Dari peninjauan tersebut, hakim kasus pembunuhan Yoshua pun mendapatkan beberapa kondisi yang bisa menjadikan sejumlah keterangan terdakwa di pengadilan menjadi terbantahkan.Â
Salah satunya keterangan Ferdy Sambo yang menyebut dirinya saat tiba di Duren Tiga naik mobil dinas kemudian marah melihat Yoshua di dalam halaman rumah, sehingga spontan 'mengeksekusi' ajudannya yang menurutnya sudah melecehkan itu.Â
Namun keterangan itu dipatahkan oleh ketua majelis hakim Wahyu Iman Santosa yang mengatakan setelah dicek di TKP, dengan pagar rumah yang tinggi tidak mungkin seseorang yang sedang naik mobil bisa melihat ke dalam rumah.
Kembali ke soal vonis ringan dan vonis bebas dari hakim sidang Tragedi Kanjuruhan---yang dimulai dengan tidak adanya personil yang menembak gas air mata yang dijadikan tersangka kemudian terdakwa.
Saya nanya bertanya-tanya, apakah memang seharusnya tak ada tersangka yang layak dihukum berat dalam Tragedi Kanjuruhan? Atau apakah jatuhnya 135 korban jiwa belum memenuhi 'syarat' atas hukuman berat itu? Â
Dengan berlanjutnya antiklimaks penyelesaian Tragedi Kanjuruhan, mungkin kita perlu kembali bertanya, apa kabar transformasi sepak bola Indonesia yang diagungkan dan digaungkan usai Tragedi Kanjuruhan? Bagaimana tolok ukur keberhasilan transformasi sepak bola Indonesia itu?
Sementara semakin ke sini, gaung transformasi itu kian lirih. Apakah suatu saat gaung itu tak terdengar lagi? Entahlah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI