Sampai saat ini, pemerintah masih berfokus untuk mendapat setoran melalui objek-objek penerimaan yang sudah eksis. Â Kondisi ini kerap diibaratkan oleh para pengamat ekonomi sebagai "berburu hewan di kebun binatang".
Laksana penghuni kebun binatang yang tak punya jalan keluar jika diburu, para subjek pajak tak punya pilihan selain pasrah dengan kebijakan penarikan pajak. Situasi ini pada akhirnya menjadi 'bom waktu' karena wajib pajak sudah merasa taat pajak namun alih-alih merasakan dampak positif dari setoran ke negara, tetapi justru tetap menjadi objek atas pajak yang baru.Â
Mundur ke belakang, saat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 disahkan, perekonomian Indonesia saat itu masih terdampak besar-besaran pandemi Covid-19 yang menyebabkan pembatasan sosial termasuk pembatasan dalam kegiatan ekonomi. Pemasukan besar-besaran dibutuhkan untuk mengganti dana negara yang keluar untuk penanganan dampak langsung dan tak langsung penyebaran virus Covid-19.
Dan meski pandemi usai, namun ekonomi masih belum pulih sepenuhnya. Akibatnya penerimaan pun kembali digenjot besar-besaran oleh Pemerintah.
Ini yang disebut oleh Sri Mulyani selaku bendahara negara saat memastikan kenaikan PPN 12% beberapa waktu lalu, adalah untuk menjaga 'kesehatan' APBN, karena APBN sudah 'habis-habisan' menjaga ekonomi Indonesia tidak 'terjun bebas' di masa pandemi lalu, walau menyisakan utang yang membengkak hingga 2025 mendatang.
Memang tidak salah jika Sri Mulyani menyebut kenaikan PPN menjadi 12% pada tahun depan merupakan amanat undang-undang. Karena memang tugas beliau sebagai bagian dari lembaga eksekutif tentunya melaksanakan aturan hukum yang berlaku di negeri ini.
Justru menjadi keliru apabila Kementerian Keuangan tidak menaikkan PPN menjadi 12% di 2025. Karena itu berarti secara nyata pemerintah abai terhadap peraturan perundang-undangan.
Lantas apakah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 yang memerintahkan kenaikan PPN menjadi 12% di 2025, menjadi sesuatu yang kontraproduktif bagi rakyat, khususnya saat peraturan tersebut menjadi acuan saat ini?
Saya jadi teringat kata-kata senior saya waktu Ospek jurusan di kampus dahulu. Waktu itu ada kawan kami yang protes dengan aturan "senior tak pernah salah", karena menurut kawan saya aturan seperti itu semestinya dimusywarahkan antara senior dengan peserta Ospek.
Dengan santainya senior saya menjawab analogis "Kamu tahu kan, DPR kalau mengesahkan undang-undang, nggak perlu persetujuan kamu juga?"Â
Kawan saya yang protes pun hanya bisa manggut-manggut.