Seiring masih tebalnya kabut misteri kematian Afif Maulana yang dua hari lagi tepat sebulan ditemukan meninggal dunia, peranan media massa, khususnya media massa arus utama tentu tidak bisa dikesampingkan. Apalagi, dalam kasus ini ini pihak keluarga Afif dan Lembaga Bantuan (LBH) Padang menemukan berbagai hal yang bertolak belakang dengan apa yang telah dinyatakan sebelumnya oleh kepolisian.
Memang demikianlah salah satu peran penting jurnalisme investigasi, untuk secara tak langsung terlibat dalam pengungkapan sebuah perkara. Meskipun tentu kerja dan produk jurnalisme investigasi tak bisa kemudian disamakan atau bahkan dipersaingkan dengan kinerja penegak hukum, dalam hal ini kepolisian.
Karena itu, saya pribadi termasuk golongan tak sepakat dengan yang dahulu pernah dinyatakan oleh anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, bahwa jurnalisme investigasi berpotensi mengganggu tugas dari kepolisian.
Karena muara dari kerja kepolisian dengan kerja jurnalis investigasi jelas berbeda. Kepolisian bekerja menginvestigasi untuk bukti-bukti yang akan dihadirkan di pengadilan. Sementara hasil dari jurnalisme investigasi adalah untuk kepentingan konsumen media bersangkutan.
Undang-undang yang mengatur kinerja dua lembaga itu pun berbeda. Kepolisian bekerja berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Sementara jurnalisme investigasi tunduk pada Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Produk jurnalisme investigasi, tentu bukan tentang kisah kehidupan rumah tangga atau drama percintaan seorang selebritis, lalu dilabeli tulisan 'Investigasi'. Bukan, bukan itu.
Berbeda dengan investigasi gaya hidup seorang pejabat publik, yang mendorong si pejabat untuk melakukan tindak korupsi. Tentu ini bisa menjadi salah satu produk jurnalisme investigasi, karena kata publik dalam frase pejabat publik itu, menunjukkan tanggung jawab atas gaji yang diterimanya.
Beberapa waktu lalu, pembahasan Rancangan Undang-undang Penyiaran oleh DPR, sempat menjadi perbincangan di masyarakat dan menuai banyak penolakan khususnya dari kalangan aktivis dan pekerja jurnalistik.
Salah satu pasal yang mendapat tetangan keras dari sejumlah organisasi profesi wartawan, yakni pasal 50 B ayat (2) huruf c yang menyebutkan, "Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai: ...c. penayangan eksklusif jurnalistik investigasi;".
Kalangan pekerja jurnalistik menilai beleid itu bertentangan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dimana dalam pasal 4 ayat 2 yang menyatakan: Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.
Kembali lagi ke kasus tewasnya Afif Maulana, dan kaitannya dengan jurnalisme investigasi. Hemat saya, kurang tepat dan bijak kiranya jika Irjen Suharyono beberapa waktu lalu mengatakan bahwa dalam perkembangan kasus Afif, telah terjadi trial by the press oleh pihak-pihak yang menjadikan viral, dan  bisa melemahkan posisi dan citra kepolisian dalam pengusutan kasus ini.Â