Kita meyakini bahwa selama ini keburukan yang dilakukan manusia adalah karena misi abadi dari iblis yang enggan untuk bersujud kepada nenek moyang manusia, yakni Nabi Adam as, menyebabkan dikeluarkannya iblis dari surga dan sejak itu menyatakan perang terhadap umat manusia dengan menyesatkan kehidupan manusia dari jalan kebaikan.
Manusia yang secara fitrah diberikan akal fikiran untuk meraih kemuliaan yang dijanjikan Allah swt apabila mampu melawan godaan iblis. Manusia selalu punya pilihan untuk berbuat baik, atau sebaliknya.
Begitu juga Gibran di tengah dinasti politik yang dengan segala kekuatannya mampu mengerahkan sumber daya untuk menciptakan keburukan, atau malah bermuara pada kebaikan, yang pada akhirnya menempatkannya pada posisi yang mulia.Â
Ruang percakapan politik Indonesia hari ini kembali riuh ihwal keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan judicial review atas UU No. 17 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang syarat batas umur minimal 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden.Â
MK mengabulkan permohonan tersebut dengan menambahkan ketentuan, yaitu pengecualian apabila calon presiden atau wakil presiden pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.Â
Sontak banyak telunjuk tertuju kepada Gibran Rakabuming Raka, yang dianggap bahwa keputusan MK ini adalah tentang dinasti politik dan hanyalah semata untuk memuluskan jalan seorang anak presiden.Â
Dinasti politik selama ini dijadikan konotasi yang dianggap buruk karena dipersepsikan selalu berdampak buruk terhadap masyarakat dan seolah-olah bahwa dinasti politik itu akan bertahan selamanya tanpa bisa diruntuhkan.Â
Tuduhan itu bukan hanya tidak berdasar secara empiris, tetapi juga menyempitkan perspektif masyarakat untuk melihat spektrum yang lebih luas dari fenomena dinasti politik:
Tantangan dinasti politik
Dinasti politik hanya akan menjadi hal yang buruk apabila mereka menggunakan kekuasaan untuk hanya mengkonsentrasikan semua sumber daya yang ada, anggaran dan kekuatan politiknya, hanya untuk keluarga mereka dan kroninya, yang menyebabkan distribusi kekayaan tidak terjadi di masyarakat. Dampaknya, masyarakat tetap miskin, dan dinasti politik serta kroninya semakin kaya.Â
Sebaliknya, dengan regulasi yang ada saat ini mengatur masa jabatan kepemimpinan kepala daerah maksimal dua periode selama masing-masing lima tahun, memberikan motif kepada politisi untuk bertindak populis dengan mengutamakan kepentingan masyarakat agar meningkatkan peluang mereka terpilih kembali.Â