Lalu datanglah tiga orang berseragam ormas dengan motif loreng. Saya tidak melihat jelas apa nama ormasnya. Yang jelas satu dari tiga orang itu menyodorkan kotak mirip keropak di masjid, yang satunya lagi membawa selembar surat edaran, dan satunya lagi hanya mengawasi tindakan dua rekannya.
Si pembawa kotak kurang lebih berkata seperti ini pada si pedagang pecel lele "Permisi, pak. Mohon seikhlasnya pak untuk THR-nya. Ini untuk warga di kelurahan ini saja,"
Didatangi oleh tiga anggota ormas, si bapak pedagang mungkin tak punya pilihan lain selain memberikan sebagian dari hasil berdagangannya pada malam itu. Namun apakah dia ikhlas memberikannya? Entahlah, hanya bapak itu dan Tuhan yang tahu.
Jelas tidak ada unsur pemaksaan di situ. Karena ketika saya mendengarkan kata-kata yang dikeluarkan oleh anggota ormas itu, bisa dibilang tak ada kata atau istilah yang mengintimidasi pedagang untuk memberikan THR melalui kotak yang disodorkan.
Namun nyatanya si pedagang tetap memasukkan sejumlah uang ke dalam 'kotak amal' THR ormas itu. Â Meskipun jika mengikuti logika berfikir kepala Bakesbangpol DKI Jakarta, bisa saja di pedagang ini tak memberikan THR yang diminta oleh si ormas, karena pilihan memberikan atau tidak kembali pada yang dimintakan THR.
Saya pun kembali bertanya-tanya. Apakah larangan pemberian THR kepada ormas atau aparat negara, atau kepada siapapun yang rawan konflik kepentingan ini tak cukup hanya imbauan semata, melainkan perlu diatur oleh produk hukum? Sehingga jika sudah ada peraturannya, maka pemberian THR kepada ormas maupun aparat negara menjadi sebuah tindakan yang ilegal dan melawan hukum, baik dengan pemaksaan ataupun tidak ada unsur pemaksaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H