Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Digitalisasi UMKM dan Memori Perselisihan Angkutan Daring dan Luring

25 September 2023   17:38 Diperbarui: 27 September 2023   04:56 1104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Spanduk pembatasan angkutan daring di Jakarta. (Sumber: dokumentasi pribadi tahun 2018)

Sepinya pasar luar jaringan (luring) yang menjual produk-produk UMKM di tengah kian masifnya perdagangan produk-produk UMKM melalui aplikasi dalam jaringan (daring), sejenak membuat saya teringat pada masa sekitar 5 hingga 7 tahun lalu.

Di mana masa-masa itu bisa dikatakan sebagai masa puncak keberadaan angkutan -- ojek dan taksi --daring di ibu kota Jakarta hingga saat ini, sejak ditandai oleh hadirnya aplikasi GoJek pada tahun 2010, kemudian diikuti oleh Uber dan Grab.

Seiring berjalannya waktu, transportasi daring kian diminati oleh pengguna transportasi publik, termasuk di Jakarta.

Namun kian masifnya peralihan pengguna angkutan konvensional menjadi pengguna angkutan daring, berdampak pula pada tindakan unjuk rasa demi unjuk rasa yang dilakukan oleh pelaku transportasi non-daring, seperti ojek, angkutan kota, hingga taksi konvensional.

Tak hanya unjuk rasa, kabar-kabar soal konflik horizontal berupa gesekan antara angkutan konvensional dan daring -- entah kabar yang benar adanya maupun kabar angin- kian akrab terdengar di telinga saya pada masa-masa itu.

Spanduk-spanduk yang berbunyi pembatasan operasional angkutan daring, saat itu kian akrab saya temui di sejumlah lokasi. Para pelaku angkutan daring kerap menyebut wilayah yang "dikuasai" oleh angkutan konvensional -- khususnya ojek pangkalan - sebagai kawasan 'merah' alias "terlarang" untuk operasional angkutan daring.

Pada tahun 2015, Kementerian Perhubungan yang saat itu dipimpin Ignasius Jonan, sempat mengeluarkan larangan beroperasi bagi ojek dan taksi daring. Dasar pelarangan tersebut adalah karena ojek dan taksi daring dinyatakan melanggar Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan PP Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.

Namun aturan tersebut hanya berusia seumur jagung. Presiden Joko Widodo pada 18 Desember 2015 melalui akun Twitter -- kini X -- mencuit:

Saya segera panggil Menhub. Ojek dibutuhkan rakyat. Jangan karena aturan rakyat jadi susah. Harusnya ditata -- Jkw

Tangkapan layar unggahan akun X Presiden Jokowi. (Sumber: Dikutip DW.com)
Tangkapan layar unggahan akun X Presiden Jokowi. (Sumber: Dikutip DW.com)
Usai 'sabda' Jokowi tersebut, hingga saat ini aturan pelarangan ojek dan taksi daring nyaris tak pernah lagi muncul.

Dampaknya, angkutan daring kian berkembang. Dan tetap diiringi dengan kabar-kabar gesekan antar sesama pelaku transportasi publik di jalanan, meskipun kini kabar soal gesekan itu kian tak terdengar kerap terjadi.

Mungkin, para pelaku usaha transportasi luring kian sadar, alih-alih terus bergesekan dengan transportasi daring lebih baik saling fokus pada profesi masing-masing agar periuk nasi keluarga tetap terjaga. Karena jika terus-menerus unjuk rasa atau men-sweeping angkutan daring, pekerjaan menjadi terganggu dan dapur terancam tak ngebul.

Lama kelamaan, pelaku usaha transportasi luring kian menoleransi dan menerima kenyataan, bahwa sistem daring pada sektor transportasi di Indonesia memang menjadi sebuah keniscayaan. Sesuatu yang tak terhindarkan sejalan dengan disrupsi digital.

Toh, beberapa pengojek non-daring juga terkadang menjadi pengojek daring 'paruh waktu'. Kawan saya pernah berkelakar soal ini "Sekarang, ojek online sama ojek pangkalan nyaris nggak ada bedanya, yang membedakan cuma jaket dan helmnya,".

Baiklah, itu kisah ingatan saya soal penerimaan pelaku transportasi daring terhadap disrupsi digital.

Masifnya perubahan budaya yang didorong oleh digitalisasi juga terjadi di sektor perdagangan.

Bedanya, disrupsi digital di sektor perdagangan, cenderung berlangsung 'damai', alias tidak diwarnai dengan aksi sweeping penjual luring terhadap penjual daring, dan diwarnai pula dengan fenomena selebritis ikut meramaikan jagad penjualan daring.

Lagipula, bagaimana mau sweeping? Lha wong ruang berdagangnya juga berbeda antara penjual luring dan daring.

Yang pasti, soal penjualan via platform media sosial ini pun akhirnya mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Bahkan pada hari Senin ini, Presiden Joko Widodo menggelar rapat khusus soal perdagangan berbasis media sosial ini, bersama sejumlah menteri terkait.

Usai rapat terbatas tersebut, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, senada mengatakan Presiden Jokowi memberi arahan agar media sosial dan perdagangan elektronik harus dipisahkan.

Zulkifli Hasan menegaskan, pemerintah akan melarang platofrm media sosial seperti TikTok Shop, Facebook, hingga Instagram dijadikan sarana bertransaksi.

"Social commerce itu hanya boleh memfasilitasi promosi barang dan jasa. Tidak boleh transaksi langsung bayar langsung nggak boleh lagi. Dia hanya boleh untuk promosi seperti televisi. Televisi kan iklan boleh tapi TV kan nggak bisa terima uang (langsung dari penjualan barang yang diiklankan) kan?" kata Zulkifli.

Terkait larangan tersebut, menteri yang akrab disapa Zulhas ini menambahkan, pemerintah akan mengatur larangan platform media sosial berjualan, sebagai bagian dari revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE).

Baiklah, mari kita tunggu implementasi dan konsistensi aturan tersebut di tengah disrupsi ekonomi berbasis digital saat ini.

Yang jelas, seperti halnya disrupsi digital di sektor transportasi, disrupsi digital di sektor perdagangan menjadi sesuatu yang mau tidak mau harus dihadapi oleh para pelaku bisnis, termasuk di segmen usaha mikro kecil dan menengah. Karena pada dasarnya, digitalisasi menjadi sebuah masa depan yang harus dihadapi oleh UMKM kita.

Juga tak bisa dipungkiri, ada pula pebisnis skala mikro dan kecil yang terbantu oleh fasilitas berjualan yang ada di media sosial. Meskipun, mungkin untuk saat ini yang lebih terekspos di media dan adalah kerugian UMKM -- khususnya yang masih melakukan pemasaran secara luring -- akibat hadirnya fitur jual beli di medsos.

Jika memang pada akhirnya keberadaan fitur jual beli di medsos itu tak bisa dihilangkan atas nama kemajuan teknologi, mungkin win win solutions-nya adalah bagaimana pemerintah bisa mengatur social commerce, e-commerce, serta pedagang luring mendapatkan posisi yang sejajar.

Soal pasar luring UMKM sepi yang terekspos di Pasar Tanah Abang belakangan ini akibat masifnya perdagangan daring, bukankah fenomena ini sudah terjadi pula di beberapa pusat perbelanjaan lainnya? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun