Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% akan mulai berlaku per 1 Januari 2025 mendatang, jagad maya Indonesia pun heboh dengan pemberitaan yang diiringi suara-suara penolakan terhadap pemberlakuan PPN 12% oleh warganet.
Sudah lebih kurang sepekan ini, atau pasca Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikanPPN 12% nyatanya sudah membuat warganet di negeri+62 menjadi gerah dan cenderung resisten. Sebagian besar karena menganggap kenaikan pungutan pajak tersebut akan menjadi beban baru yang berdampak pada kantong-kantong pribadi.
Riuh rendah yang wajar kiranya, terutama di kalangan kelas menengah yang diprediksi akan paling terdampak kebijakan ini. Kelas menengah yang didominasi kaum pekerja yang tak hanya tidak mengalami kenaikan upah dan juga tak mendapat subsidi sebagai konsekuensi kenaikan PPN.
Kelas menengah menjerit, karena akan terdampak kenaikan PPN saat nanti mereka berbelanja kebutuhan sekunder di mal, saat membeli tiket konser, membeli pulsa ponsel untuk menggunakan internet, berlangganan web series, menyaksikan pertandingan sepak bola, dan lain-lain.
Lantas apakah memang 1 Januari 2025 merupakan momen yang sudah seharusnya menjadi awal pemberlakuan PPN, terlepas hal itu sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP)?
Saya mencoba memahami pula, jika Pemerintah Republik Indonesia casu quo Kementerian Keuangan sangat ingin agar PPN dinaikkan sesuai dengan jadwal yang telah diatur sebelumnya.
Alasan yang paling kuat adalah tren penurunan penerimaan negara dalam dua tahun terakhir. Meskipun kelihatannya ekonomi kembali bertumbuh pasca berakhirnya pandemi Covid-19.
Namun coba tengok di sektor manufaktur. Salah satu yang terlihat ialah di subsektor tekstil dan produk tekstil. Hasil-hasil produksi anak bangsa terhantam derasnya impor produk tekstil yang seolah tanpa aturan pembendung yang jelas.
Hal ini pula yang diakui para petinggi PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Salah satu produsen hilir tekstil legendaris, yang baru-baru ini mengakui bisnisnya sedang tidak baik-baik saja.
Sektor pertambangan dan energi pun setali tiga uang. Indikasinya adalah setoran pajak yang menurun tahun ini, akibat adanya penurunan harga komoditas, atau kerap disebut wind fall.
Di sisi lain, target penerimaan negara seperti yang dinyatakan oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tiap tahunnya ditargetkan konsisten untuk meningkat. Namun di tengah masalah yang dihadapi, Pemerintah seolah tak mampu mendiversifikasi sumber penerimaan perpajakan.
Sampai saat ini, pemerintah masih berfokus untuk mendapat setoran melalui objek-objek penerimaan yang sudah eksis. Â Kondisi ini kerap diibaratkan oleh para pengamat ekonomi sebagai "berburu hewan di kebun binatang".
Laksana penghuni kebun binatang yang tak punya jalan keluar jika diburu, para subjek pajak tak punya pilihan selain pasrah dengan kebijakan penarikan pajak. Situasi ini pada akhirnya menjadi 'bom waktu' karena wajib pajak sudah merasa taat pajak namun alih-alih merasakan dampak positif dari setoran ke negara, tetapi justru tetap menjadi objek atas pajak yang baru.Â
Mundur ke belakang, saat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 disahkan, perekonomian Indonesia saat itu masih terdampak besar-besaran pandemi Covid-19 yang menyebabkan pembatasan sosial termasuk pembatasan dalam kegiatan ekonomi. Pemasukan besar-besaran dibutuhkan untuk mengganti dana negara yang keluar untuk penanganan dampak langsung dan tak langsung penyebaran virus Covid-19.
Dan meski pandemi usai, namun ekonomi masih belum pulih sepenuhnya. Akibatnya penerimaan pun kembali digenjot besar-besaran oleh Pemerintah.
Ini yang disebut oleh Sri Mulyani selaku bendahara negara saat memastikan kenaikan PPN 12% beberapa waktu lalu, adalah untuk menjaga 'kesehatan' APBN, karena APBN sudah 'habis-habisan' menjaga ekonomi Indonesia tidak 'terjun bebas' di masa pandemi lalu, walau menyisakan utang yang membengkak hingga 2025 mendatang.
Memang tidak salah jika Sri Mulyani menyebut kenaikan PPN menjadi 12% pada tahun depan merupakan amanat undang-undang. Karena memang tugas beliau sebagai bagian dari lembaga eksekutif tentunya melaksanakan aturan hukum yang berlaku di negeri ini.
Justru menjadi keliru apabila Kementerian Keuangan tidak menaikkan PPN menjadi 12% di 2025. Karena itu berarti secara nyata pemerintah abai terhadap peraturan perundang-undangan.
Lantas apakah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 yang memerintahkan kenaikan PPN menjadi 12% di 2025, menjadi sesuatu yang kontraproduktif bagi rakyat, khususnya saat peraturan tersebut menjadi acuan saat ini?
Saya jadi teringat kata-kata senior saya waktu Ospek jurusan di kampus dahulu. Waktu itu ada kawan kami yang protes dengan aturan "senior tak pernah salah", karena menurut kawan saya aturan seperti itu semestinya dimusywarahkan antara senior dengan peserta Ospek.
Dengan santainya senior saya menjawab analogis "Kamu tahu kan, DPR kalau mengesahkan undang-undang, nggak perlu persetujuan kamu juga?"Â
Kawan saya yang protes pun hanya bisa manggut-manggut.
Belum usai gelombang penolakan masyarakat terkait pemberlakuan PPN 12% di 2025, Rapat Paripurna DPR pada 19 November 2024 lalu, menetapkan 41 Rancangan Undang-Undang (RUU) program legislasi nasional atau prolegnas prioritas. Salah satunya RUU Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang pengampunan pajak.
Istilah sederhanya, bakal ada tax amnesty jilid III. Lagi-lagi, anggaran menjadi alasan mengemukanya rencana pengampunan pajak.
Saya pun mencoba memahami argumen Pemerintah dan DPR untuk melanjutkan kebijakan tax amnesty atas nama menyelamatkan anggaran negara. Musababnya adalah agar para orang-orang yang dahulu tidak melaporkan pajak agar ke depannya taat dalam membayar pajak dan melaporkan aset, tanpa harus khawatir akan mendapat sanksi atas tindakan negatif masa lalunya dalam hal perpajakan .
Namun efektivitasnya kelak tentu masih menjadi tanda tanya besar. Karena para pengemplang masa lalu boleh jadi lebih piawai dalam mengakali kebijakan macam ini. Apalagi dalam tax amnesty jilid I dan jilid II lalu, bisa dikata tak ada pihak-pihak yang menjadi pesakitan akibat tak mengikuti pengampunan pajak.
Ditambah lagi, rasio pajak tidak jua meningkat pasca dua kali pemberlakuan kebijakan tax amnesty.
Wajar jika kemudian rencana tax amnesty ini disayangkan oleh berbagai kalangan, di tengah kepastian rencana pemberlakuan PPN 12 % di 2025. Banyak yang menyebut dua kebijakan tersebut menunjukkan perbedaan kelas yang nyata, ketika orang miskin ditambah pajaknya sementara orang kaya dikurangi-bahkan dibebaskan-pajaknya.
Kini Presiden Prabowo Subianto telah kembali dari rangkaian lawatannya ke luar negeri. Rasanya taik berlebihan jika kiranya suksesor Joko Widodo ini segera mengambil tindakan yang terbaik sebagai tindak lanjut atas gelombang penolakan kenaikan pajak dan rencana dilanjutkannya tax amnesty ini.
Karena untuk mengeluarkan kebijakan terbaik tersebut, Prabowo dan jajaran hanya punya waktu kurang dari 40 hari. Mari kita tunggu.
Karena seperti kata senior saya yang saya tuliskan di atas. Kita rakyat---sejauh ini---hanya bisa menerima saja dengan peraturan yang berlaku.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H