Tragedi Kanjuruhan nyatanya masih membawa dampak negatif bagi persepakbolaan Indonesia hingga saat ini. Meskipun sebenarnya jatuhnya 135 korban jiwa pada peristiwa di Stadion Kanjuruhan itu tidak serta merta bisa dikaitkan dengan potensi keributan antar suporter.
Hal itu karena pada saat pertandingan Arema FC vs Persebaya yang menjadi awal terjadinya Tragedi Kanjuruhan, tidak ada suporter Persebaya yang hadir ke Malang. Ketidakhadiran tersebut mengingat sejarah buruk hubungan antara suporter Persebaya dan Arema FC.
Di sisi lain,Tragedi Kanjuruhan justru mendorong terjadinya solidaritas antar suporter, yang ditunjukkan oleh aksi keprihatinan yang digelar oleh sejumlah kelompok suporter, termasuk aksi bersama antara suporter yang memiliki sejarah hubungan yang buruk.
Suara dan ikrar perdamaian suporter pun digaungkan oleh kelompok-kelompok suporter yang memiliki rekam jejak panjang perseteruan. Seperti di Surabaya (Bonek dan Aremania), di Yogyakarta (Brajamusti, Slemania, dan Pasoepati), serta di Jakarta (Jakmania dan Viking).
Namun riak-riak kericuhan antar suporter nyatanya masih pula terjadi usai Tragedi Kanjuruhan. Terutama usai dibolehkannya penonton kembali hadir langsung di stadion setelah sempat dilarang hadir setelah Tragedi Kanjuruhan pecah.
Seperti pada pertandingan Persib Bandung melawan Persis Solo di Stadion Pakansari, Bogor pada April 2023. Kericuhan pecah antar pendukung kedua kesebelasan saat pertandingan tengah berlangsung.
Sebelumnya pada Februari 2023, kericuhan yang melibatkan kelompok suporter juga pecah antara suporter PSIS dengan petugas kepolisian di luar Stadion Jatidiri, Semarang, di tengah pertandingan yang berlangsung antara PSIS Semarang melawan Persis Solo.
Kericuhan ini bahkan membuat wasit Sigit Budiyanto sempat menghentikan pertandingan di menit 74, akibat gas air mata yang ditembakkan petugas kepolisian untuk menghalau massa terbawa angin hingga sebagian masuk ke dalam stadion.
Seruan, ikrar, dan kampanye perdamaian memang sudah digemakan usai pecahnya Tragedi Kanjuruhan. Namun semua itu nyatanya tak menjamin tidak akan terjadi gesekan di tataran'akar rumput'.
Gesekan akar rumput inilah yang sampai saat ini masih menjadi bahaya laten di Indonesia, termasuk yang melibatkan suporter tim sepak bola. Bukan rahasia jika selama ini dalam kelompok sepakbola sangat rawan terjadi tindakan negatif yang dilakukan secara massal, dan merugikan diri sendiri maupun pihak yang bersinggungan.
Dalam dunia psikologi massa, tindakan ini kerap diistilahkan sebagai deindividualisasi. Yang merupakan kondisi ketika individu mengalami penurunan kesadaran atas batasan ataupun standar normal dalam berperilaku, akibat berada di tengah kerumunan.