Rasanya sudah lama sekali aku tidak menulis di Kompasiana. Aku lupa kapan terakhir nulis artikel di sini. Akun sebelumnya aku museumkan dulu aja biar ada nuansa baru dan semangat baru.
Malam ini, aku ingin menuliskan secuil pengalamanku terkait menjaga hubungan dengan mertua. Terutama ibu mertua. Kenapa ibu mertua? Karena beliau tipikal Melankolis Sempurna kalau menurut telaah kepribadian Florence Littauer dalam bukunya Personality Plus. Sedangkan bapak tipikal kombinasi Sanguinis Populer dan Phlegmatis Damai.
Aku biasa ngobrol panjang lebar berdua saja dengan bapak  karena pembawaannya yang santai dan suka bercerita. Kadang obrolan kami bisa sampai larut malam kalau sudah menemukan tema yang tepat. Tapi berbeda dengan ibu, aku kesulitan untuk menjalin kedekatan dengannya karena beberapa alasan.
Salah satu alasan yang paling kuat adalah minimnya waktu untuk berinteraksi apalagi ngobrol. Karena begini, guys. Kalau ngobrol hanya berdua saja dengannya, kami sama-sama canggung. Sedangkan kalau ngobrol bertiga dengan bapak sudah pasti panggung obrolan  dikuasai bapak. Kami lebih banyak sebagai pendengar saja. Dan biasanya ibu gak akan lama nimbrung di tongkrongan kami 😉.
Aku punya kesempatan ngobrol lama dengan ibu kalau bareng Ayi, istriku. Tapi kesempatan itu jarang sekali datang. Biasanya baru ngobrol sebentar sudah direcoki anak-anak. Ketika Ayi ganti nuruti kemauan anak-anak, Â obrolanku dengan ibu jadi canggung. Biasanya gak lama setelah itu ibu pura-pura mau ambil sesuatu atau mau ngerjain sesuatu.
Sepertinya baik-baik saja kan hubunganku dengan mertua? Tak ada masalah di antara kami? Memang begitu! Orang lain sering melihat kami tampak baik-baik saja karena kami (antara menantu dan mertua) bisa saling menjaga rahasia kalau ada masalah.
Situasi dan Kondisiku Waktu Itu
Aku akan memberikan sedikit gambaran terkait diriku agar kalian bisa memahami posisiku.
Aku menikahi Ayi saat kami sama-sama masih kuliah. Aku tinggal skripsi sedangkan Ayi kalau tidak salah menjelang akhir semester 5. Waktu itu, karena aku kehabisan biaya, aku memutuskan meninggalkan kuliah untuk bekerja. Matkul skripsi tetap kuambil meskipun aku bekerja dan belum ada rencana mau memulai melanjutkannya. Singkat cerita, aku menikah dengan Ayi. Setelah menikah, doi tidak mau LDR-an. Walhasil aku harus resign dari tempat kerja.
Ngaco, kan? Kesulitan biaya kuliah tapi malah berani menikah. hehe. Tapi memang begitulah yang terjadi. Dua tahun kemudian anak pertama kami lahir. Aku belum memiliki pekerjaan yang tetap dan kondisi finansial jauh dari kata stabil.
Waktu itu, aku mengandalkan kemampuanku di bidang IT untuk mencari nafkah. Membuka usaha foto copy sekaligus nyambi sebagai freelancer membuat website. Sehingga aku lebih banyak di rumah. Aku sering mengerjakan proyek malam hari agar bisa lebih fokus untuk ngoding dalam menyelesaikan proyek pembuatan website.
Awal Mula Drama
Karena aku sering mengerjakan proyek saat malam hari, paginya adalah kesempatanku untuk tidur. Di saat mertua sedang siap-siap untuk buka warung, aku malah siap-siap untuk tidur.
Waktu itu, aku belum memiliki ruang kerja. Aku kerjanya di kamar. Jadi semalaman mengerjakan proyek di kamar, paginya tidur juga di kamar. Walhasil aku jarang keluar kamar. Ini yang menjadi awal dari masalah. Aku dianggap sebagai pemalas. Setiap hari kerjaannya hanya tidur saja.
Adanya gap budaya kerja ditambah lagi kurangnya komunikasi menyebabkan konflik dengan mertua tak dapat dielakkan. Waktu itu, belum banyak pekerja online di lingkungan tempat tinggalku. Sehingga tidak hanya mertuaku saja yang menganggapku malas bekerja, sebagian tetangga juga menganggapku terlalu mengada-ada kalau hanya di kamar saja bisa menghasilkan uang.
Perang dingin antara aku dengan ibu mertua terjadi cukup lama. Ayi yang kuharapkan bisa menjadi mediator belum bisa menjalankan misi dengan baik. Mungkin Ayi dianggap bucin padaku sehingga segala upaya yang dilakukannya untuk "membersihkan" namaku dianggap sebagai persekongkolan yang tidak realistis.
Membangun Kedekatan Dengan Mertua
Setelah sekian lama menjalani perang dingin dengan mertua, akhirnya aku memutuskan untuk "kabur" dari rumah. Ayi dan anak pertamaku kuajak serta. Akan tetapi yang perlu diingat adalah sebelum pergi dari rumah, aku mengondisikan suasana agar tidak dianggap ngambek atau pergi karena marah akibat konflik dengan  mertua.
Aku beralasan mendapatkan tawaran proyek yang mau tidak mau harus dikerjakan di tempat (on-site). Itu bukanlah alasan yang mengada-ada. Memang aku benar-benar mendapatkan tawaran kerja sama untuk membangun start-up di bidang IT. Aku menerimanya setelah berdiskusi dengan Ayi.
Aku menggunakan kesempatan ini untuk membuktikan bahwa aku benar-benar berusa bertanggungjawab untuk menafkahi keluargaku. Agar terlihat meyakinkan, aku membeli "alat tempur" yang dibutuhkan seperti sepeda motor, perabotan, dll untuk digunakan di perantauan.
Hal lain yang kuupayakan untuk membangun kedekatan dengan mertua adalah dengan memberikan hadiah. Entah itu hal yang tampak sepele seperti membelikan alat masak, pakaian, atau lainnya. Aku berusaha mengorek informasi dari Ayi kira-kira apa yang dibutuhkan ibu terutama yang berkaitan dengan hal yang mendukung usahanya di warung. Perhatian-perhatian kecil seperti ini cukup ampuh untuk sedikit demi sedikit mencairkan suasana. Aku merasakan ketika hubungan dengan mertua semakin dekat, usaha yang sedang aku rintis juga semakin lancar.
Meskipun hubunganku dengan mertua semakin baik, aku masih mengalami kesulitan untuk berkomunikasi secara verbal dengannya. Rasa canggung masih ada. Aku pun berpikir perhatian yang diungkapkan dalam bentuk hadiah adalah bentuk lain dalam seni berkomunikasi. Namun aku tidak berhenti di situ. Saat ada kesempatan untuk pulang (aku tetap menggunakan istilah pulang, bukan main ke rumah mertua untuk melawan rasa ingin pisah rumah darinya), aku berusaha mencari waktu ngobrol dengannya.
Ada ungkapan yang kurasakan kebenarannya yaitu: Sering ketemu melahirkan bosen, Jarang ketemu melahirkan kangen. Nah! karena aku dengan mertua jarang ketemu, ternyata timbul kangen juga. Kalau sedang pulang, sering disambut dengan antusias. Kesempatan seperti ini jelas saja tidak kusia-siakan begitu saja. Banyak hal yang kulakukan untuk menormalisasi hubungan dengannya. Entah itu dengan memanfaatkan anak yang seakan-akan mencari mereka atau dengan cara lain.
Menurutku, yang paling penting dalam upaya menjaga hubungan dengan mertua adalah adanya niat dalam hati. Bukan hanya melakukannya sebatas formalitas belaka atau dalam bahasa Jawa: pantes-pantese. Namun niat saja tidak cukup tanpa disertai dengan tindakan yang nyata. Tapi kadang memang ada orang yang mentok di niat karena tidak tahu mau melakukan apa untuk membangun hubungan itu. Di sini coba aku bagikan tips berdasar pengalamanku itu.
Tips Membangun Kedekatan Antara Menantu Dengan Mertua
Setelah memiliki niat yang cukup kuat selanjutnya adalah upaya untuk mengenal karakter mereka. Kalau perlu baca artikel atau buku yang berhubungan dengan karakter atau kepribadian. Dengan mengenal karakter seseorang, kita akan lebih mudah untuk menentukan sikap yang bagaimana yang tepat untuk menghadapi orang tersebut.
Kedua, cari apa yang disukai. Kalau mertua tampak sangat menyukai pekerjaan maka usahakan tidak tampak bermalas-malasan saat di depan mereka. Kalau kebetulan mereka suka ngobrol, temani. Paling tidak menjadi pendengar yang baik sudah cukup. Kebanyakan orang tua akan sangat suka menceritakan kisah-kisah heroiknya. Kita bisa menanyakan kisah perjuangannya, masa kecil istri kita, atau hal lain yang sifatnya nostalgia atau membuat mereka bangga.
Ketiga, Berikan hadiah. Meskipun nilainya tak seberapa, hadiah bisa menjadi wasilah yang baik untuk mendekatkan hubungan. KAlau tidak bisa memberi hadiah dalam bentuk barang atau materi, berikan hadiah dalam bentuk yang lain.
Keempat, dekati orang-orang terdekatnya. Kita bisa membangun kedekatan dengan mertua melalui circle yang dimilikinya. Setelah mengenal lebih dekat dan akrab dengan mereka, kita akan dengan mudah juga membangun kedekatan dengan mertua. Kalau misal kebetulan mertua lebih dekat dengan ipar, ya mendekatlah dengannya. Jangan malah merasa dianaktirikan.
Kelima, perlakukan mereka seperti orang tua kandung. Mertua tidaklah berbeda dengan orang tua kandung. Jangan pernah membanding-bandingkan perlakukan antara mereka. Apa pun yang mereka lakukan pada kita, kita tidak bisa lepas dari tanggung jawab sebagai anak. Bahkan andai kata sudah tidak ada ikatan pernikahan dengan anaknya, sebagai anak, kita tetap harus tetap menaruh hormat padanya. Tanamkan pada diri baik-baik bahwa memang ada mantan istri/suami tapi tidak ada mantan orang tua/mertua.
Keenam, tempuh jalur langit. Ketika upaya silaturrahim dengan mertua sudah diupayakan sedemikian rupa maka hal yang jauh lebih penting dan cukup manjur adalah jalur langit. Bangun silaturruhiyah atau ikatan batin dengan mereka. Caranya adalah dengan banyak mendoakan kebaikan untuknya. Paling tidak doa birrul walidain selalu dilantunkan setiap selesai sholat lima waktu.
Bagaimana, apakah kamu benar-benar membacanya sampai selesai? Baiklah kalau begitu. Dari semua uraian yang telah disampaikan di atas pertanyaannya adalah: Siapa nama ibunya Jarjit dalam serial film Upin dan Ipin?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H