Semula, PT Liga Indonesia Baru (LIB) di bawah komando direktur utama yang baru, Ferry Paulus, merencanakan Liga 1 kembali bergulir pada 2 Desember mendatang. Namun skeptisme saya muncul, karena rencana itu dinyatakan oleh sang dirut kepada awak media, pada 24 November lalu, alias kurang lebih hanya sepekan sebelum lanjutan kompetisi Liga 1 berencana digulirkan kembali
Mengapa saya skeptis?
Tentunya karena format lanjutan kompetisi yang akan menggunakan sistem bubble, seperti yang digunakan pada musim 2021/2022 lalu. Penggunaan sistem gelembung ini memang beberapa kali muncul sebagai salah satu opsi lanjutan kompetisi Liga 1 usai Tragedi Kanjuruhan yang berdampak pada hiatus kompetisi.
Namun sependek dan seawam pengetahuan saya, mengubah sistem kompetisi di tengah jalan tentu tak semudah yang dibayangkan. Memang, wilayah pelaksanaan sistem gelembung ini sudah ditentukan, yakni di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Stadion yang akan digunakan pun sudah dirilis, yakni Stadion Maguwoharjo (Sleman), Stadion Jatidiri (Semarang), Stadion Sultan Agung (Bantul), dan Stadion Soebroto (Magelang) serta Stadion Manahan (Solo).
Masalahnya, sudahkan lanjutan sisa kompetisi yang menggunakan sistem gelembung ini tersosiaslisasikan dengan baik kepada klub-klub? Pada tanggal 24 November itu, Ferry Paulus mengklaim klub-klub peserta Liga 1 telah setuju dengan sistem ini. Meski Ferry juga menegaskan, keputusan soal format kompetisi adalah sepenuhnya di tangan operator, dalam hal ini LIB.
Kemudian bagaimana dengan stadion yang akan digunakan? Apakah sudah benar-benar dinyatakan layak untuk menggelar lanjutan kompetisi, meskipun tanpa dihadiri oleh penonton? Sebab kalaupun tidak ada penonton, bagaimana jika (misalnya) terjadi bencana seperti gempa bumi?
Sebelumnya, sejumlah klub menyatakan meniolak kompetisi dilanjutkan dengan sistem gelembung. Persebaya dan Persis Solo adalah dua klub yang mempelopori penolakan ini. Dan klub-klub lain seperti Madura United dan Bali United pun turut menyatakan penolakan terhadap sistem gelembung.
Akan tetapi, pernyatan Ferry Paulus soal kompetisi akan kembali bergulir pada2 Desember menjadi menggantung, ketka ia mengatakan kepastian soal kelanjutan kompetisi, akan diputuskan dalam rapat koordinasi di Kementerian Pemuda dan Olah Raga pada 28 November 2022.
Dan bukan sepak bola Indonesia namanya kalau tak menghadirkan plot twist. Pada perkembangannya, Liga 1 pun tidak jadi dimulai kembali pada 2 Desember 2022. Kepastian itu didapat usai rapat maraton yang diawali rakor di Kemenpora pada 28 November dan dilanjutkan oleh rakor di Mabes Polri pada 29 November 2022.
Brigjen Pol Roma Hutajulu, Karobinops Staf Operasi Polri menyatakan kepolisian belum memberi lampu hijau digelarnya kembali kompetisi sepak bola kasta tertinggi di negeri ini. Menurutnya, usai rakor antara stakeholder sepak bola nasional dengan Polri ini, masih ada sejumlah hal yang harus dipenuhi, khususnya dalam hal pengamanan. Dalam hal ini, Polri bersama Kementerian PUPR harus kembali memverifikasi stadion yang akan digunakan untuk melanjutkan Liga 1 dengan sistem gelembung.
Roma Hutajulu menyatakan verifikasi meliputi beberapa aspek, seperti keamanan, keselamatan, dan kesehatan. Dari segi keamanan, Polri mesti menyesuaikan semuanya dengan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 tahun 2022 tentang Pengamanan Penyelenggaraan Kompetisi Olahraga.
Dengan demikian, seluruh venue yang akan menggelar kompetsisi sistem gelembung tersebut, harus melewati proses verifikasi. Khususnya Stadion Sultan Agung dan Stadion Moch Soebroto yang diperiksa. Verifikasi akan melibatkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Kesehatan, dan Polri.
Apa yang diputuskan dalam rakor selama 2 hari ke belakang menunjukkan, bahwa para stakeholder Liga Indonesia telah 'sepakat untuk tidak sepakat' Liga 1 bisa dilanjutkan dalam waktu dekat.
Ferry Paulus usai keputusan soal kewajiban verifikasi ini pun menyatakan, terkait apakah nantinya bakal ada perubahan stadion, keputusan akan diambil begitu ada hasil verifikasi. Sementara itu, untuk stadion lainnya di luar sistem gelembung akan masuk tahap verifikasi setelah verifikasi stadion sistem gelembung usai.
Adapun Perpol Nomor 10 tahun 2022, ditetapkan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo pada 28 Oktober 2022 lalu, dan diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada 4 November 2022.
Ketika saya membaca Perpol Nomor 10 tahun 2022, dalam pasal 10 ayat 2 disebutkan, Â timeline pengajuan izin kompetisi yaitu 60 hari. Dari aturan ini, jelaslah niat LIB untuk menggelar lanjutan kompetisi secara timeline sudah terhadang dengan masa pengajuan izin. Sebab jika kompetisi akan kembali digelar 2 Desember 2022, berarti izin harus diajukan sejak 3 Oktober 2022.
Menjadi pertanyaan apakah aturan pasal per pasal dalam beleid ini sudah tersampaikan dengan baik kepada LIB selaku penyelenggara liga? Itu baru soal izin. Bagaimana pula dengan verifikasi? Apakah ketika LIB pada awalnya menyatakan Liga 1 bisa kembali bergulir sudah mendasarkan pula pada unsur verifikasi stadion oleh pihak pihak terkait?
Jika memang belum, apakah ini berarti LIB seolah berjalan sendiri ketika menentukan kompetisi Liga 1 (semula) akan dilanjutkan pada 2 Desember 2022? Dan langkah berjalan sendiri itu pun pada akhirnya terbentur pada restu pihak-pihak yang terkait, dalam bentuk kewajiban verifikasi.
Football Institute, seperti dikutip Bola.com pada 29 November 2022 seolah mengamini 'kesendirian' LIB dalam rencana menggulirkan kompetisi. Menurut Founder Football Institute Budi Setiawan, PSSI pun seolah membiarkan LIB berjalan sendiri.
Alih-alih proaktif agar kompetisi bergulir kembali, sekjen PSSI dinilai Football Institute malah sibuk soal stadion untuk piala AFF, sampai minta diskon sewa pula. Dari sini seolah terlihat tidak ada skala prioritas dalam menjalankan program persepakbolaan nasional.
Padahal jika dilihat, kelanjutan kompetisi pun berkaitan dengan penyelenggaran Piala AFF. Kejuaraan sepakbola antar negara ASEAN ini akan dimulai pada 20 Desember mendatang, dan Indonesia akan bertanding melawan Kamboja pada 23 Desember 2022.
Namun Ferry Paulus mengatakan, LIB akan berupaya agar jadwal Liga 1 tidak berbenturan dengan jadwal Piala AFF, meski akan sulit dan ketat.
Sebagai gambaran, tiap-tiap tim konstestan Liga 1 harus menyelesaikan 6-7 pertandingan, untuk menuntaskan putaran pertama. Dengan makin mundurnya jadwal sisa pertandingan, tentu akan semakin padat jarak antara dimulainya jadwal kompetisi dengan jadwal pelaksanaan Piala AFF.
Tentu ini akan menjadi kurang baik bagi pemulihan kondisi pemain di antara jadwal bertanding.
Entah bagaimana nanti jalan keluarnya, yang jelas kepastian kapan bergulirnya kembali kompetisi Liga 1 ini tentu menjadi hal yang sudah dinanti oleh para stakeholder sepak bola Indonesia, setelah kompetisi dihentikan usai Tragedi Kanjuruhan.
Kejelasan kompetisi ini juga akan menjadi tolok ukur bagi LIB---dan juga pihak-pihak terkait---untuk menunjukkan perbaikan sistem pelaksanaan kompetisi di Indonesia.
Sekali lagi saya katakan, Tragedi Kanjuruhan merupakan 'ledakan bom waktu' atas karut-marutnya pengelolaan dan pelaksanaan pertandingan sepak bola di Indonesia. Dan sangat memilukan ketika kita sadar bom waktu itu meledak dan merenggut nyawa 135 korban jiwa.
Karena itu, sungguh keterlaluan jika saya, anda, kita semua tak mengambil pelajaran mahal dan berharga dari Tragedi Kanjuruhan.
Jangan sampai reformasi, transformasi, atau apapun istilahnya di sepak bola kita, hanya menjadi wacana normatif, tanpa variabel dan ukuran keberhasilan yang jelas dan rinci. Kalau sampai perbaikan ini justru terabaikan, bukan tak mungkin pertandingan sepakbola suatu saat bukan menjadi hiburan, namun menjadi kuburan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI