Saat itu, manajemen Persebaya dalam akun resminya menyebut, perginya Rian dari klub kebanggannya itu karena teror yang kerap ia terima.
"Rian memilih untuk tidak melanjutkan kerja sama karena alasan keluarga. Kritik yang selama ini ia terima sudah berbuah tuduhan dan teror ke pihak keluarga. Dengan berat hati ia harus meninggalkan tim impiannya sejak kecil" tulis manajemen melalui akun media sosial Persebaya.
Saat masih berkostum Persebaya, ketika Rian gagal menampilkan permainan terbaiknya, muncullah serbuan komentar negatif dari para warganet melalui kolom komentar di sejumlah akun fanpage yang terkait Persebaya dan Bonek.
Saat itu, banyak fans di dunia maya menilai Rian kerap jadi biang keladi permainan buruk Persebaya jika dirinya menjadi starter. Â Hal inipun dikait-kaitkan dengan Rian yang bisa menjadi pemain skuad utama Persebaya hanya karena dirinya adalah putra asisten pelatih Persebaya, Bejo Sugiantoro atau lazim diistilahkan nepotisme.
Hujatan (atau dalam bahasa Jawa kerap disebut paido) oleh para suporter nyatanya juga tak hanya ditujukan pada sang pemain, namun juga kepada keluarga mereka. Hal ini pun membuat gerah manajemen Persebaya.
Manajer Persebaya saat itu, Yahya Alkatiri seperti dikutip sejumlah media, merasa ada sejumlah pemain yang hengkang dari Persebaya akibat paido yang berlebihan dari para fans di media sosal, mulai dari menyerang keluarga hingga mengeluarkan umpatan-umpatan.
Namun akhirnya perjalanan karir membawa Rian ke tempat yang lebih kondusif dan tidak lagi dikait-kaitkan dengan keberadaan sang ayah. Hingga akhirnya mampu membawa klubnya saat ini menjadi yang terbaik di Liga Indonesia.
"Walaupun ayah saya pemain bola top, panggil saya Rian bukan Bejo" ujar Rian dalam sebuah wawancara dengan pemain Persib lainnya, Marc Anthony Klok.
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa di persepakbolaan Indonesia, tuntutan atas nama fanatisme suporter begitu besar, baik terhadap pemain maupun bagi tim secara keseluruhan. Kecuali bagi tim yang bisa dikatakan nirsejarah macam Bhayangkara FC.
Fenomena tersebut, sesuai dengan yang dinyatakan Stewart McGil dan Vince Raison dalam The Roaring Red Front: The World's Top Left-Wing Football Clubs, yakni "The sheer importance of three massive points overriding basic human defency" (Pentingnya tiga poin---kemenangan---dalam pertandingan mengesampingkan nilai-nilai dasar sopan santun manusia).
Di sisi lain, perkembangan media sosial membuat tekanan yang dihadapi seorang pemain sepak bola lebih kompleks. Jika dulu seorang pemain bisa berlindung di balik pelatih atau manajemen jika tampil buruk---dan pelatih akan pasang badan--kini media sosial membuat pesepakbola lebih mudah dan bebas berinteraksi dengan publik.