dan pemain lain terlalu berpusat pada satu titik, serangan Magic jadi mudah terbaca. Terlebih saat defense, meski defense pada para playmaker tim lawan terbilang rapi, Magic mempercayakan penjagaan big man tim seperti Elden Campbell (Charlotte Hornets) pada Troy Hudson yang tidak terlalu tinggi.
Meski Campbell kesulitan melewati hadangan Hudson pun, Campbell yang unggul tinggi badan, cenderung tidak kesulitan mengumpankan bola pada pemain yang lebih bebas seperti Baron Davis.
Tidak heran, Magic harus mengakui keunggulan Hornets di putaran pertama.
Menariknya, meski sempat membawa Magic melaju ke final dan membawa Boston Celtics menjadi juara, pelatih Magic saat itu, Doc Rivers, kerap dijuluki pelatih spesialis putaran pertama dan semifinal lantaran tim-tim yang diasuhnya lebih sering mentok di semifinal, meski dari posisi klasemen di babak reguler, berada di posisi yang lebih tinggi.
Gambar punya NBA, saya cuma nyoretin ajaÂ
Magic sendiri mulai berbenah dan membangun tim yang mirip (tapi tidak mirip dengan Magic tahun 1995). Pada tahun 2004, Magic mendatangkan dua rookie sekaligus yaitu Dwight Howard dan Jameer Nelson (yang didatangkan dari Denver Nuggets) Â yang punya jump shot bagus, serta shooter DeShawn Stevenson yang juga tampil keren bersama Dallas Mavericks kelak.
Tim ini perlahan tapi pasti mulai terbentuk dengan kedatangan shooter/playmaker Hedo Tokuglu (dari Sacramento Kings, 2005), yang meski terbilang tidak tangkas, punya dribel dan daya juang bagus ketika harus menusuk ke bawah jaring.
Kepingan tersebut makin lengkap ketika Magic mendatangkan forward dengan jump shot bagus (termasuk ketika bermain post up), Rashard Lewis dari Seattle Supersonics, dan Coutney Lee, defender tangguh senyap yang meski jarang menembak, namun selalu gimana gitu ... .
Tidak sulit menerka skema permainan Magic pada tahun 2009. Terlebih di bangku cadangan Magic diperkuat shooter Michael Pietrus, rookie mereka JJ Redick, dan forward kreatif yang gaya bermainnya termasuk kegemaran saya Marcin Gortat.
Channel: Ali Production
Bermain dengan dua playmaker yang jago tembak (termasuk Hedo) dan Dwight Howard yang di bawah jaring dijaga minimal satu pemain, playmaker mana pun yang dimainkan, termasuk Rafer Alston, tidak harus memberikan bola ke Dwight Howard, Alston bisa memberikan bola ke Lewis atau Hedo yang bisa menembak atau menusuk sebelum mengumpankan ke Howard.
Howard pun, ketika menerima bola, bisa menyelesaikan langsung umpan tersebut lewat post up play atau mengumpan pada para shooter.
Clip Maude
Dari sisi Defense, dengan punya pemain sejangkung Hedo dan Lewis yang kebetulan juga jago defense, pemain mana pun tidak mudah melewati pertahanan Magic. Terlebih di bawah jaring, berdiri sigap Dwight Howard yang juga jago block shot.
Sayang, meski punya defense dan offense bagus di bawah jaring, finishing Howard belum seluwes Shaq.
Di final, Howard kesulitan mencetak angka karena dijaga dua pemain jangkung Lakers, Pau Gasol dan Andrew Bynum, sedangkan saat menjaga Kobe Bryant, setiap kali mengangkat tangan untuk mengeblok tembakan Kobe, Howard seolah selalu dianggap pelanggaran (padahal biasanya nggak sampe gitu-gitu amat sempritan wmeasitnya)
Musim berikutnya, tanpa kehadiran Hedo (yang bertukar seragam dengan Vince Carter di Toronto Raptors) dan Courtney Lee, rasanya ada yang beda dari Magic. Meski kita tahu Vince Carter, point guard kreatif Jason Williams, Â dan defender ceking Matt Barnes bermain seperti apa (baca: keren pisan), Tanpa tusukan Hedo , kemampuan membuka ruang, praktis berpusat pada Nelson. Terlebih Williams dan terutama Carter tidak dikenal dengan defense-nya, meski dari sisi highlight, mereka senantiasa memancing keriuhanÂ
Terlebih shooter jangkung Ryan Anderson dan forward dengan jump shot bagus Brandon Bass masih terlalu muda. Tidak heran, mereka terhenti di bawah hadangan Boston Celtics yang diperkuat Kevin Garnett, Ray Allen, Rojon Rondo, Paul Pierce, dan Glenn "Baby" Davis yang mempersulit Howard di bawah jaring pada tahun 2010 di babak semifinal (di bawah racikan pelatih Doc Rivers).
Musim berikutnya, meski masih diperkuat Howard dan kembali diperkuat Hedo dan kedatangan playmaker tangkas Chris Duhon, Orlando hanya jadi pemanis di putaran pertama  selama dua musim berikutnya.
Pencapaian tersebut yang mendorong Howard pindah ke Lakers dan Magic mulai mempercayakan posisi center pada big man jago tembak Nikola Vucevic. Lewat kehadiran Vucevic, sejatinya Magic beradaptasi dengan lewat center yang bisa membuka ruang karena memiliki jump shot yang bagus.
Sayang saat diperkuat Vucevic, entah kenapa Magic rajin berkutat di peringkat 13-15 wilayah timur, meski di atas kertas komposisi Magic tidak selamanya buruk.
Musim 2015/16 misalnya, mereka diperkuat playmaker berjambul eh bertenaga seperti Elfrid Payton, scorer Victor Oladipo (yang memang belum sematang sekarang, terutama dari segi timing dan akurasi, sewaktu di Indiana Pacers), shooter asal perancis Evan Fournier, Vucevic, serta forward tangkas yang mereka draft tahun 2013 di urutan no. 4 Aaron Gordon.
Tidak ada yang salah dengan ball movement mereka. Setidaknya di era tersebut, umpan antar pemain di area tiga angka termasuk keren. Gaya permainan tersebut masih dipertahankan pada musim berikutnya di mana peran Oladipo diisi Terrance Ross (no punggung 31) atau bahkan Serge Ibaka
Channel: HNB MediaÂ
Offense Magic emang menjanjikan. Saking menjanjikannya, Magic bahkan sempat memenangi delapan dari 12 game pertama pada musim 2017/18. Terutama saat akurasi Gordon meningkat tajam. Sayang, tim ini seperti nggak berniat menutup ruang gerak pemain lawan saat bertahan. Pertahanan mereka terlalu mudah ditembus ketika serangan pemain lawan dimulai dari area tiga angka (bahkan sampai musim lalu. sekarang sih jauuuh lebih baik klo melihat statistik 30 tim), meski di atas kertas mereka punya banyak big man yang punya kaki lincah untuk menutup ruang gerak dan siap mengeblok bola di bawah jaring (juga bahkan sampai sekarang)
Tidak heran, pada musim tersebut mereka lantas menderita sembilan kekalahan beruntun, meski komposisi pemain tidak berubah. Bisa dibilang Magic lebih suka menghibur penonton, tanpa terlalu mementingkan pertahanan.
Terlebih, meski punya beberapa rookie potensial seperti Mo Bamba, Wes Iwundu, dan Jonathan Isaac yang dari posturnya aja udah keliatan tangkas dan jago lompat, pemain Magic seolah tidak ingin mengasah skill lain, misal akurasi tembakan atau permainan yang nggak selalu mengandalkan kekuatan fisik dan umpan tajam. Belum lagi, pemain seperti Isaac termasuk rentan cedera. Tercatat meski sudah bermain selama lima musim, praktis Isaac sudah tidak bermain selama dua musim.
Prestasi terbaik Magic era Gordon Vucevic sendiri terjadi pada musim 2018/19 dan semusim selepasnya di mana di bawah asuhan Steve Clifford yang lebih banyak dikenal sebagai pelatih Hornets era Jordan termasuk musim ini, berhasil tampil keren dan nangkring di posisi 7, berbekal pemain yang relatif sama dengan musim 2018, hanya saja  posisi Payton diisi playmaker mungil serbabisa DJ Augustin. Sayang di babak play off, mereka kandas di putaran pertama ketika bertemu Toronto Raptors.
Musim berikutnya, entah kenapa Magic makin terasa seperti tim yang senantiasa memberi kesempatan kedua pada pemain yang sempat dianggap potensial (bahkan sampai musim ini). Setelah musim sebelumnya diperkuat Michael Carter Williams, musim 2019/2020, Magic mulai diperkuat Markelle Fultz yang penampilannya mulai membaik (meski kurang bertenaga atau setidaknya cepat dan lincah seperti tren NBA belakangan), dan musim berikutnya RJ Hampton yang gaya bermainnya sempat digilai netizen budiman saat masih berkuliah (karena tangkas, lincah, dan punya finishing bagus di berbagai area).
Seingat saya, salah satu prestasi terbaik Magic saat itu adalah dua kali mengalahkan Lakers di babak reguler, dengan memanfaatkan tinggi tubuh dan kekuatan fisik pemain Magic. Bisa dipahami, Lakers yang kala itu memang memfokuskan serangan di bawah jaring lewat tusukan lebron, menemukan kryptonite-nya yaitu para pemain yang tidak terlalu niat meredam serangan dari area tiga angka, tapi sigap mengeblok bola. Terlebih musim tersebut mereka diperkuat Wes Iwundu.
Ketika sebuah tim sudah terbentuk kurang lebih lima musim namun prestasi terbaik mereka masih sebatas play off putaran pertama, seperti Magic pada umumnya, manajemen adalah sasaran paling empuk fans mereka sendiri dan netizen julid budiman.
Channel:NF Classic
Tim yang dimiliki oleh keluarga Devos (salah satu pendiri perusahaan pemasaran Amway) dikenal kurang jeli memilih pemain muda lewat draft. Beberapa pemain yang mereka pilih, jarang ada yang menjadi starter meski masih bermain untuk Magic, misal Mario Henzoya (5/2015), Jonathan Isaac (6/2017) (cedera), Mo Bamba  (6/2018), baru musim ini berkesempatan menjadi starter, Melvin Frazier (sekarang bermain untuk tim G-League OKC), Chuma Okeke, forward yang meski akurasi tembakan angkanya lumayan, poin per game-nya selama dua musim rata-rata di bawah sepuluh poin. Paling hanya point guard Cole Anthony yang bisa menembus tim utama Magic sejauh ini lantaran punya drive, jump shot, dan block shot yang cukup menjanjikan.
Channel: Hoops Highlight
Kecuali mungkin Frazier, semua pemain yang didraft Magic, senantiasa memiliki postur dan gaya bermain yang mirip. Mereka semua rata-tata jangkung kekar, punya umpan tajam, dan cukup dominan di bawah jaring sendiri dan jaring lawan. Meski begitu akurasi tembakan tiga, kreativitas, dan defense sejak pemain lawan memasuki area tiga angka cenderung tidak begitu menonjol.Â
Buat saya, yang doyan, nontonin permainan model Boston Celtics (2019), Rockets era Chris Paul, Grizlies era musim lalu, dan Utah Jazz musim ini yang ngandelin defense para pemain ulet dan jangkung, gaya tersebut cocok sama gaya permainan NBA terkini (padahal selera saya pribadi), cuman dengan akurasi tembakan tiga angka yang tidak terlalu meyakinkan dan permainan yang kurang niat menang, jadinya ya gitu deh. Terlebih mereka nggak pernah benar-benar punya mentor berpengalaman yang punya pengalaman cukup panjang di babak play off.
Lantaran prestasi Magic dinilai biasa-biasa saja, mereka  mulai mengadakan mini rebuild (lantaran komposisi beberapa pemain mudanya relatif masih sama) dengan mendatangkan rookie point guard Jalen Suggs (draft no. 7 2021) dan adik mantan shooter jangkung Lakers Moritz Wagner, Franz Wagner (8/2021) (yang lantas dikenal dengan nama Wagner Brother)
Kebetulan, permainan Magic era baru ini dinilai menjanjikan. Meski aliran bola dirancang Cole Anthony (no punggung 14) atau Jalen Suggs atau malah Markelz Fultz, skema permainan Magic menjadi menarik begitu bola ada di tangan Franz lantaran Franz bisa mendribel bola sampai mentoq atau langsung mengumpankan pada center lincah Wendell Carter.Â
Sedikit banyak racikan ini merupakan andil dari pelatih Jahmahl Mosley yang cukup berpengalaman menangani pemain muda sejak sejak menangani karir tersebut di Denver Nuggets (2005)
Channel: NBA Europe
Terlebih, mereka mendatangkan rookie forward berkemampuan offense lengkap, draft nomor satu musim ini Paolo Bonchero (208 cm), yang jika bermain bersama mantan rookie Denver Nuggets, Bol Bol (218 cm) mengingatkan saya pada kombinasi Anthony Davis dan Demarcus Cousins yang bermain bersama di New Orleans Pelicans di mana keduanya bisa menjadi satu sama lain, tergantung siapa yang ada di area tiga angka dan siapa yang ada di bawah jaring
Bol-Bol, sendiri merupakan center raksasa yang gaya maennya konon diharapkan seperti Victor Wambenyama (yang juga mengingatkan para generasi setua saya dengan Ralph Samson, power forward setinggi 224 cm jago dribel legenda Houston Rockets), dengan dribel, finishing, dan tembakan tiga angkanya namun entah kenapa sebelum bermain untuk Magic.
Meski tidak selalu, pemain-pemain bertubuh lebih tinggi (apalagi kekar) berkaki lincah cenderung punya defense lumayan. Bahkan dengan kaki lincahnya, pemain-pemain tersebut menjaga pemain mana pun yang dibutuhkan, Jika perlu, dalam beberapa detik pemain tersebut bisa bertukar posisi dengan rekan lain untuk menjaga pemain yang sama jika dari segi postur memang lebih menguntungkan. Pertukaran peran atau posisi ini dalam istilah basket dikenal sebagai defensive rotation.
Terlepas gaya bermain di klip yang selalu menjanjikan. Gaya bermain Orlando Magic secara umum tidak senantiasa seatraktif kelihatannya karena mereka mengandalkan eksekusi langsung selepas menerima umpan satu kali (atau malah dieksekusi langsung oleh playmakernya memanfaatkan pick and roll dengan big man). Sebuah gaya bermain yang terbilang masuk akal lantaran mereka sedang dalam proses rebuild yang perlu bermain ala kadarnya (mengalah sebanyak mungkin) agar mendapat draft urutan atas musim depan.
Dengan gaya bermain sesederhana itu, wajar jika statistik Bonchero terlihat moncer dari segi statistik dengan rataan 21,9 poin, 6,9 rebound, dan 4,0 assist, dan menjadi calon kuat peraih rookie of the year akhir musim ini.
Dengan sedikitnya lima sampai enam tim yang kesannya ngebet pisan buat dapetin Wembenyama (padahal Wambenyama-nya cuman atu, dan penampilan Magic yang sebenarnya termasuk sudah lebih menjanjikan dari segi konsep , arah Magic musim ini dan musim depan masih menjadi misteri. Apakah akan tetap menjadi Magic yang dikenal netizen budiman sejauh ini (sembari melanjutkan proses rebuilding karena kedalaman komposisi pemainnya jelas masih kurang meyakinkan) atau lebih serius mengembangkan potensi mereka yang mulai terlihat sejauh ini. Terlebih Magic ternyata dikenal jeli menyusun kepingan pemain lewat draft.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI