Waktu itu, aku belum memiliki ruang kerja. Aku kerjanya di kamar. Jadi semalaman mengerjakan proyek di kamar, paginya tidur juga di kamar. Walhasil aku jarang keluar kamar. Ini yang menjadi awal dari masalah. Aku dianggap sebagai pemalas. Setiap hari kerjaannya hanya tidur saja.
Adanya gap budaya kerja ditambah lagi kurangnya komunikasi menyebabkan konflik dengan mertua tak dapat dielakkan. Waktu itu, belum banyak pekerja online di lingkungan tempat tinggalku. Sehingga tidak hanya mertuaku saja yang menganggapku malas bekerja, sebagian tetangga juga menganggapku terlalu mengada-ada kalau hanya di kamar saja bisa menghasilkan uang.
Perang dingin antara aku dengan ibu mertua terjadi cukup lama. Ayi yang kuharapkan bisa menjadi mediator belum bisa menjalankan misi dengan baik. Mungkin Ayi dianggap bucin padaku sehingga segala upaya yang dilakukannya untuk "membersihkan" namaku dianggap sebagai persekongkolan yang tidak realistis.
Membangun Kedekatan Dengan Mertua
Setelah sekian lama menjalani perang dingin dengan mertua, akhirnya aku memutuskan untuk "kabur" dari rumah. Ayi dan anak pertamaku kuajak serta. Akan tetapi yang perlu diingat adalah sebelum pergi dari rumah, aku mengondisikan suasana agar tidak dianggap ngambek atau pergi karena marah akibat konflik dengan  mertua.
Aku beralasan mendapatkan tawaran proyek yang mau tidak mau harus dikerjakan di tempat (on-site). Itu bukanlah alasan yang mengada-ada. Memang aku benar-benar mendapatkan tawaran kerja sama untuk membangun start-up di bidang IT. Aku menerimanya setelah berdiskusi dengan Ayi.
Aku menggunakan kesempatan ini untuk membuktikan bahwa aku benar-benar berusa bertanggungjawab untuk menafkahi keluargaku. Agar terlihat meyakinkan, aku membeli "alat tempur" yang dibutuhkan seperti sepeda motor, perabotan, dll untuk digunakan di perantauan.
Hal lain yang kuupayakan untuk membangun kedekatan dengan mertua adalah dengan memberikan hadiah. Entah itu hal yang tampak sepele seperti membelikan alat masak, pakaian, atau lainnya. Aku berusaha mengorek informasi dari Ayi kira-kira apa yang dibutuhkan ibu terutama yang berkaitan dengan hal yang mendukung usahanya di warung. Perhatian-perhatian kecil seperti ini cukup ampuh untuk sedikit demi sedikit mencairkan suasana. Aku merasakan ketika hubungan dengan mertua semakin dekat, usaha yang sedang aku rintis juga semakin lancar.
Meskipun hubunganku dengan mertua semakin baik, aku masih mengalami kesulitan untuk berkomunikasi secara verbal dengannya. Rasa canggung masih ada. Aku pun berpikir perhatian yang diungkapkan dalam bentuk hadiah adalah bentuk lain dalam seni berkomunikasi. Namun aku tidak berhenti di situ. Saat ada kesempatan untuk pulang (aku tetap menggunakan istilah pulang, bukan main ke rumah mertua untuk melawan rasa ingin pisah rumah darinya), aku berusaha mencari waktu ngobrol dengannya.
Ada ungkapan yang kurasakan kebenarannya yaitu: Sering ketemu melahirkan bosen, Jarang ketemu melahirkan kangen. Nah! karena aku dengan mertua jarang ketemu, ternyata timbul kangen juga. Kalau sedang pulang, sering disambut dengan antusias. Kesempatan seperti ini jelas saja tidak kusia-siakan begitu saja. Banyak hal yang kulakukan untuk menormalisasi hubungan dengannya. Entah itu dengan memanfaatkan anak yang seakan-akan mencari mereka atau dengan cara lain.
Menurutku, yang paling penting dalam upaya menjaga hubungan dengan mertua adalah adanya niat dalam hati. Bukan hanya melakukannya sebatas formalitas belaka atau dalam bahasa Jawa: pantes-pantese. Namun niat saja tidak cukup tanpa disertai dengan tindakan yang nyata. Tapi kadang memang ada orang yang mentok di niat karena tidak tahu mau melakukan apa untuk membangun hubungan itu. Di sini coba aku bagikan tips berdasar pengalamanku itu.