Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Era Kejayaan Grup Lawak Kini Tinggal Kenangan?

12 Juni 2023   14:33 Diperbarui: 13 Juni 2023   00:05 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari kiri: Kasino, Nasir, Bodong, Malih, Bokir, Indro, dan Dono di TIM tahun 1983. (Foto: Kompas/Bre Redana)

Di Indonesia, literasi mengenai dunia lawak bisa dikatakan minim. Meski demikian, pertunjukan komedi di Tanah Air, sejatinya sudah ada sejak zaman sebelum kemerdekaan melalui pentas teater tradisional, seperti ludruk, lenong, maupun pertunjukan wayang.

Bahkan pada masa penjajahan, pentas seni teater yang bernuansa lawak juga dijadikan alat perjuangan. Seperti yang dilakukan oleh Gondo Durasim alias Cak Durasim dengan parikan (pantun) yang terkenal:

Bekupon omahe doro
Melu Nippon tambah soro

(Pagupon rumah merpati, ikut Nippon tambah sengsara).

Pasca kemerdekaan Indonesia, tahun 1950-an dapat dikatakan sebagai titik awal bermunculannya kelompk pelakon seni teater komedi, atau lazim disebut kelompok/grup lawak. 

Seperti kemunculan grup Srimulat pada 1950 di Solo, yang awalnya merupakan kelompok Gema Malam Srimulat yang mementaskan orkes musik dengan selingan pertunjukan komedi.

Grup bentukan pasangan suami istri Teguh Slamet Rahardjo dan Raden Ayu Srimulat ini pun eksis melintasi zaman, dan bisa dikatakan tetap eksis hingga kini meskipun sudah relatif jarang tampil di muka publik.

Grup lawak lainnya yang dibentuk pada era 1950-an adalah Trio Los Gilos yang dibentuk pada 1958. Grup ini beranggotakan Bing Slamet, Mang Cepot, dan Mang Udel.

Berbeda dengan Srimulat yang konsep penampilannya semi teater lawak tradisional seperti ludruk, lenong, dan lain-lain, Trio Los Gilos membawakan pementasan yang lebih sederhana berupa sketsa komedi yang dimainkan hanya oleh ketiga anggotanya.

Jadi bisa dikatakan, Trio Los Gilos adalah pelopor grup lawak modern di Indonesia, dengan konsep pementasan yang kemudian diikuti oleh banyak grup lawak yang bermunculan sesudahnya.

Kehadiran TVRI pada 1962 juga membawa berkah pada dunia komedi Indonesia. Setelah Trio Los Gilos, sejumlah grup lawak dengan personil 3 hingga 4 orang kian muncul dan berkembang di era layar kaca.

Adapun grup lain setelah Trio Los Gilos yang muncul ke pentas komedi Tanah Air dan juga beranggotakan tiga personil yakni EBI, yang beranggotakan Eddy Sud, S Bagyo, dan Iskak.

Memasuki akhir dekade 60-an, muncullah era grup lawak berempat alias kuartet. Bing Slamet pula yang mengawali dengan kolaborasi bersama Eddy Sud membentuk Kwartet Kita. Anggotanya selain Bing Slamet dan Eddy Sud yakni Iskak dan Ateng.

Adapun satu lagi personil EBI yakni S Bagyo membentuk grup S Bagyo cs, yang beranggotakan S Bagyo, Darto Helm, Diran, serta Sol Saleh. Kemudian dari Surabaya muncul nama Surya Group, yang beranggotakan Jalal, Herry Koko, 'Susi' Sunaryo, dan Prapto.

Singkat kisah, dunia pentas lawak Indonesia pun makin berkembang dengan munculnya sejumlah grup lawak di Indonesia hingga era 1990-an.

Seperti Jayakarta Group (Jojon, Cahyono, Prapto, dan Uuk) di tahun 70-an, Bagito Group (Dedi 'Miing', Didin, dan Unang) mewakili era 80-an, serta Patrio (Parto, Akri, Eko) di era 90-an.

Namun kehadiran grup Patrio yang mengisi program televisi Ngelaba: Ngerumpi Lewat Banyolan yang tayang di TPI (sekarang MNC TV) seolah menjadi akhir dari era kejayaan grup lawak yang hadir dan silih berganti muncul dan mewarnai jagad hiburan Indonesia sejak tahun 60-an.

Pada pertengahan 2000-an memang sempat ada ajang pencarian bakat grup lawak dengan nama program API (Audisi Pelawak TPI). Namun ajang ini nyatanya tak berumur panjang, dan para alumninya justru cenderung tenggelam di pentas hiburan nasional usai menjadi peserta API.

Beberapa alumni API seperti Sule (grup SOS), Rina Nose (grup Jurnal), serta Ikang 'Jamal' (grup Sulung) lebih terkenal ketika mereka bersolo karier tanpa grupnya saat menjadi peserta API dahulu.

Mungkin hanya grup Bajaj (Melki, Aden, Isa) yang menjadi alumni API dengan eksistensi cukup lama di layar kaca. Ini karena selepas menjadi kontestan API, mereka bermain dalam beberapa season sinetron religi Para Pencari Tuhan.

Lantas mengapa komedi dengan format grup lawak saat ini kian redup pamornya?

Jawabannya adalah karena industri televisi-yang menjadi pentas mayoritas on air komedian saat ini-yang memprioritaskan untuk menjual rating dan share, ketimbang memanfaatkan grup lawak untuk menampilkan ide-ide lawakannya.

Dampaknya, para komedian, baik tunggal maupun anggota grup lawak, harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan industri televisi tersebut, agar "dapur" si pelawak dan "dapur" televisi sama-sama tetap ngebul.

Praktisi hiburan televisi yang juga sutradara Lenong Bocah, Aditya Gumay seperti pernah dikutip viva.co.id, mengakui jika di era saat ini, seni komedi telah dibatasi dalam bentuk naskah yang sudah disiapkan oleh tim kreatif.

Hal ini ditengarai oleh kebutuhan dalam tampilan layar kaca, juga agak pelawak tidak mengalami kelelahan mencari ide, serta bisa mensiasati jadwal pemain yang padat.

Namun Adit juga mengakui ada dampak positif dengan lawakan yang ternaskah oleh tim dari televisi. Yakni adanya skrip membantu agar pemain tidak terjebak mengeluarkan jokes yang "garing". Selain itu, konsep cerita yang ternaskah juga lebih jelas.

Budaya itulah yang-diakui atau tidak-membuat industri hiburan saat ini kesulitan menghadirkan kembali grup-grup lawak. Apalagi yang bisa melegenda seperti Warkop DKI dan Srimulat.

Grup Srimulat pun saat ini bisa dikatakan "bertahan hidup" dengan lebih banyak mengisi panggung off air daripada tampil reguler di program televisi, seperti di era lampau hingga awal 2000-an.

Adapun grup-grup lawak seperti Bagito dan Patrio lebih memilih eksis di media Youtube, dengan kanalnya masing-masing. Hal ini bisa jadi menunjukkan cara dua grup tersebut menunjukkan eksistensi dengan cara tampil di platform yang cenderung tak banyak diatur dalam penampilan dan naskahnya seperti di televisi.

Seni komedi memang tak akan pernah mati. Pun demikian dengan grup lawak, selama para personilnya masih memiliki spirit untuk tampil bersama maka grup itu masih akan eksis meski tak muncul di layar kaca.

Namun saat ini yang dibutuhkan adalah konsepsi yang jelas dalam membangun pentas komedi Indonesia yang berkualitas. Jika tidak, maka acara komedi hanya akan disajikan konsep demi konsep lawakan-lawakan yang tak akan dikenang oleh penonton, meskipun bisa ditonton berulang kali.

Kalau ditanya apakah grup-grup lawak Indonesia akan bermunculan dan timbul ke permukaan jagad hiburan, rasa-rasanya masih sulit untuk saat ini, karena dunia hiburan di televisi sedang tidak mendukung hadirnya penerus Srimulat, Jayakarta Group, Warkop DKI, hingga Patrio ke permukaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun