Dan sejak saat itu, tindak lanjut atas Tragedi Kanjuruhan---tragedi paling memilukan dalam sejarah sepak bola Indonesia, seolah menghadirkan episode-episode yang menggambarkan sebuah antiklimaks.
Seperti pada saat Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) menyampaikan sejumlah rekomendasi, pada pertengahan Oktober lalu alias pada saat Tragedi Kanjuruhan masih 'hangat-hangat'-nya menjadi pembicaraan publik.
Dalam rekomendasi tersebut, ada 3 poin yang menjadi perhatian saya, yakni pada poin 3, 4, dan 5:
3. Polri dan TNI juga perlu segera menindaklanjuti penyelidikan terhadap aparat Polri dan TNI serta pihak-pihak yang melakukan tindakan berlebihan pada kerusuhan pasca pertandingan Arema vs Persebaya tanggal 1 Oktober 2022 seperti yang menyediakan gas air mata, menembakkan gas air mata ke arah penonton (tribun) yang diduga dilakukan di luar komando, pengelola Stadion Kanjuruhan yang tidak memastikan semua daun pintu terbuka, pihak Arema FC, dan pihak PSSI yang tidak melakukan pengawasan atas keamanan dan kelancaran penyelenggaraan pertandingan.
4. Polri juga perlu segera menindaklanjuti penyelidikan terhadap suporter yang melakukan provokasi, seperti yang awal mula memasuki lapangan sehingga diikuti oleh suporter yang lain, suporter yang melakukan pelemparan flare, melakukan perusakan mobil di dalam stadion, dan melakukan pembakaran mobil di luar stadion.
5. Secara normatif, pemerintah tidak bisa mengintervensi PSSI, namun dalam negara yang memiliki dasar moral dan etik serta budaya adiluhung, sudah sepatutnya Ketua Umum PSSI dan seluruh jajaran Komite Eksekutif mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas jatuhnya korban sebanyak 712 orang, dimana saat laporan ini disusun sudah mencapai 132 orang meninggal dunia, 96 orang luka berat, 484 orang luka sedang/ringan yang sebagian bisa saja mengalami dampak jangka panjang.
Akan tetapi, 3 poin tersebut nyatanya hanya menjadi 'macan kertas', karena ketiga rekomendasi tersebut tak diteruskan dengan tindak lanjut nyata dari pihak-pihak yang disebut dalam rekomendasi.
 Hingga akhirnya, episode antiklimaks penyelesaian Tragedi Kanjuruhan pun tiba pada vonis ringan dan vonis bebas terhadap lima terdakwa yang telah menjalani persidangan.
Salah satu pertimbangan keringanan vonis pada terdakwa, yakni gas air mata yang ditembakkan personil Polres Malang hanya mengarah ke tengah lapangan. Lalu asap dari gas yang ditembakkan itu dinyatakan menuju ke atas alias tidak sampai ke tribun selatan, tribun  yang pada saat kejadian paling memakan banyak korban.  Â
Pertimbangan ini yang menjadikan saya lantas membandingkan dengan majelis hakim kasus pembunuhan Brigadir Novriansyah Yoshua Hutabarat pada 8 Juli lalu.Â
Saat proses persidangan, majelis hakim dalam perkara ini sempat meninjau tempat kejadian perkara di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan.Â