Pada hari Minggu 29 Januari 2023 kemarin, unjuk rasa yang digelar di depan Markas Arema FC di Malang, berakhir ricuh dengan pelemparan sejumlah benda ke arah markas yang dijuluki Kandang Singa tersebut. Peristiwa tersebut seolah "melengkapi" peristiwa anarkis suporter yang terjadi sepekan kemarin.
Pada Kamis 26 Januari 2023 lalu, bus pemain dan ofisial Arema FC diserang usai pertandingan PSS Sleman vs Arema FC. Lalu, bus pemain dan ofisial Persis Solo diserang oknum suporter usai pertandingan Persita Tangerang vs Persis Solo pada Sabtu 28 Januari 2023.
Ada apa ini?
Usai Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022, dunia sepak bola Indonesia masih jauh dari kata perbaikan, kalau tidak mau dikatakan kian mengalami kemunduran.Â
Transformasi Sepak Bola Indonesia yang digaungkan seiring pertemuan Presiden Joko Widodo dan Presiden FIFA Gianni Infantino 17 hari setelah Tragedi Kanjuruhan terjadi, nyatanya belum menunjukkan hasil yang signifikan sampai saat ini.
Pun demikian halnya dengan rekomendasi yang diberikan TGIPF Tragedi Kanjuruhan pada akhirnya hanya menjadi macan kertas. Karena sebagian besar rekomendasi yang dihasilkan oleh tim ini seolah tidak ada tindak lanjutnya.
Tindak lanjut di ranah hukum atas Tragedi Kanjuruhan seolah hanya berakhir dengan penetapan direktur utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) saat itu Akhmad Hadian Lukita dan 5 orang lainnya sebagai tersangka. Selain itu, hampir semua rekomendasi TGIPF Tragedi Kanjuruhan menguap begitu saja. Bahkan sampai saat ini.
Dan yang memprihatinkan, salah satu tersangka Tragedi Kanjuruhan yakni Akhmad Hadian Lukita, dinyatakan bebas dari tahanan Polda Jawa Timur, karena berkasnya dianggap tak lengkap sementara masa penahanannya selama 60 hari telah habis. Meski demikian, Hadian tetap berstatus tersangka dan dikenakan wajib lapor.
Akibat Tragedi Kanjuruhan, Arema FC sebagai tim pun ibarat jatuh tertimpa tangga, dan kejatuhan bertubi-tubi pula. Namun klub kebanggaan arek-arek Malang ini "beruntung" karena hanya dijatuhi sanksi denda sebesar Rp250 juta dan harus bertanding sebaagi tuan rumah dengan radius 250 kilometer dari Kota Malang.
Banyak pihak---termasuk saya---yang menyayangkan jatuhnya sanksi tersebut kepada Arema FC. Sanksi tersebut menurut hemat saya terlalu 'ringan' dan tak sebanding dengan efek buruk yang ditimbulkan dalam Tragedi Kanjuruhanmyang berakibat hilangnya 135 nyawa.
Penjatuhan sanksi tersebut oleh Komisi Disiplin (Komdis) PSSI pun terkesan terburu-buru, karena diputuskan pada 4 Oktober 2022 alias hanya berselang tiga hari dari Tragedi Kanjuruhan. Sanksi yang terbilang ringan tersebut pun nyatanya menjadi pembuka kekacauan demi kekacauan yang terjadi usai Tragedi Kanjuruhan.
Apalagi setelah PSSI memutuskan untuk menghentikan lanjutan Kompetisi Liga 2 dan Liga 3 2022/2023, reaksi-reaksi negatif kian bermunculan di dunia sepak bola Indonesia.Â
Bagaimana tidak, gara-gara Arema yang gagal menyelengarakan pertandingan yang aman dan nyaman bagi penonton, klub lain yang tak bersalah terkena imbasnya, sementara Arema bisa tetap ikut kompetisi.
Meski tetap bisa bertanding, namun sejumlah penolakan mengiringi perjalanan Arema FC dalam mengarungi sisa musim Kompetisi Liga 1 2022/23.Â
Sejumlah daerah seperti Semarang, Bantul, serta Boyolali menyatakan menolak Arema FC untuk menjadikan stadion di wilayah tersebut untuk digunakan Arema saat menjalani pertandingan kandang. Penolakan terjadi karena adanya desakan dari kelompok suporter setempat terhadap kehadiran Arema di wilayahnya.
Penolakan tersebut bukan tak mungkin merembet juga ke wilayah lain di Jawa. Karena nyatanya, Bali pun menolak Arema FC untuk ber-home base di Pulau Dewata untuk sementara.
Dan publik Kota Malang sendiri nampaknya juga jengah dengan sikap para petinggi Arema FC yang dinilai kurang pro aktif dalam penyelesaian Tragedi Kanjuruhan. Apalagi seusai sang presiden klub, Gilang Widya Pramana mengundurkan diri pada akhir Oktober tahun lalu.
Usai pengunduran diri Gilang yang akrab dijuluki Juragan 99 ini, media massa pun ramai mewartakan soal kepemilikan saham dan kepengurusan di Arema FC.
Sejumlah warta menulis, Arema FC dikelola oleh PT Arema Aremania Bersatu Berprestasi Indonesia (AABBI). Dan berdasarkan akta perusahaan PT AABBI yang tercatat di Ditjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM, nama Iwan Budianto tercantum sebagai Direktur Utama AABBI, sementara mantan manajer tim Ruddy Widodo menjabat sebagai Direktur.
Sementara itu, Iwan Budianto yang sama juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum PSSI bersama dengan Cucu Sumantri. Mereka bersama-sama menjadi waketum dalam kabinet Mochammad Iriawan untuk periode kepengurusan 2019-2023.
Telunjuk kritis dan skeptis publik sepak bola Indonesia saat ini pun mengarah pada manajer Persik Kediri saat pertama kali menjuarai kasta tertinggi Liga Indonesia pada 2003 itu.Â
Iwan dianggap sedang bermain bayangan agar namanya seolah tak tersentuh dalam Tragedi Kanjuruhan, yang tentunya mau tak mau melibatkan Arema FC dan PSSI sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab masing-masing, atas tragedi yang telah memakan korban meninggal dunia 135 jiwa itu.
Karena itu, dalam berbagai aksi yang dilakukan oleh elemen masyarakat sepak bola di Malang, nama Iwan Budianto kerap disebut untuk dimintai pertanggungjawaban sebagai pimpinan dari Arema FC. Apalagi selama ini Iwan cenderung jarang muncul di publik dalam kapasitasnya sebagai direksi di Arema FC.
Dan dalam sebuah rilis yang dikeluarkan oleh manajemen Arema FC pertengahan bulan ini, Iwan Budianto disebut bakal pulang kandang usai tak lagi berkiprah di PSSI. Pria yang karib disapa IB ini disebut akan memimpin langsung proses pemulihan tim tersebut pasca-Tragedi Kanjuruhan.
Namun belum lagi muncul tindak lanjut atas pernyataan tersebut, unjuk rasa yang berakhir ricuh pun pecah di depan Markas Arema FC pada hari Minggu kemarin. Aksi ini merupakan lanjutan dari aksi sebelumnya, yang salah satunya tuntutannya yakni agar Arema FC mundur dari kompetisi, sebagai bentuk tanggung jawab moral atas Tragedi Kanjuruhan.
Buntut peristiwa unjuk rasa ricuh kemarin, kepolisian pun telah menahan 107 orang untuk dimintai keterangan. Adapun Komisaris AABBI Tatang Dwi Afrianto dalam pernyataannya menyebut situasi saat ini memang kurang kondusif untuk klubnya. Karena ini Tatang mengisyaratkan bisa saja Arema FC membubarkan diri seandainya situasi ke depan semakin berat.
Namun Tatang menyatakan dalam menentukan keputusan mengenai nasib klub harus mengumpulkan dan mendengarkan banyak pihak terlebih dahulu?
Tapi sekali lagi, pernyataan tersebut baru muncul dari seorang komisaris, bukan dewan direksi yang notabene merupakan pengurus harian klub. Lazimnya, tentu keputusan mengenai masa depan klub seyogianya dikeluarkan oleh pengurus klub, kecuali apabila Tatang memang diplot menjadi satu pintu informasi publik mengenai Arema FC.
Yang jelas, dengan munculnya pernyataan kemungkinan pembubaran tersebut ke depannya bukan tak mungkin akan menjadi bola salju yang terus menggelinding dan membesar.Â
Setidaknya hingga IB ataupun direksi Arema FC muncul di publik dan mengeluarkan pernyataan yang bisa menekan potensi membesarnya bola salju tuntutan pembubaran itu.
Kehadiran direksi Arema FC di depan publik dan menentukan keputusan terbaik, juga niscaya akan meredam api unjuk rasa yang selama ini selalu berkobar di kalangan suporter di Malang. Tak kalah penting adalah tindakan merangkul suporter juga harus dilakukan oleh direksi Arema FC.Â
Setidaknya untuk membuktikan bahwa direksi dan suporter adalah elemen yang saling membutuhkan dalam persepakbolaan Indonesia yang sudah sakit kronis ini.
Dan jika memang Arema FC masih diperbolehkan untuk menggelar laga kandang selama belum ada keputusan pasti soal nasib klub, mungkin saatnya PSSI dan PT Liga Indonesia Baru ikut turun tangan untuk mencarikan lapangan yang bisa dijadikan kandang sementara bagi Singo Edan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H