Gara-gara air, kubiarkan telapak kakiku memar. Telah setengah jam kususuri jalan setapak berpayungkan rimbun pepohonan pakis. Udara masih lembab. Setapak ini semakin curam saja.
Perjalanan ini bagaikan menuntunku turun semakin jauh menuju dasar sebuah kuali raksasa. Kuali tersebut berbentuk lembah, tempat orang-orang desa menimba air sambil menenteng jerigen-jerigen putih. Dulu, para tetua kampung menjelajahi sisi-sisi hutan yang belum terjamah. Pada salah satu lembah, mereka terkesan menemukan mata air berbentuk sendang-sendang kecil. Lembah yang sama itulah yang sedang kulalui.
Ada empat sendang di dasar lembah. Yang terbesar diberi nama Pitun. Induk mata air. Luasnya sekitar tiga kali rentangan lengan orang dewasa. Ketiga sendang lainnya bertempat di sekeliling sendang utama. Anang, Manuk dan Duan, demikianlah orang-orang desa menamai mereka. Di antara keempatnya, Anang adalah sendang paling kecil. Manuk yang terdalam di antara semuanya. Di sisi paling timur, Duan adalah sendang yang paling banyak dikitari tumbuhan dan lumut. Yang paling mistis dan sakral di antara mereka adalah Pitun.
Keempat sendang terhubung dalam satu jaringan aliran bawah tanah. Jaringan itu menciptakan jalur dan cabang-cabangnya sendiri. Lagaknya seperti sistim saraf atau pembuluh darah bawah tanah. Melaluinya, tonjolan-tonjolan akar menyerap air untuk menopang kehidupannya. Pakis, mahoni, gaharu, dan ratusan spesies pepohonan lainnya berjubelan. Lumut dan jamur menambal setiap inci lahan yang tak terjamah. Semua tertutup rapat vegetasi hidup.
"Air adalah darah hutan, nadi yang terus bergerak dan membawa semua rahasia alam semesta dari akar ke akar, daun ke daun, batang ke batang hingga melekat dalam daging buah dan menguar bersama aroma harum bunga," demikian kata bapak sebelum aku pergi. Sebagai seorang putra kepala adat di desa, bapak selalu memiliki cerita. Hampir tentang apa saja yang bisa orang kampung pikirkan.
"Ingat nak, semua tumbuhan berbagi rahasia alam yang sama karena air," lanjut beliau sambil menatap tunggul pohon yang beberapa detik lalu ia potong. Aku tak sesombong itu menolak dengar cerita mitos dari bapak, tapi aku juga tak sebodoh itu menganggap penjelasan mitologisnya sebagai kebenaran faktual.
Jika mata air adalah darah dari hutan, apakah aku ini nyamuk yang setiap hari menimba dan meminum darahnya?Â
Setiap kehidupan adalah bentuk penghisapan dari kehidupan lainnya. Di dunia ini hanya ada parasit dan parasit.
Jempol kakiku kembali terantuk entah untuk yang keberapa kalinya. Darah segar mengucur dari sela kuku. Umpatan tak sedikitpun mengurangi rasa perih. Kurelakan beberapa tetesnya dihisap tanah dengan lahap. Mungkin tanah memang sedang membutuhkan pendonor. Bukankah di berita-berita, media selalu menampilkan keadaan alam yang sedang sakit. Butuh darah.
Kemarin aku menonton berita di rumah kepala desa bersama sekelompok besar warga lain. Maklum, saat itu, satu-satunya televisi adalah milik kepala desa. Dibeli sudah sejak setahun lalu. Desa sebelah membuat proyek pembangunan toko-toko swalayan. Habis sudah berhektar-hektar kawasan hutan dibabat rata. Sendang dan mata air lenyap. Pakis dan mahoni hanyut dibawa proyek berskala besar tersebut. Anak-anak kecil tidak lagi ditugaskan oleh orangtua mereka untuk mengambil air di sendang. Air yang bersih kini diperoleh melalui pipa-pipa kecil di sekeliling kampung. Tentu saja setelah itu, tarif akan dikenakan sesuai jumlah volume air yang diambil.
Orang-orang desa sebelah mulai terbiasa dengan bunyi mesin bor dan mesin pompa air. Tanah dilubangi. Air dihisap secara paksa melalui saluran-saluran pipa yang lama berlumut. Air yang dulu sebersih jendela gedung balai desa berangsur-angsur menjadi keruh dan amis. Itu yang dikatakan modern? Persetan dengannya.
Barangkali aku adalah sisa-sisa kecil dari sebuah bentuk kehidupan yang masih sederhana. Bersahaja. Naif. Spontan dan natural.
Sejak kelas satu SD, tugas tetapku setiap hari adalah mengambil air dari sendang. Bapak dan ibu dulu juga begitu. Demikian pula dengan bapak dari bapakku dan ibu dari bapaknya bapakku. Kebiasaan ini diwariskan. Kami  belum mau menukar warisan ini dengan tetek bengek mesin yang bising atau dengan bilai-bilah pipa yang melintang-lintang tak tentu arah. Bagi pikiran sederhana kami, jerigen sudah cukup untuk kebutuhan anak cucu sehari-hari.
Aku tiba di Sendang Pitun. Kucedokkan beberapa tegukan air untuk melepas dahaga. Saat cairan itu menyentuh lidah dan tenggorokkan, seluruh indra kembali terbuka. Tak pernah aku merasa sesegar ini sebelumnya. Bukan saja komposisi airnya yang sempurna, melainkan sensasi mistisnya yang mencerahkan.
Ada beberapa memori yang berlintasan sekelebat di kepala. Beberapa berasal dari masa-masa yang kuno. Ia hinggap tanpa izin dan bergerak bagai kumpulan frame adegan foto. Beberapa detik kemudian, pikiranku menemui batasnya dan semua tenggelam dalam kegelapan yang menenangkan.
......................................................................************................................................................................
Tubuh ini membujur kaku untuk waktu yang tak kusadari. Satu-satunya yang kusadari saat ini adalah bahwa tubuhku telah terlentang di atas tanah di samping sendang dan dua jerigen kosong. Aku mungkin pingsan setelah meneguk air sendang. Atau bermimpi.
Sekujur tubuhku kembali merasakan denyut perih pada kuku kaki. Aku tak lagi bermimpi.
Banyak visi dari memori-memori aneh tadi yang tak bisa kuingat dengan baik. Beberapa momen justru secara berani menampakkan dirinya dan menyerahkan rahasia mereka pada ingatanku.
......................................................................************................................................................................
Di tengah momen supersingkat itu aku berhadapan dengan seorang wanita tinggi. Seluruh tubuhnya terbuat dari air yang bergerak dan transparan. Ia bukan air yang beku dan berbentuk siluet wanita, sebaliknya ia masih bergerak mengalir kemari sambil mempertahankan bentuk anatomi tubuh seorang wanita. Aliran dan riak air yang menyebar ke seluruh penjuru tubuhnya menciptakan sensasi kesibukan arus sungai, hilir mudik tanpa henti. Cukup sulit untuk menangkap matanya yang mencuat sedikit dari aliran air.Â
"Berbagilah rahasia denganku," sebuah suara berdengung dari suatu jarak yang jauh sekali. Wanita air itu sedang berbicara.
Adegan berikutnya berubah. Aku diperlihatkan tumpukan batu-batu hitam. Bilah-bilahnya yang pipih dipenuhi noda hitam dan lekat bagai diperciki sesuatu. Aku sangsi noda itu berasal dari tanah. Ada sesuatu yang menekan dan mengintimidasi dari bebatuan itu. Rasanya seperti kerinduan balas dendam yang lama ditahan.
Adegan ketiga hanya bisa kutafsir tanpa tahu persis objeknya. Sesuatu mengalir lambat memasuki celah dan rongga-rongga. Ia hangat dan sedikit lebih kental daripada air biasa. Warna monokrom pada adegan itu membuatku kesulitan mengidentifikasi warna sesungguhnya dari objek tersebut. Yang jelas ia merembes dan menembus pori-pori, menciptakan jalur-jalur yang bercabang, lalu dalam perjalanannya menemukan arus dan jalur yang lebih besar. Di titik di mana aliran cabang kecil bergabung dengan arus yang lebih besar, ia terbawa dan menjadi genangan-genangan di atas permukaan.
................................................................*********.......................................................................
Aku berhenti memikirkan gambaran-gambaran aneh tersebut tepat Ketika kedua jerigenku meluap oleh air. Warnanya masih sebening kristal.
Banyak orang kampung menganggap kawasan sendang adalah tempat sakral dan gaib. Genangan mata air selalu menjadi tempat hunian menarik bagi dedemit, jin dan roh. Barangkali salah satu jin sedang memanipulasi pikiranku.
Dengan menenteng sepasang jerigen berisi air, aku bersiap kembali ke kampung. Sebelum genap langkahku, sebuah serangan rasa perih kembali dirasakan jemari kakiku. Di tempat memar yang sama terhampar luka robekan yang berdarah-darah. Jempolku terantuk batu. Kesialan untuk yang ke sekian kalinya. Genangan darah terpercik dan melekat pada permukaan batu-batuan. Noda tersebut membentuk pola-pola percikan merah yang segera berubah hitam saat mengering.
Kaki terasa kebas saat lebih banyak genangan darah membasahi tanah, lalu terserap dan menyisakan jejak basah.
Bebatuan ternoda. Aliran yang merembes lubang-lubang di tanah. Sendang. Wanita air. Seluruh kebetulan ini membuat memori gaib tadi sedikit lebih masuk akal. Noda pada batu ternyata darah. Cairan kental tadi adalah tumpahan darah yang menembus permukaan tanah dan bergabung dengan aliran mata air bawah tanah menuju ke empat sendang. Anehnya, semua itu adalah darahku sendiri.
Selama satu jam perjuangan sia-sia, tubuhku menyerah. Gelombang rasa dingin merambat pelan dari jemari, melewati mata kaki menuju paha, bergerak vertikal ke arah perut, leher, dan berpuncak di kepala. Luka yang terbuka tadi tak berhenti membebaskan berliter-liter darah segar ke alam bebas. Bersamaan dengan kucuran terakhir, kesadaranku memudar. Beberapa detik berikutnya, aku berubah menjadi genangan darah dan bisa melihat tubuh pucat yang terbaring dari samping.
Kejadiannya berlangsung dengan singkat. Aku dihisap tanah. Turun ke lapisan bawah melewati rongga-rongga tanah tak kasat mata, menciptakan cabang-cabang kecil.
Detik berikutnya, aku sudah terserat aliran air bawah tanah, menyatu dan bergerak mengikuti arah aliran menuju timur. Kemudian aku muncul kembali ke permukaan tanah melalui celah batuan. Aku tiba di sendang Pitun, mengalir dan terus mengalir, menjadi bagian darinya. Aku darah dari sendang berdarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H