Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jurnalisme Investigasi Bukan untuk Mengganggu Kerja Polisi

7 Juli 2024   13:38 Diperbarui: 7 Juli 2024   13:38 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kegiatan jurnalistik. (Sumber foto: Freepik.com)

Jagad hukum di negeri ini dihebohkan dengan tewasnya seorang remaja berusia 13 tahun di Sungai Kuranji Padang, beberapa waktu lalu, bernama Afif Maulana. Dan hingga kini, misteri tewasnya Afif masih belum pula menemui titik terang.

Sejumlah isu pun muncul mengiringi penemuan jasad remaja yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) itu.

Sempat beredar isu bahwa sebelum meninggal dunia, Afif dianiaya oleh sejumlah petugas kepolisian saat hendak terlibat tawuran. Namun dalam perkembangannya, Polda Sumatera Barat membantah keras isu penganiayaan tersebut, dan menyebut tewasnya Afif murni karena terjatuh dari Jembatan Sungai Kuranji dengan ketinggian 20 meter.

Kapolda Sumatera Barat  Irjen Pol Suharyono, seperti dikutip Kompas.com memastikan, jatuhnya Afif dari jembatan menyebabkan patahnya enam ruas tulang iga Afif, dan menyebabkan ia mengalami paru-paru robek. Sementara terkait luka-luka lebam yang terdapat di jenazah Afif, Suharyono menyebut lebam terjadi karena jasad Afif sudah menjadi mayat, saat ditemukan pada Minggu siang 9 Juni 2024. 

"Keterangan dokter forensik itu lebam mayat akibat telah meninggal beberapa jam sebelumnya," ujar Suharyono dikutip Tribunnews pada 2 Juli 2024.

Yang menarik, akibat beredarnya kabar yang menyebut Afif dianiaya polsisi sebelum meninggal dunia, Irjen Suharyono menegaskan akan memburu pihak-pihak yang memviralkan soal penganiayaan itu. Perwira tinggi dengan dua bintang di pundak itu menilai isu penyiksaan tersebut telah memancing opini liar publik, dan merusak citra kepolisian.

Pasca pernyataan yang disampaikan pada konferensi pers 23 Juni 2024 itu, laman media sosial media arus utama Tempo.co pada 1 Juli 2024 lalu---bertepatan dengan Hari Bhayangkara ke 78--mengunggah kalimat bernada menyindir.

"Ini pesan Tempo kepada Polda Sumatera Barat: Kami yang memviralkan kematian Afif Maulana. Dengan demikian, Bapak-bapak polisi tidak perlu bersusah-susah mencari siapa orang pertama yang menyebarkan informasi seputar penyebab terbunuhnya Afif."

Sampai dengan Minggu siang 7 Juli 2024, unggahan itu telah disukai oleh lebih dari 231 ribu pengguna dan dibanjiri lebih dari 21 ribu komentar, termasuk penyanyi Nadin Amizah dan jurnalis senior yang juga pembesut film Dirty Vote, Dandhy Dwi Laksono.

Unggahan Tempo.co itu pun dijawab dengan diplomatis oleh pihak Polda Sumatera Barat. Kabid Humas Polda Sumbar Kombes Pol Dwi Sulistyawan, seperti dikutip Tempo.co pada 2 Juni 2024 menyebut, pihaknya tetap memburu orang yang memviralkan kasus tewasnya Afif Maulana, alih-alih yang memberitakan.

Dwi menyebut unggahan soal "Tak perlu bersusah-susah mencari" itu merupakan hak Tempo dan sah-sah saja untuk dinyatakan.

Seiring masih tebalnya kabut misteri kematian Afif Maulana yang dua hari lagi tepat sebulan ditemukan meninggal dunia, peranan media massa, khususnya media massa arus utama tentu tidak bisa dikesampingkan. Apalagi, dalam kasus ini ini pihak keluarga Afif dan Lembaga Bantuan (LBH) Padang menemukan berbagai hal yang bertolak belakang dengan apa yang telah dinyatakan sebelumnya oleh kepolisian.

Memang demikianlah salah satu peran penting jurnalisme investigasi, untuk secara tak langsung terlibat dalam pengungkapan sebuah perkara. Meskipun tentu kerja dan produk jurnalisme investigasi tak bisa kemudian disamakan atau bahkan dipersaingkan dengan kinerja penegak hukum, dalam hal ini kepolisian.

Karena itu, saya pribadi termasuk golongan tak sepakat dengan yang dahulu pernah dinyatakan oleh anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, bahwa jurnalisme investigasi berpotensi mengganggu tugas dari kepolisian.

Karena muara dari kerja kepolisian dengan kerja jurnalis investigasi jelas berbeda. Kepolisian bekerja menginvestigasi untuk bukti-bukti yang akan dihadirkan di pengadilan. Sementara hasil dari jurnalisme investigasi adalah untuk kepentingan konsumen media bersangkutan.

Undang-undang yang mengatur kinerja dua lembaga itu pun berbeda. Kepolisian bekerja berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Sementara jurnalisme investigasi tunduk pada Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Produk jurnalisme investigasi, tentu bukan tentang kisah kehidupan rumah tangga atau drama percintaan seorang selebritis, lalu dilabeli tulisan 'Investigasi'. Bukan, bukan itu.

Berbeda dengan investigasi gaya hidup seorang pejabat publik, yang mendorong si pejabat untuk melakukan tindak korupsi. Tentu ini bisa menjadi salah satu produk jurnalisme investigasi, karena kata publik dalam frase pejabat publik itu, menunjukkan tanggung jawab atas gaji yang diterimanya.

Beberapa waktu lalu, pembahasan Rancangan Undang-undang Penyiaran oleh DPR, sempat menjadi perbincangan di masyarakat dan menuai banyak penolakan khususnya dari kalangan aktivis dan pekerja jurnalistik.

Salah satu pasal yang mendapat tetangan keras dari sejumlah organisasi profesi wartawan, yakni pasal 50 B ayat (2) huruf c yang menyebutkan, "Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai: ...c. penayangan eksklusif jurnalistik investigasi;".

Kalangan pekerja jurnalistik menilai beleid itu bertentangan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dimana dalam pasal 4 ayat 2 yang menyatakan: Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.

Kembali lagi ke kasus tewasnya Afif Maulana, dan kaitannya dengan jurnalisme investigasi. Hemat saya, kurang tepat dan bijak kiranya jika Irjen Suharyono beberapa waktu lalu mengatakan bahwa dalam perkembangan kasus Afif, telah terjadi trial by the press oleh pihak-pihak yang menjadikan viral, dan  bisa melemahkan posisi dan citra kepolisian dalam pengusutan kasus ini. 

Jikalau memang ada pemberitaan oleh media arus utama yang mencerminkan bahwa kepolisian bukanlah pemegang tunggal kebenaran, tentunya institusi pimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo ini tak perlu risau.

Apalagi dugaan bahwa Afif mengalami penyiksaan oleh polisi bukanlah tanpa dasar, melainkan berdasarkan kecurigaan pihak keluarga mendiang Afif yang tidak percaya begitu saja narasi yang disampaikan polisi bahwa Afif meninggal dunia karena meloncat ke sungai saat hendak ikut tawuran.

Karena itu, media-media arus utama--termasuk yang selama ini dikenal dengan sajian berita investigasinya seperti Tempo---seyogianya tetap mampu melakukan pelipuitan dan meyajikan berita-berita investigatif dalam kasus tewasnya Afif Maulana.

Bukankah sebuah karya pemberitaan memang seyogianya disajikan secara cover both side. Kalau hanya menyajikan apa yang disampaikan oleh kepolisian tanpa ada keterangan pembanding dari kalangan sipil, seperti pihak keluarga atau LBH setempat, tentu mengurangi bobot cover both side dari pemberitaan itu sendiri.

Jadi, marilah saat ini Polri dan lembaga pers sama-sama bekerja dengan spirit yang sama. Yakni mengungkap sejelas-jelasnya apa yang terjadi menjelang tewasnya mendiang Afif Maulana, atas nama kepentingan publik dan keluarga Afif yang sangat butuh akan penegakan keadilan.

 

  

  

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun