Barangkali aku adalah sisa-sisa kecil dari sebuah bentuk kehidupan yang masih sederhana. Bersahaja. Naif. Spontan dan natural.
Sejak kelas satu SD, tugas tetapku setiap hari adalah mengambil air dari sendang. Bapak dan ibu dulu juga begitu. Demikian pula dengan bapak dari bapakku dan ibu dari bapaknya bapakku. Kebiasaan ini diwariskan. Kami  belum mau menukar warisan ini dengan tetek bengek mesin yang bising atau dengan bilai-bilah pipa yang melintang-lintang tak tentu arah. Bagi pikiran sederhana kami, jerigen sudah cukup untuk kebutuhan anak cucu sehari-hari.
Aku tiba di Sendang Pitun. Kucedokkan beberapa tegukan air untuk melepas dahaga. Saat cairan itu menyentuh lidah dan tenggorokkan, seluruh indra kembali terbuka. Tak pernah aku merasa sesegar ini sebelumnya. Bukan saja komposisi airnya yang sempurna, melainkan sensasi mistisnya yang mencerahkan.
Ada beberapa memori yang berlintasan sekelebat di kepala. Beberapa berasal dari masa-masa yang kuno. Ia hinggap tanpa izin dan bergerak bagai kumpulan frame adegan foto. Beberapa detik kemudian, pikiranku menemui batasnya dan semua tenggelam dalam kegelapan yang menenangkan.
......................................................................************................................................................................
Tubuh ini membujur kaku untuk waktu yang tak kusadari. Satu-satunya yang kusadari saat ini adalah bahwa tubuhku telah terlentang di atas tanah di samping sendang dan dua jerigen kosong. Aku mungkin pingsan setelah meneguk air sendang. Atau bermimpi.
Sekujur tubuhku kembali merasakan denyut perih pada kuku kaki. Aku tak lagi bermimpi.
Banyak visi dari memori-memori aneh tadi yang tak bisa kuingat dengan baik. Beberapa momen justru secara berani menampakkan dirinya dan menyerahkan rahasia mereka pada ingatanku.
......................................................................************................................................................................
Di tengah momen supersingkat itu aku berhadapan dengan seorang wanita tinggi. Seluruh tubuhnya terbuat dari air yang bergerak dan transparan. Ia bukan air yang beku dan berbentuk siluet wanita, sebaliknya ia masih bergerak mengalir kemari sambil mempertahankan bentuk anatomi tubuh seorang wanita. Aliran dan riak air yang menyebar ke seluruh penjuru tubuhnya menciptakan sensasi kesibukan arus sungai, hilir mudik tanpa henti. Cukup sulit untuk menangkap matanya yang mencuat sedikit dari aliran air.Â
"Berbagilah rahasia denganku," sebuah suara berdengung dari suatu jarak yang jauh sekali. Wanita air itu sedang berbicara.