pendidikan ke jenjang strata 1.Â
Lebih dari lima dekade yang lalu, saat ibu saya lulus SMA di sebuah kota kecil di Jawa Timur, beliau berhasrat untuk melanjutkanTak tanggung-tanggung, salah satu kampus yang menjadi cita-citanya untuk berkuliah yakni Institut Pertanian Bogor, sebuah perguruan tinggi bergengsi di Indonesia kala itu---bahkan mungkin hingga saat ini.
Namun keinginan ibu saya saat itu bagai bertepuk sebelah tangan. Karena kakek saya tegas menolak keinginan putri sulungnya itu.
Kakek saya beranggapan bahwa jenjang kuliah membutuhkan biaya yang tak sedikit. Sementara beliau saat itu baru saja memasuki masa pensiun sebagai anggota TNI Angkatan Darat pada jenjang bintara.
"Adik-adikmu banyak. Mereka lebih membutuhkan biaya untuk sekolahnya daripada kamu yang butuh uang untuk kuliah,"Â ujar kakek saya.
Mendengar keputusan itu, ibu saya pun selama beberapa hari mengurung diri dan menangis, karena keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi harus pupus.Â
Entah mungkin hanya karena ketidakcukupan biaya, ataukah ada faktor lain yang menjadikan kakek saya keberatan jika anaknya itu akan melanjutkan studi.
Ketika ibu saya menceritakan perihal ini kepada saya beberapa tahun silam, beliau mengatakan dalam tangisnya itu, ia pun berdoa pada Tuhan jika kelak memiliki anak, maka seluruh anak-anaknya harus merasakan bangku kuliah, yang tidak sempat djalaninya dahulu.
Hingga pada akhirnya Tuhan pun berkenan dengan jalanNya untuk mewujudkan doa ibu saya berpuluh tahun kemudian.Â
Saya melihat mata yang berbinar dalam tangis harunya ketika beberapa tahun silam kami membaca pengumuman penerimaan mahasiswa baru lewat jalur SPMB---namanya ketika itu---yang mencantumkan nama saya sebagai salah satu mahasiswa yang lulus dan berhak untuk menempuh studi di Universitas Airlangga, Surabaya.
Kisah berikutnya, beberapa waktu lalu saya berbincang dengan seorang kawan saya, seorang calon ayah yang sedang menantikan kelahiran sang buah hati.