Mohon tunggu...
Cakra Yudi Putra
Cakra Yudi Putra Mohon Tunggu... Konsultan - Direktur Kemitraan Total Politik

Lebih dari lima tahun sebagai praktisi sektor publik di bidang keuangan dan pemerintahan, saat ini sedang menempuh studi Magister Ekonomi di program studi Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Universitas Indonesia. Fokus penelitian pada isu ekonomi politik, ekonomi kesehatan, dan sosial politik. Melalui Total Politik, Cakra melakukan advokasi isu kebijakan publik dan membuka ruang seluas-luasnya untuk diskusi dan partisipasi politik pada berbagai level.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Gibran di Antara Iblis dan Malaikat Dinasti Politik

25 November 2023   19:58 Diperbarui: 25 November 2023   19:58 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita meyakini bahwa selama ini keburukan yang dilakukan manusia adalah karena misi abadi dari iblis yang enggan untuk bersujud kepada nenek moyang manusia, yakni Nabi Adam as, menyebabkan dikeluarkannya iblis dari surga dan sejak itu menyatakan perang terhadap umat manusia dengan menyesatkan kehidupan manusia dari jalan kebaikan.

Manusia yang secara fitrah diberikan akal fikiran untuk meraih kemuliaan yang dijanjikan Allah swt apabila mampu melawan godaan iblis. Manusia selalu punya pilihan untuk berbuat baik, atau sebaliknya.

Begitu juga Gibran di tengah dinasti politik yang dengan segala kekuatannya mampu mengerahkan sumber daya untuk menciptakan keburukan, atau malah bermuara pada kebaikan, yang pada akhirnya menempatkannya pada posisi yang mulia. 

Ruang percakapan politik Indonesia hari ini kembali riuh ihwal keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan judicial review atas UU No. 17 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang syarat batas umur minimal 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden. 

MK mengabulkan permohonan tersebut dengan menambahkan ketentuan, yaitu pengecualian apabila calon presiden atau wakil presiden pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. 

Sontak banyak telunjuk tertuju kepada Gibran Rakabuming Raka, yang dianggap bahwa keputusan MK ini adalah tentang dinasti politik dan hanyalah semata untuk memuluskan jalan seorang anak presiden. 

Dinasti politik selama ini dijadikan konotasi yang dianggap buruk karena dipersepsikan selalu berdampak buruk terhadap masyarakat dan seolah-olah bahwa dinasti politik itu akan bertahan selamanya tanpa bisa diruntuhkan. 

Tuduhan itu bukan hanya tidak berdasar secara empiris, tetapi juga menyempitkan perspektif masyarakat untuk melihat spektrum yang lebih luas dari fenomena dinasti politik:

Tantangan dinasti politik

Dinasti politik hanya akan menjadi hal yang buruk apabila mereka menggunakan kekuasaan untuk hanya mengkonsentrasikan semua sumber daya yang ada, anggaran dan kekuatan politiknya, hanya untuk keluarga mereka dan kroninya, yang menyebabkan distribusi kekayaan tidak terjadi di masyarakat. Dampaknya, masyarakat tetap miskin, dan dinasti politik serta kroninya semakin kaya. 

Sebaliknya, dengan regulasi yang ada saat ini mengatur masa jabatan kepemimpinan kepala daerah maksimal dua periode selama masing-masing lima tahun, memberikan motif kepada politisi untuk bertindak populis dengan mengutamakan kepentingan masyarakat agar meningkatkan peluang mereka terpilih kembali. 

Jangka waktu dinasti politik yang panjang, terutama di pemerintahan daerah dan dalam konteks pemerintahan yang sangat terdesentralisasi, dapat memberi mereka landasan reformasi yang lebih panjang yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan dan program yang penting bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, kuat, dan inklusif. Motif bagi politisi untuk meninggalkan dan memastikan “warisan kebijakan” yang akan dilanjutkan oleh dinasti politik akan bermanfaat bagi masyarakat untuk jangka panjang.

Dinasti politik tidak berdiri sendiri dengan megahnya tanpa ada tantangan. Pemerintahan Indonesia yang saat ini terdesentralisasi menciptakan banyak variasi dalam konfigurasi politik di level daerah, seperti dominasi partai serta persaingan antar elit politik dan koalisinya, membuat banyak dinasti politik tidak mampu terbentuk, atau pada akhirnya runtuh. 

Contoh kegagalan dinasti politik di Provinsi Kalimantan Tengah, yang dimana hanya dua dari tujuh daerah yang berhasil dalam menciptakan dinasti politik. 

Sekali lagi membuktikan bahwa di era demokrasi, preferensi masyarakat menjadi faktor penentu yang krusial. Gibran Rakabuming Raka, dan siapapun yang berasal dari dinasti politik harus terus menjaga performa pemerintahan yang baik untuk memberikan sinyal kepada masyarakat bahwa mereka kompeten.

Melihat lebih luas: dinasti politik di berbagai negara

Dinasti politik bukan hanya fenomena yang ditemui di negara berkembang atau yang umur demokrasinya masih muda, bahkan Amerika Serikat sebagai kiblat demokrasi pun telah banyak menelurkan sosok presiden dari dinasti politik, terbentang mulai dari abad ke sembilan belas ketika presiden ke enam Amerika Serikat, John Quincy Adams (1825-1829) yang merupakan presiden ke enam Amerika Serikat merupakan anak dari John Adams (1797-1801), founding fathers yang juga merupakan presiden kedua Amerika Serikat hingga abad ke 21 yakni George W. Bush (2001-2009) yang merupakan anak dari George H.W. Bush (1989-1993). 

Belum lagi dinasti politik keluarga Roosevelt, Kennedy, dan masih banyak lainnya. Sepanjang sejarah Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa banyak kebijakan pembangunan yang mampu menjaga pertumbuhan ekonomi dengan baik di bawah pemerintahan presiden dari dinasti politik.

Banyak mengatakan bahwa dinasti politik menyebabkan kemiskinan, akan tetapi hal tersebut masih diperdebatkan di Filipina. Filipina dengan lebih dari 70% anggota kongresnya yang berasal dari dinasti politik, ternyata beberapa studi empiris menunjukkan minimnya keterkaitan antara dinasti politik dengan tingkat kemiskinan di Filipina. Daerah yang dipimpin oleh dinasti politik tidak serta merta menjadi miskin, akan tetapi disebabkan karena lemahnya institusi pemerintahan yang dibentuk sehingga menyebabkan kondisi sosial ekonomi masyarakat menjadi buruk. 

Dengan kata lain jika dinasti politik mampu menciptakan institusi pemerintahan yang akuntabel dan transparan, serta mekanisme check and balances berjalan, maka tidak akan menyebabkan kemiskinan.

Masyarakat di India juga nampaknya tidak alergi dengan dinasti politik. Justru calon kandidat dinasti politik di India mempunyai kesempatan menang yang lebih besar dari calon kandidat non dinasti politik. Hal ini dikarenakan adanya persepsi bahwa kandidat dari dinasti politik telah mempunyai exposure praktik berpolitik sehingga berdampak baik untuk kinerja pelayanan masyarakat. 

Fenomena ini sekali lagi menunjukkan bahwa kualitas kepemimpinan merupakan pertimbangan paling utama masyarakat untuk memilih calon presiden maupun legislatif.

Move on dari ketakutan masa lalu

Pun betapa banyak dari kita hari ini mengutuk pemerintahan otoriter dan dinasti politik yang terjadi pada Era Orde Baru, tetap tidak bisa menyangkal bagaimana kebijakan yang dijalankan oleh Presiden Soeharto telah banyak meletakkan batu pondasi pembangunan Indonesia sampai hari ini. 

Dengan segala kritik dan konsekuensi yang buruk dari pusat kekuatan yang tersentralisasi hanya pada segelintir kelompok kepentingan pada rezim otoriter Orde Baru, pada akhirnya, apa yang dinikmati banyak masyarakat pada hari ini tak bisa kita lepaskan dari akumulasi manfaat pembangunan sumber daya manusia serta transformasi struktur ekonomi agrikultur dan industri yang berdampak pada peningkatan signifikan indikator makroekonomi Orde Baru. Sampai Bank Dunia saja menyebutnya dengan “keajaiban ekonomi” untuk Indonesia.

Kita harus percaya diri bahwa dengan era demokrasi saat ini memberikan kekuatan kepada masyarakat untuk menjadi juri terakhir dari semua bentuk kontestasi politik. Masyarakat telah terbukti dapat menang melawan berbagai calon kepala daerah dinasti politik yang telah ada, karena merasa sosoknya tidak relevan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Kita adalah penentu untuk siapa yang dapat mengampu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun