Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Jawa Barat beberapa waktu yang lalu mencopot Iwan Kurniawan Hasyim, Kepala BNN Tasikmalaya dari jabatannya. Kepala BNN Jawa Barat Arief Ramdhani, seperti dikutip Antara pada Jumat 14 April lalu menyatakan, pencopotan Iwan dilakukan untuk mendukung pemeriksaan atas dugaan atas pelanggaran disiplin dan kode etik.
Diduga kuat, pelanggaran yang dimaksud adalah terbitnya surat tertanggal 10 April 2023 dengan kop surat BNN Kota Tasikmalaya. Surat itu intinya bertuliskan BNN Kota Tasikmalaya memohon partisipasi dan apresiasi berupa THR maupun paket Lebaran untuk 28 anggota di lingkungan BNN Kota Tasikmalaya.
Surat tersebut ditujukan kepada direksi PT HS Budiman, yang notabene merupakan operator Bus Cepat Budiman, yang memang berpusat di Kota Tasikmalaya.
Melansir Kompas.com, surat 'resmi' BNN Kota Tasikmalaya bernomor B/1591V/KA/SU.00/2023/BNNK-TSM Tasikmalaya tertanggal 10 April 2023 yang dicap dan ditandatangani oleh Iwan sendiri.
Foto surat itu lantas tersebar di sejumlah grup Whatsapp wartawan di Tasikmalaya, dan penyebaran itu pun menjadi jalan viralnya kasus surat permintaan THR BNN Tasikmalaya kepada direksi PO Budiman tersebut.
"Tujuannya (permintaan THR) tersebut untuk memberi tambahan buat anggota dalam bentuk barang sembako. Mohon maaf, ini salah dan kesalahan saya untuk dimaklumi. Saya tidak menyadari jadi seperti ini. Tujuannya untuk memberi tambahan buat anggota dalam bentuk barang sembako. Mohon maaf, ini salah dan kesalahan saya untuk dimaklumi. Saya tidak menyadari jadi seperti ini," ujar Iwan, pada 11 April 2023, dikutip dari Antara.
"Itu mungkin suatu kesalahan dari kami. Saya pimpinannya, hal itu tidak boleh terjadi. Saya berpikir sebenarnya hanya untuk anggota saja, tapi surat itu sudah dicabut. Sudah tidak mana-mana, cuma satu,"Â kata Iwan.
Nah, sampai di sini, saya bisa menyimpulkan bahwa Iwan secara sadar membuat surat permintaan THR tersebut. Artinya, surat permintaan THR itu berasal dari niat untuk meminta sumbangan kepada direksi perusahaan operator Bus Budiman. Entah dari siapapun niat meminta itu berasal, bisa dari Iwan sendiri maupun dari anak buahnya di BNN Tasikmalaya.
Dan ternyata praktik meminta sumbangan untuk merayakan Lebaran tahun ini, bukan hanya dari BNN Kota Tasikmalaya. Saya membaca di sejumlah media dan menyaksikan program berita di televisi, banyak pemberitaan mengenai surat permintaan sumbangan Lebaran tersebut, baik dari organisasi massa (ormas), atau bahkan dari pengurus lingkungan alias RT dan RW.
Salah satu yang saya baca dari Kompas.com yakni ormas Pemuda Pancasila (PP) di Pegadungan, Kalideres, Jakarta Barat, yang meminta pungutan kepada perusahaan-perusahaan setempat melalui surat 'resmi' bernomor 001/PRT-PP/PGD/IV/23 yang ditandatangani oleh pengurus PP setempat. Pungutan diminta dengan dalih untuk membantu menciptakan wilayah yang aman dan kondusif.
Hmm....sesuatu yang menurut saya tidak ada relevansinya antara THR dengan kondusivitas keamanan wilayah. Kecuali jika THR adalah salah satu syarat atau 'upeti' agar kemanan tidak diganggu oleh pihak yang tidak mendapat THR dari perusahaan-perusahaan yang dimintai THR.
Akan tetapi, dalam kasus permintaan sumbangan oleh PP Pegadungan itu, dukungan justru dihadirkan oleh pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta casu quo Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol). Masih dikutip Kompas.com dalam berita yang sama, Kepala Bakesbangpol DKI Jakarta Taufan Bakri secara diplomatis mengatakan:
"Kan (perusahaan yang dimintai THR) boleh menolak. Kami menyerahkan kepada perusahaannya. Kalau mau ngasih silakan. Nggak (memberi THR kepada ormas) juga boleh nolak kok," ujar Taufan santai.
Lebih lanjut Taufan menyatakan, organisasi kemasyarakatan sebagai pihak yang turut serta menjaga situasi dan kondisi keamanan lingkungan setempat. Dia pun mewajarkan tindakan permintaan THR tersebut, meskipun Badan Penyuluhan dan Pembelaan Hukum (BPPH) Pemuda Pancasila DKI Jakarta menyatakan permintaan THR tersebut merupakan tindakan oknum anggota PP yang tak bertanggung jawab.
Sampai di sini saya bertanya-tanya mengapa bisa seorang pejabat pemerintahan yang berwenang membenarkan tindakan anggota ormas, yang oleh pejabat ormasnya sendiri disebut sebagai tindakan oknum yang tak bertanggung jawab? Â
Yang menarik, di sisi lain, Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Gidion Arif Setyawan seperti dikutip Antara mengatakan pernah mengatakan, orang atau lembaga yang meminta THR dengan paksaan bisa dikenakan hukuman pidana. Namun sebaliknya bagi yang bersedia memberikan THR tanpa paksaan tidak bisa dikategorikan pidana.
Oke, meski berbeda wilayah dengan kejadian permintaan THR ormas di Kalideres, Jakarta Barat, anggaplah pernyataan dari kapolres Jakarta Utara itu berlaku di seluruh wilayah hukum Polri.
Adapun Yana Mulyana, Walikota Bandung yang baru saja terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK, juga pernah mewanti-wanti warganya, agar tak memberikan THR apabila diminta oleh ormas.
Nah jika saya merangkum pernyataan dari ketiga pejabat tersebut, maka akan ditemukan satu kata kunci, yakni pemaksaan. Mungkin saja benar apa yang dikatakan oleh kapolres Jakarta Utara, bahwa permintaan THR oleh ormas, atau pihak-pihak lain bahkan jika itu dilakukan oleh aparatur negara sekalipun, akan menjadi sebuah tindak pidana apabila di dalam permintaan tersebut terdapat unsur pemaksaan.
Tetapi, kalau kita perhatikan dalam sejumlah surat permintaan oleh ormas maupun aparat negara atau pengurus lingkungan yang lazim kira lihat di sejumlah pemberitaan khususnya dalam hal permintaan THR, nyaris tidak pernah kita temukan kata-kata yang bersifat memaksa atau mengintimidasi pihak-pihak yang dimintai THR.
Yang ada hanyalah kata-kata yang menjurus pada permohonan kesadaran untuk memberikan THR, termasuk pemberian THR demi menjaga lingkungan yang kondusif, seperti yang dinyatakan oleh surat dari ormas di atas.
Tak hanya membaca atau menyaksikan dalam pemberitaan, saya pun pernah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana ormas meminta THR pada pedagang. Kala itu, di sebuah malam pada Ramadhan tahun 2021 (jika saya tidak salah ingat), saya sedang makan di sebuah warung tenda pecel lele.
Lalu datanglah tiga orang berseragam ormas dengan motif loreng. Saya tidak melihat jelas apa nama ormasnya. Yang jelas satu dari tiga orang itu menyodorkan kotak mirip keropak di masjid, yang satunya lagi membawa selembar surat edaran, dan satunya lagi hanya mengawasi tindakan dua rekannya.
Si pembawa kotak kurang lebih berkata seperti ini pada si pedagang pecel lele "Permisi, pak. Mohon seikhlasnya pak untuk THR-nya. Ini untuk warga di kelurahan ini saja,"
Didatangi oleh tiga anggota ormas, si bapak pedagang mungkin tak punya pilihan lain selain memberikan sebagian dari hasil berdagangannya pada malam itu. Namun apakah dia ikhlas memberikannya? Entahlah, hanya bapak itu dan Tuhan yang tahu.
Jelas tidak ada unsur pemaksaan di situ. Karena ketika saya mendengarkan kata-kata yang dikeluarkan oleh anggota ormas itu, bisa dibilang tak ada kata atau istilah yang mengintimidasi pedagang untuk memberikan THR melalui kotak yang disodorkan.
Namun nyatanya si pedagang tetap memasukkan sejumlah uang ke dalam 'kotak amal' THR ormas itu. Â Meskipun jika mengikuti logika berfikir kepala Bakesbangpol DKI Jakarta, bisa saja di pedagang ini tak memberikan THR yang diminta oleh si ormas, karena pilihan memberikan atau tidak kembali pada yang dimintakan THR.
Saya pun kembali bertanya-tanya. Apakah larangan pemberian THR kepada ormas atau aparat negara, atau kepada siapapun yang rawan konflik kepentingan ini tak cukup hanya imbauan semata, melainkan perlu diatur oleh produk hukum? Sehingga jika sudah ada peraturannya, maka pemberian THR kepada ormas maupun aparat negara menjadi sebuah tindakan yang ilegal dan melawan hukum, baik dengan pemaksaan ataupun tidak ada unsur pemaksaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H