Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

"Maju Kena Mundur Kena" Mengatasi Polusi Udara Jakarta

15 Agustus 2023   16:53 Diperbarui: 16 Agustus 2023   18:31 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana perkotaan Jakarta. (Sumber: Kompas.com)

Beberapa hari yang lalu, salah seorang kawan saya mengunggah pemandangan dari balik jendela gedung kantornya di kawasan Jakarta Pusat, dan disandingkan dengan pemandangan dari lokasi yang sama setahun lalu. Hasilnya, pada foto setahun lalu terlihat jelas Gunung Salak, sementara di foto terkini di jam yang sama siang pagi hari sekira pukul 10:00, Gunung Salak tak terlihat.

Mungkin anda pun masih ingat pada bulan Oktober tahun lalu, jagad fotojurnalistik heboh dengan unggahan fotografer Muhammad Ali Fikry yang mengunggah foto Gunung Gede Pangrango di perbatasan Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Cianjur,  terlihat jelas dari kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat.

Foto Gunung Gede Pangrango terlihat dari Kemayoran, Jakarta, Oktober 2022. (Sumber: IG Alivikry via Kompas.com)
Foto Gunung Gede Pangrango terlihat dari Kemayoran, Jakarta, Oktober 2022. (Sumber: IG Alivikry via Kompas.com)
Setelah pandemi Covid-19 dinyatakan berakhir, pasca Pemerintah resmi mencabut PPKM, akhir tahun  lalu, pemandangan Gunung Salak dan Gunung Gede Pangrango nyaris tak pernah lagi saya lihat dari balik jendela gedung kantor saya di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.

Ketika saya mengarahkan pandangan ke arah selatan, yang paling jauh terlihat hanyalah gedung-gedung di kawasan Pancoran, yang saya ukur jaraknya melalui Google Maps tak lebh dari 10 kilometer. Sementara pemandangan di kejauhan terlihat seperti kabut yang cukup tebal.

Dan hampir bisa dipastikan polusi menjadi penyebab utama mengapa jarak pandang di Jakarta kini kian terbatas. Akibatnya pemandangan gunung dari kawasan pusat ibukota bisa dikatakan nyaris tak pernah bisa disaksikan lagi sejak awal tahun hingga pertengahan tahun ini.

Kian parahnya pencemaran udara yang berdampak pada polusi di Jakarta, pada akhirnya membuat Presiden Joko Widodo dan Pejabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, kompak mengemukakan ide bekerja dari rumah alias work from home.

"Jika diperlukan, kita harus berani mendorong banyak kantor melaksanakan hybrid working, work from office work from home," ujar Presiden Jokowi saat rapat terbatas di Istana Merdeka, Senin 14 Agustus 2023.

Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan, sejalan dengan arahan Presiden Jokowi tersebut, jajarannya tengah menyusun skema pembagian kerja hybrid di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan akan diterapkan segera.

"Kayak work from home, ini sebentar lagi sedang dihitung berapa persentasenya setiap OPD (organisasi perangkat daerah). Mudah-mudahan September ini saya bisa langsung jalanin," kata Heru Budi, Senin 14 Agustus 2023.

Sementara untuk perusahaan swasta di Jakarta, Heru mengatakan sistem work from home masih bersifat imbauan.

Ini bukan pertama kalinya sistem work from home kembali diusulkan untuk dilakukan, di era berakhirnya pemberlakukan pembatasan sosial masyarakat akibat pandemi Covid-19.

Akhir tahun lalu, Heru Budi Hartono juga sempat mengeluarkan imbauan WFH selama terjadi siklus cuaca ekstrem akhir tahun. Apalagi saat itu diprediksi akan terjadi badai dahsyat di Jakarta pada 28 Desember 2022.

Sosok yang sama juga pernah mengeluarkan imbauan WFH kepada saat pelaksanaan KTT ASEAN pada 5-7 September 2023 mendatang. Sebagai upaya mengurangi kepadatan lalu lintas saat pelaksanaan acara tersebut.

Kembali ke soal ide Presiden Jokowi soal pemberlakuan WFH sebagai langkah untuk mengurangi tingkat polusi udara di Jakarta. Saat ini, rencana tersebut memang masih dalam tataran wacana, artinya belum sampai kepada level penerbitan peraturan yang mengatur tata cara pelaksanaannya.

Demikian pula dengan ide-ide WFH yang pernah muncul dan disebutkan di atas. Semuanya masih dalam wacana dan belum ada satupun yang sudah memiliki aturan teknis.

pada kenyataannya, penerapan WFH tak semudah membalik telapak tangan. Karena itu wajar jika pemerintah -- pusat maupun pemprov DKI -- tak berani terburu-buru mengeluarkan aturan terkait WFH saat ini, mengingat petunjuk dan aturan teknis tersebut harus serinci mungkin.

Yang tak kalah penting untuk pertimbangan WFH saat ini juga adalah sejauh mana efektivitas dalam pelaksanaannya nanti. Mengingat saat ini sektor-sektor perekonomian sudah beroperasi penuh setelah dibuka secara bertahap saat pelaksanaan PPKM di masa pandemi yang lalu.

Artinya, kehidupan bersosial di masyarakat sudah kembali normal, seperti sebelum virus Covid-19 masuk dan menyebar dengan masif pada Maret 2020 lalu.

Sehingga apabila pembatasan sosial diwacanakan untuk kembali diberlakukan, bukan tak mungkin akan muncul suara-suara resistensi di masyarakat akan bermunculan, khususnya di sektor-sektor perekonomian yang tidak bisa dikerjakan dari rumah, seperti sektor kesehatan, sektor transportasi, dan sektor manufaktur.

Jika memang ingin mengurangi polusi di Jakarta yang diasumsikan berasal dari asap kendaraan bermotor, maka langkah alternatif yang bisa ditempuh tanpa harus menerapkan WFH adalah membatasi pergerakan kendaraan bermotor, khususnya kendaraan pribadi, untuk masuk ke Jakarta.

Misalnya dengan memberlakukan pengujian emisi -- untuk menyaring kendaraan yang bisa melintas di jalanan ibu kota -- atau dengan menerapkan pembatasan usia kendaraan.

Namun, asap kendaraan bermotor bukanlah satu-satunya penyebab tingginya tingkat pencemaran udara di Jakarta. Dalam rapat terbatas  - yang mengapungkan rencana pemberlakuan WFH di Jakarta -- Presiden Jokowi juga mengakui aktivitas industri di Jabodetabek terutama yang  menggunakan batu bara juga berkontribusi terhadap rusaknya udara di Jakarta.

Karena itu, tentunya jangan hanya WFH yang dikemukakan sebagai langkah untuk menekan pencemaran udara di Jakarta. Apalagi, penyebab tingginya pencemaran udara bukan hanya akibat aktivitas manusia, namun kemarau panjang selama tiga bulan terakhir juga turut menyebabkan peningkatan konsentrasi polutan yang tinggi.

Namun tentunya wacana menekan aktivitas industri dan membatasi pergerakan kendaraan masuk Jakarta untuk mengurangi tingkat pencemaran, akan mendapat resistensi yang yang tak kalah kuat, bahkan mungkin lebih kuat ketimbang penolakan terhadap ide pemberlakuan WFH.  

Oh iya, sekedar mengingatkan, pemerintah -- yakni presiden, sejumlah menteri, serta gubernur DKI Jakarta -- telah kalah dalam gugatan citizen lawsuit atas pencemaran udara. Ini berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 16 September 2021, dan dikuatkan  oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tanggal 17 Oktober 2022.

Namun alih-alih melaksanakan putusan tersebut, presiden dan menteri lingkungan hidup dan kehutanan masih mengajukan kasasi terhadap putusan itu pada awal Januari 2023. Dan hingga saat ini, belum ada putusan atas kasasi tersebut.

Mungkin memang mengatasi polusi udara di Jakarta, ibarat mengurai benang kusut.

Atau bagaikan buah simalakama. Polusi ditekan ekonomi ikut tertekan, polusi dibiarkan ekonomi lancar berjalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun