Tadi malam seperti kita ketahui, terjadi tragedi terkelam dalam sejarah sepak bola Indonesia. Tragedi yang secara akal sangat di luar nalar. Bagaimana tidak, korban jiwa berjatuhan dalam jumlah besar usai pertandingan. Dan ketika tulisan ini dibuat pukul 11:30 WIB pemberitaan di televisi menyatakan korban jiwa mencapai 130 orang.
Sebagai orang yang kerap menonton langsung pertandingan sepak bola di stadion, saya jadi terbawa perasaan sedih menyaksikan menit demi menit breaking news yang ditayangkan di televisi. Karena sungguh tak terbayangkan bagaimana perasaan keluarga yang ditinggalkan.
Saya membayangkan mereka semula melepas anggota keluarganya dengan riang gembira untuk pergi ke Stadion Kanjuruhan, menikmati hiburan kelas rakyat yang sudah 2 tahun tidak bisa disaksikan akibat pandemi Covid-19.
Dan kian tak terbayangkan bagaimana perasaan keluarga ketika mengetahui anggota keluarganya pulang tinggal nama. Termasuk juga keluarga dari 2 anggota kepolisian yang gugur saat menjalankan tugas pengamanan.
Duka Malang, duka kita semua....
Saya pun kembali memutar memori saat Azrul Ananda mengundurkan diri sebagai Presiden Persebaya, beberapa waktu lalu. Sebelumnya saya pun pernah membahas soal pengunduran dirinya.
"Saya menyebutnya lingkaran setan. Akan muter terus. Manajer out, pelatih out, lingkaran setan. Dan itu tidak akan menyelesaikan masalah apapun."Â
Itulah salah satu ungkapan Azrul saat menyampaikan pengunduran dirinya.
Demikian pula dengan pitch invasion yang kerap dilakukan oleh suporter apabila tidak puas dengan hasil akhir pertandingan tim kesayangannya.
Meski tak disebutkan oleh Azrul, namun tindakan menyerbu lapangan yang dilakukan oleh Bonek pada sehari sebelum Azrul menyatakan mengundurkan diri, juga disinyalir menjadi pemicu putra Dahlan Iskan ini mengaku tak sanggup lagi menjadi pucuk pimpinan Persebaya.
Memang, alih-alih menyelesaikan masalah, tindakan menyerbu lapangan justru akan memicu masalah baru yang bisa jadi efeknya akan lebih besar. Dan efek yang lebih besar dari tindakan pitch invasion suporter itu pun terjadi tadi malam.
Meskipun dalam sejumlah video yang saya lihat di media sosial maupun WhatsApp Group terdapat banyak versi penyebab jatuhnya banyak korban, namun saya tak ingin berspekulasi lebih jauh ke sana. Saya memilih menunggu rilis hasil investigasi dari pihak-pihak yang berkompeten dan berwenang.
Tindakan menyerbu lapangan memang tidak dibenarkan dalam kondisi apapun. Karena pada dasarnya, olahraga atau dalam bahasa Inggris sport, tentu mengajarkan bahwa inti dari olahraga adalah sportivitas.
Dan karena pertandingan sepak bola melibatkan juga unsur penonton, maka penonton juga sangat wajib menjaga sportivitas, dalam koridor sebuah pertandingan olahraga (sport match).
Bahkan, saking herannya dengan perilaku suporter Indonesia, Azrul Ananda saat mengundurkan diri sempat menyindir situasi persepakbolaan Indonesia saat ini.
"Dengan kondisi liga kita, dengan situasi kondisi masyarakat kita, dengan situasi kondisi perkembangan sepak bola kita, jangan-jangan semakin sulit bagi klub-klub yang punya sejarah panjang, punya basis suporter besar, untuk berkembang. Karena terbebani oleh suporternya dan masa lalunya. Sehingga kelak, klub-klub yang justru eksis di indonesia ini adalah justru klub-klub yang tidak punya basis yang tidak punya kota, yang kemudian kelak karena dia tidak punya tanggungan dan lain lain dia bisa memulai dan menjalaninya dengan lebih tenang dan lebih maju."
Kekhawatiran Azrul di atas bukannya tak beralasan. Karena faktanya, pada 2017, Bhayangkara FC---klub yang tak punya sejarah panjang di persepakbolaan Indonesia--dinyatakan sebagai juara. Klub yang oleh fans sepak bola Indonesia kerap disebut sebagai salah satu 'klub siluman' ini menjadi kampiun saat itu, dengan sejumlah drama yang mengiringinya.
Dan nyatanya hingga kini, klub yang berjuluk The Guardians dan kerap berpindah markas ini nyatanya tetap eksis di kasta teratas kompetisi Liga Indonesia. Pun, nyaris tak pernah ada unjuk rasa dari suporternya. Lha gimana mau ada unjuk rasa suporter? Wong basis suporter aja nggak punya
Tahun 2019 dan 2022, giliran Bali United yang kebagian jatah mengangkat trofi juara Liga 1. Sama seperti Bhayangkara FC, klub ini pun bukan termasuk klub yang punya sejarah panjang di persepakbolaan Indonesia. Karena merupakan metamorfosa dari klub Putra Samarinda (Pusam) yang berdiri tahun 1989, dan dibeli oleh konglomerat Pieter Tanuri.
Dan memanhg demikian kenyataan pragmatis sepak bola Indonesia saat ini. Siapapun bisa punya klub asal punya modal yang mumpuni.
"Saya berharap persebaya ke depannya teman teman ini tidak pernah capek mendukung persebaya, tapi nanti arahnya tentu (harus) menjadi positif untuk Persebaya."
Itulah sekelumit pesan Azrul Ananda kepada suporter Bonek, dan juga disampaikan saat dirinya menyatakan pengunduran diri. Tentu ini sebuah pesan positif yang bukan hanya ditujukan pada Bonek saja, namun juga kepada klub-klub lain yang juga memiliki sejarah panjang dalam persepakbolaan Indonesia.
Jangan sampai tindakan negatif dan di luar batas dari suporter justru malah berakibat fatal pada klub yang dicintai, atau bahkan berdampak negatif yang lebih luas terhadap sepak bola Indonesia.
Ayolah suporter Indonesia, apa belum cukup diberikan 'peringatan' oleh Tuhan selama dua tahun kemarin? Mari kita sama-sama introspeksi. Apakah saya, dan, kita ini mendukung tim kesayangan, atau mengancam tim kesayangan....?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H