Meski tak disebutkan oleh Azrul, namun tindakan menyerbu lapangan yang dilakukan oleh Bonek pada sehari sebelum Azrul menyatakan mengundurkan diri, juga disinyalir menjadi pemicu putra Dahlan Iskan ini mengaku tak sanggup lagi menjadi pucuk pimpinan Persebaya.
Memang, alih-alih menyelesaikan masalah, tindakan menyerbu lapangan justru akan memicu masalah baru yang bisa jadi efeknya akan lebih besar. Dan efek yang lebih besar dari tindakan pitch invasion suporter itu pun terjadi tadi malam.
Meskipun dalam sejumlah video yang saya lihat di media sosial maupun WhatsApp Group terdapat banyak versi penyebab jatuhnya banyak korban, namun saya tak ingin berspekulasi lebih jauh ke sana. Saya memilih menunggu rilis hasil investigasi dari pihak-pihak yang berkompeten dan berwenang.
Tindakan menyerbu lapangan memang tidak dibenarkan dalam kondisi apapun. Karena pada dasarnya, olahraga atau dalam bahasa Inggris sport, tentu mengajarkan bahwa inti dari olahraga adalah sportivitas.
Dan karena pertandingan sepak bola melibatkan juga unsur penonton, maka penonton juga sangat wajib menjaga sportivitas, dalam koridor sebuah pertandingan olahraga (sport match).
Bahkan, saking herannya dengan perilaku suporter Indonesia, Azrul Ananda saat mengundurkan diri sempat menyindir situasi persepakbolaan Indonesia saat ini.
"Dengan kondisi liga kita, dengan situasi kondisi masyarakat kita, dengan situasi kondisi perkembangan sepak bola kita, jangan-jangan semakin sulit bagi klub-klub yang punya sejarah panjang, punya basis suporter besar, untuk berkembang. Karena terbebani oleh suporternya dan masa lalunya. Sehingga kelak, klub-klub yang justru eksis di indonesia ini adalah justru klub-klub yang tidak punya basis yang tidak punya kota, yang kemudian kelak karena dia tidak punya tanggungan dan lain lain dia bisa memulai dan menjalaninya dengan lebih tenang dan lebih maju."
Kekhawatiran Azrul di atas bukannya tak beralasan. Karena faktanya, pada 2017, Bhayangkara FC---klub yang tak punya sejarah panjang di persepakbolaan Indonesia--dinyatakan sebagai juara. Klub yang oleh fans sepak bola Indonesia kerap disebut sebagai salah satu 'klub siluman' ini menjadi kampiun saat itu, dengan sejumlah drama yang mengiringinya.
Dan nyatanya hingga kini, klub yang berjuluk The Guardians dan kerap berpindah markas ini nyatanya tetap eksis di kasta teratas kompetisi Liga Indonesia. Pun, nyaris tak pernah ada unjuk rasa dari suporternya. Lha gimana mau ada unjuk rasa suporter? Wong basis suporter aja nggak punya
Tahun 2019 dan 2022, giliran Bali United yang kebagian jatah mengangkat trofi juara Liga 1. Sama seperti Bhayangkara FC, klub ini pun bukan termasuk klub yang punya sejarah panjang di persepakbolaan Indonesia. Karena merupakan metamorfosa dari klub Putra Samarinda (Pusam) yang berdiri tahun 1989, dan dibeli oleh konglomerat Pieter Tanuri.