Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Vonis Terdakwa Tragedi Kanjuruhan, Sebuah Lanjutan Antiklimaks

17 Maret 2023   16:06 Diperbarui: 18 Maret 2023   13:15 863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Majelis Hakim Sidang Tragedi Kanjuruhan menjatuhkan vonis ringan dan bebas terhadap 5 terdakwa. (Sumber foto: Kompas.com)

Proses persidangan atas lima orang terdakwa Tragedi Kanjuruhan telah memasuki babak akhir. 

Mantan Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris divonis hukuman 1,5 tahun penjara, Mantan Security Officer Pertandingan Arema FC vs Persebaya Suko Sutrisno 1 tahun, Lalu Mantan Danki 1 Brimob Jatim AKP Hasdarmawan juga divonis 1,5 tahun.

Adapun Mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan Mantan Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya.

Adapun satu 'pesakitan' dalam Tragedi Kanjuruhan, yakni Mantan Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita, masih belum menjalani sidang pengadilan karena kepolisian masih melengkapi berkas pemeriksaan sebelum diberikan kepada Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.

Ketika membaca warta di media soal vonis ringan yang dijatuhkan hakim pada seluruh terdakwa, pertanyaan pertama yang terlintas di pikiran saya"

"Jika mereka divonis dengan hukuman penjara yang berdurasi pendek dan divonis bebas , lantas siapa yang seharusnya dihukum berat dalam Tragedi Kanjuruhan."

Dalam hal ini, saya bukanlah seorang ahli hukum. Jadi saya tidak bisa menilai bagaimana bobot tingkat hal-hal yang menentukan hitung-hitungan durasi hukuman dari vonis yang dijatuhkan oleh hakim. Termasuk  poin-poin umum dan khusus soal pertimbangan bagaimana kriteria penetapan tersangka.

Namun dalam kacamata saya sebagai orang awam, ketika enam orang dinyatakan sebagai tersangka oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada tanggal 6 Oktober 2022 lalu, timbul pertanyaan mengapa hanya pimpinan dari masing-masing unsur yang terlibat-lah yang dijadikan sebagai tersangka?

Jika memang penembakan gas air mata disebut sebagai salah satu penyebab pecahnya kericuhan yang lebih luas dan mengakibatkan jatuhnya korban, mengapa personil keamanan yang menembakkan gas air mata itu tidak ikut dijadikan tersangka pula? 

Saya waktu itu membandingkan dengan penetapan tersangka Bharada Richard Eliezer yang menjadi ekskekutor penembakan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat, dan ikut menjadi tersangka selain komandan yang memerintahkan untuk menembak Yoshua, yakni Irjen Ferdy Sambo.

Saat penetapan enam tersangka itu, Jenderal Sigit sempat menyebut jumlah tersangka masih dimungkinkan bertambah selain keenam orang yang sudah ditetapkan. 

Namun nyatanya hingga berkas Tragedi Kanjuruhan dilimpahkan ke kejaksaan, jumlah tersangka tak jua bertambah.

Dan sejak saat itu, tindak lanjut atas Tragedi Kanjuruhan---tragedi paling memilukan dalam sejarah sepak bola Indonesia, seolah menghadirkan episode-episode yang menggambarkan sebuah antiklimaks.

Seperti pada saat Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) menyampaikan sejumlah rekomendasi, pada pertengahan Oktober lalu alias pada saat Tragedi Kanjuruhan masih 'hangat-hangat'-nya menjadi pembicaraan publik.

Dalam rekomendasi tersebut, ada 3 poin yang menjadi perhatian saya, yakni pada poin 3, 4, dan 5:

3. Polri dan TNI juga perlu segera menindaklanjuti penyelidikan terhadap aparat Polri dan TNI serta pihak-pihak yang melakukan tindakan berlebihan pada kerusuhan pasca pertandingan Arema vs Persebaya tanggal 1 Oktober 2022 seperti yang menyediakan gas air mata, menembakkan gas air mata ke arah penonton (tribun) yang diduga dilakukan di luar komando, pengelola Stadion Kanjuruhan yang tidak memastikan semua daun pintu terbuka, pihak Arema FC, dan pihak PSSI yang tidak melakukan pengawasan atas keamanan dan kelancaran penyelenggaraan pertandingan.

4. Polri juga perlu segera menindaklanjuti penyelidikan terhadap suporter yang melakukan provokasi, seperti yang awal mula memasuki lapangan sehingga diikuti oleh suporter yang lain, suporter yang melakukan pelemparan flare, melakukan perusakan mobil di dalam stadion, dan melakukan pembakaran mobil di luar stadion.

5. Secara normatif, pemerintah tidak bisa mengintervensi PSSI, namun dalam negara yang memiliki dasar moral dan etik serta budaya adiluhung, sudah sepatutnya Ketua Umum PSSI dan seluruh jajaran Komite Eksekutif mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas jatuhnya korban sebanyak 712 orang, dimana saat laporan ini disusun sudah mencapai 132 orang meninggal dunia, 96 orang luka berat, 484 orang luka sedang/ringan yang sebagian bisa saja mengalami dampak jangka panjang.

Akan tetapi, 3 poin tersebut nyatanya hanya menjadi 'macan kertas', karena ketiga rekomendasi tersebut tak diteruskan dengan tindak lanjut nyata dari pihak-pihak yang disebut dalam rekomendasi.

 Hingga akhirnya, episode antiklimaks penyelesaian Tragedi Kanjuruhan pun tiba pada vonis ringan dan vonis bebas terhadap lima terdakwa yang telah menjalani persidangan.

Salah satu pertimbangan keringanan vonis pada terdakwa, yakni gas air mata yang ditembakkan personil Polres Malang hanya mengarah ke tengah lapangan. Lalu asap dari gas yang ditembakkan itu dinyatakan menuju ke atas alias tidak sampai ke tribun selatan, tribun  yang pada saat kejadian paling memakan banyak korban.   

Pertimbangan ini yang menjadikan saya lantas membandingkan dengan majelis hakim kasus pembunuhan Brigadir Novriansyah Yoshua Hutabarat pada 8 Juli lalu. 

Saat proses persidangan, majelis hakim dalam perkara ini sempat meninjau tempat kejadian perkara di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan. 

Dari peninjauan tersebut, hakim kasus pembunuhan Yoshua pun mendapatkan beberapa kondisi yang bisa menjadikan sejumlah keterangan terdakwa di pengadilan menjadi terbantahkan. 

Salah satunya keterangan Ferdy Sambo yang menyebut dirinya saat tiba di Duren Tiga naik mobil dinas kemudian marah melihat Yoshua di dalam halaman rumah, sehingga spontan 'mengeksekusi' ajudannya yang menurutnya sudah melecehkan itu. 

Namun keterangan itu dipatahkan oleh ketua majelis hakim Wahyu Iman Santosa yang mengatakan setelah dicek di TKP, dengan pagar rumah yang tinggi tidak mungkin seseorang yang sedang naik mobil bisa melihat ke dalam rumah.

Kembali ke soal vonis ringan dan vonis bebas dari hakim sidang Tragedi Kanjuruhan---yang dimulai dengan tidak adanya personil yang menembak gas air mata yang dijadikan tersangka kemudian terdakwa.

Saya nanya bertanya-tanya, apakah memang seharusnya tak ada tersangka yang layak dihukum berat dalam Tragedi Kanjuruhan? Atau apakah jatuhnya 135 korban jiwa belum memenuhi 'syarat' atas hukuman berat itu?  

Dengan berlanjutnya antiklimaks penyelesaian Tragedi Kanjuruhan, mungkin kita perlu kembali bertanya, apa kabar transformasi sepak bola Indonesia yang diagungkan dan digaungkan usai Tragedi Kanjuruhan? Bagaimana tolok ukur keberhasilan transformasi sepak bola Indonesia itu?

Sementara semakin ke sini, gaung transformasi itu kian lirih. Apakah suatu saat gaung itu tak terdengar lagi? Entahlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun