Mohon tunggu...
Geovanny Calvin Pala
Geovanny Calvin Pala Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pencinta dan penggiat sastra. Berbekal ilmu Filsafat yang telah ia rampungkan di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, ia kini mengajar di SMAS Seminari San Dominggo Hokeng. Penggemar karya-karya Ayu Utami ini mengisi waktu luangnya dengan menghasilkan berbagai tulisan di media-media. Baginya, menulis bukan merupakan usaha untuk mencari isi kebenaran, melainkan untuk melatih cara berpikir demi mendekati kebenaran.

Seorang pencinta dan penggiat sastra. Berbekal ilmu Filsafat yang telah ia rampungkan di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, ia kini mengajar di SMAS Seminari San Dominggo Hokeng. Penggemar karya-karya Ayu Utami ini mengisi waktu luangnya dengan menghasilkan berbagai tulisan di media-media. Baginya, menulis bukan merupakan usaha untuk mencari isi kebenaran, melainkan untuk melatih cara berpikir demi mendekati kebenaran.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sendang Berdarah

29 Juni 2021   18:29 Diperbarui: 29 Juni 2021   18:52 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Adegan berikutnya berubah. Aku diperlihatkan tumpukan batu-batu hitam. Bilah-bilahnya yang pipih dipenuhi noda hitam dan lekat bagai diperciki sesuatu. Aku sangsi noda itu berasal dari tanah. Ada sesuatu yang menekan dan mengintimidasi dari bebatuan itu. Rasanya seperti kerinduan balas dendam yang lama ditahan.

Adegan ketiga hanya bisa kutafsir tanpa tahu persis objeknya. Sesuatu mengalir lambat memasuki celah dan rongga-rongga. Ia hangat dan sedikit lebih kental daripada air biasa. Warna monokrom pada adegan itu membuatku kesulitan mengidentifikasi warna sesungguhnya dari objek tersebut. Yang jelas ia merembes dan menembus pori-pori, menciptakan jalur-jalur yang bercabang, lalu dalam perjalanannya menemukan arus dan jalur yang lebih besar. Di titik di mana aliran cabang kecil bergabung dengan arus yang lebih besar, ia terbawa dan menjadi genangan-genangan di atas permukaan.

................................................................*********.......................................................................

Aku berhenti memikirkan gambaran-gambaran aneh tersebut tepat Ketika kedua jerigenku meluap oleh air. Warnanya masih sebening kristal.

Banyak orang kampung menganggap kawasan sendang adalah tempat sakral dan gaib. Genangan mata air selalu menjadi tempat hunian menarik bagi dedemit, jin dan roh. Barangkali salah satu jin sedang memanipulasi pikiranku.

Dengan menenteng sepasang jerigen berisi air, aku bersiap kembali ke kampung. Sebelum genap langkahku, sebuah serangan rasa perih kembali dirasakan jemari kakiku. Di tempat memar yang sama terhampar luka robekan yang berdarah-darah. Jempolku terantuk batu. Kesialan untuk yang ke sekian kalinya. Genangan darah terpercik dan melekat pada permukaan batu-batuan. Noda tersebut membentuk pola-pola percikan merah yang segera berubah hitam saat mengering.

Kaki terasa kebas saat lebih banyak genangan darah membasahi tanah, lalu terserap dan menyisakan jejak basah.

Bebatuan ternoda. Aliran yang merembes lubang-lubang di tanah. Sendang. Wanita air. Seluruh kebetulan ini membuat memori gaib tadi sedikit lebih masuk akal. Noda pada batu ternyata darah. Cairan kental tadi adalah tumpahan darah yang menembus permukaan tanah dan bergabung dengan aliran mata air bawah tanah menuju ke empat sendang. Anehnya, semua itu adalah darahku sendiri.

Selama satu jam perjuangan sia-sia, tubuhku menyerah. Gelombang rasa dingin merambat pelan dari jemari, melewati mata kaki menuju paha, bergerak vertikal ke arah perut, leher, dan berpuncak di kepala. Luka yang terbuka tadi tak berhenti membebaskan berliter-liter darah segar ke alam bebas. Bersamaan dengan kucuran terakhir, kesadaranku memudar. Beberapa detik berikutnya, aku berubah menjadi genangan darah dan bisa melihat tubuh pucat yang terbaring dari samping.

Kejadiannya berlangsung dengan singkat. Aku dihisap tanah. Turun ke lapisan bawah melewati rongga-rongga tanah tak kasat mata, menciptakan cabang-cabang kecil.

Detik berikutnya, aku sudah terserat aliran air bawah tanah, menyatu dan bergerak mengikuti arah aliran menuju timur. Kemudian aku muncul kembali ke permukaan tanah melalui celah batuan. Aku tiba di sendang Pitun, mengalir dan terus mengalir, menjadi bagian darinya. Aku darah dari sendang berdarah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun