Mohon tunggu...
Cak Bro Cak Bro
Cak Bro Cak Bro Mohon Tunggu... Administrasi - Bagian dari Butiran debu Di Bumi pertiwi

Menumpahkan barisan Kata yang muncul di Pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pemimpin Stratejik: Keterbatasan Wewenang Atasi Masalah Kompleks

9 Februari 2023   13:04 Diperbarui: 9 Februari 2023   13:11 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  • Petugas Pos Perbatasan dan Pasir

Suatu hari seorang komandan di derah Pos Perbatasan Wilayah mendapat telegram rahasia dari kantor Pusat berupa info rahasia bahwa agar berhati-hati karena negara tetangga akan melakukan penyelundupan barang. Kemudian sang Komandan segera menginstruksikan kepada anak buahnya agar memperketat pengawasan pada pos lintas batas.

Beberapa hari kemudian, di Pos perbatasan melihat puluhan motor membawa semacam karung di kedua sisinya minta ijin untuk melewati wilayah ke negara seberang. Rombongan motor tersebut kemudian dihentikan oleh petugas dan bertanya, "apa yang kalian bawa?", dan mereka menjawab, "kami membawa pasir".

Segera beberapa petugas memeriksa satu persatu, dengan menusuk-nusuk tumpukkan pasir tersebut dan hasilnya nihil karena tidak ada benda-benda di dalamnya yang diduga sebagai barang selundupan. Demikian hari berikutnya, selalu ada rombongan puluhan sepeda motor dengan karung berisi pasir meminta ijin untuk melintas menuju negeri seberang. 

Melihat kejadian aneh tersebut, sang Komandan kali ini menginstruksikan agar meningkatkan pemeriksaan secara seksama. Kali ini jika datang rombongan sepeda motor, pemeriksaan tidak hanya pada karung yang berisi pasir, namun juga diperiksa setiap bagian bodi motor yang mungkin memiliki ruang untuk menyelundupkan barang, termasuk menggeledah pakaian dan tubuh mereka. 

Namun hasilnya tetap sama, mereka tidak mendapatkan barang yang dicurigai sebagai barang penyelundupan. Hal ini membuat komandan putus asa dalam mengatasi masalah tersebut. Walaupun komandan tersebut sudah melaporkan hasilnya ke kantor pusat, namun ia tak berani bertanya arahan dan tindakan lanjut apa yang harus dilakukan.

Kejadian pun berlalu begitu saja hingga berbulan-bulan dan tidak ada perkembangan yang berarti, hanya ada puluhan pengendara motor yang membawa karung berisi pasir. Hingga menginjak berlalu satu tahun, tiba-tiba datang pimpinan pusat beserta rombongan dengan membawa surat perintah agar segera mencopot jabatan Komandan Perbatasan dan seluruh petugasnya karena dianggap lalai melaksanakan kewajiban. 

Apa isi surat perintah tersebut dan alasan penggantian personal di pos perbatasan?. Ternyata alasannya adalah kelalaian komandan dan petugas pos perbatasan yang telah membantu negara tetangga berhasil melakukan reklamasi pantai dan memperluas wilayah dengan mengimpor pasir tanpa dikenakan bea masuk atau pajak apa pun!!.

 

  • Perbedaan Kewenangan Pemimpin dan Manajer 

Apa hikmah dari kejadian tersebut dan mengapa petugas beserta komandan dianggap memiliki kesalahan?.  Pastinya kita akan memiliki persepsi yang berbeda pula. 

Komandan pos perbatasan telah melakukan sesuai dengan tugas karena telah lakukan pemeriksaan sesuai prosedur karena instruksi surat telegram tidak dinyatakan secara jelas apa yang dimaksud dengan barang selundupan. Tetapi disisi lain, hukuman tersebut ditetapkan untuk mempertanggungjawabkan atas dampak yang terjadi. Bagaimana pun mereka dianggap telah melalaikan kewajiban dalam menjaga agar tidak terjadi penyelundupan barang di wilayah perbatasan.

Sebagai komandan selaku pemimpin stratejik harusnya lebih bijak memahami instruksi berita tersebut dengan menganalisis informasi/instruksi dan fenomena kasus yang terjadi. Atau dengan kata lain harus bersikap kritis, walau secara prosedur dan kewenangan telah dijalankan bahwa tidak ada barang yang diselundupkan di dalam karung pasir, namun fenomena yang berulang perlu dikaji mengapa rombongan tersebut selalu membawa pasir setiap hari. Inilah yang membedakan kualitas apakah dia seorang pemimpin yang berpikir sebagai manajer.

Seorang manajer hanya berfokus dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peran atau tugas yang diterima dan berpikir bagaimana mengelola dengan memberdayakan atau mengoptimalkan sarana dan prasarana yang dimiliki seperti SDM (bawahan), anggaran, prosedur dan metode kerja, dan sebagainya untuk mencapai tujuan secara efisien dan efektif. 

Dalam teori agensi, manajer hanya bertanggungjawab terhadap assignment (tugas dan peran) yang disepakati kepada pemegang saham sebagai stakeholder, misalnya percapaian target benefit atau omzet agar memperoleh keuntungan perusahaan maksimal dengan indikator secara nyata (kuantitatif). 

Akan tetapi berbeda dengan seorang pemimpin dalam organisasi pemerintah, karena tidak kinerja sebagai pertanggungjawaban adalah kinerja pelayanan public berdasarkan target yang ditetapkan (umumnya bersifat kualitatif). pertanggungjawab kepada stakeholder atau masyarakat mungkin tidak secara langsung namun berdasarkan kewenangan secara stratifikasi berjenjang yakni bertanggungjawab kepada atasan langsung dalam organisasi pemerintah. 

Demikian halnya, seorang pemimpin stratejik tidak sekedar berperan sebagai manajer dengan mengoptimalkan sumber daya dan pengaruh lingkungan internal namun harus berpikir secara holistic termasuk lingkungan eksternal yang akan mempengaruhi pencapaian tujuan, bahkan risiko yang terjadi dan cara memitigasinya yang akan terjadi.

Oleh karena itu berdasarkan konsep Max Weber, perbedaan antara Kepemimpinan dan Manajemen mengacu pada kewenangan atau otoritas bahwa kepemimpinan cenderung memiliki waktu yang lebih lama, perspektif yang lebih strategis, dan persyaratan untuk menyelesaikan masalah baru (Bratton et al.  2004). 

Jika berdasarkan perspektif kontekstual, maka manajemen seakan menjadi deja  vu (melihat hal sebelumnya), sedangkan kepemimpinan berfokus pada vu jd (belum pernah melihat hal tersebut sebelumnya) (Weick 1973).

  • Masalah Kompleks dan Keterbatasan Wewenang 

Berdasarkan kewenangan yang dimiliki antara Manajer dan Pemimpin juga mempengaruhi dengan pengambilan keputusan terhadap suatu masalah yang memiliki kepastian atau ketidakpastian.  Berkaitan dengan masalah, Grint (2005) menjelaskan bahwa masalah dapat bersifat masalah jinak dan jahat (wicked problem). 

Masalah Jinak adalah masalah yang biasa terjadi, walau mungkin terlihat rumit, tetapi dapat diselesaikan melalui tindakan unilinear dan kemungkinan mengacu pada pengalaman telah terjadi sebelumnya (empiris). Pendekatan masalah dapat mempertimbangkan konsep F.W. Taylor sebagai pencetus Manajemen Ilmiah yakni dengan menerapkan sains atau metode ilmiah dengan benar dan akan memperoleh solusi terbaik.

Permasalahan yang rumit atau kompleks sekali pun dapat diselesaikan atau dapat dibakukan dalam bentuk Standar Operasional dan Prosedur (SOP), sehingga setiap permasalahan dapat ditangani dengan mudah. Berbeda halnya dengan Masalah jahat (Wicked Problem), selain permasalahan lebih kompleks dan tidak hanya rumit, bahkan dalam menguraikan masalah tidak ditemui hubungan yang jelas antara sebab dan akibatnya. 

Yang dimaksud dengan masalah jahat (wicked problem), selain dalam pengambilan keputusan bersifat dilematis karena tidak dapat memenuhi kebutuhan dari kedua pertimbangan. Bahkan, karena ketidaklengkapan (keterbatasan) informasi atau kondisi yang penuh ketidakpastian, hasil kebijakan atau keputusan tersebut tidak memecahkan masalah, justru bisa menimbulkan masalah baru.

Sebagai contoh sederhana, dalam dunia kesehatan terdapat Badan atau Lembaga Layanan Kesehatan, dalam menangani permasalahan menggunakan pendekatan ilmiah (membuat metode dan mekanisme kerja serta SOP) untuk menyediakan semua layanan dan obat-obatan yang mereka butuhkan berdasarkan kebutuhan medis mereka. 

Namun, dengan bertambahnya populasi masyarakat yang menua, keterbatasan peningkatan kemampuan medis untuk campur tangan (intervensi kebijakan) demi mempertahankan hidup masyarakat, adanya peningkatan permintaan pelayanan kesehatan namun sumber daya ekonomi (termasuk anggaran) terbatas, dan sebagainya. Untuk mengatasi semua persoalan tersebut tidak dapat diselesaikan dengan penanganan prosedur dan kebijakan (SOP) untuk memperoleh solusi penyelesaiannya.

Masih ingatkah kasus tuntutan pada Rumah Sakit oleh keluarga pasien, karena pada saat pasien datang yang memerlukan penanganan segera, namun petugas RS meminta terlebih dahulu memenuhi biaya administrasi. 

Ketidak-pekaan pegawai RS melihat kondisi keluarga yang terburu-buru sehingga tidak membawa uang cukup untuk membayar dan lebih mementingkan prosedur. Akibat terlalu ketat/kaku kebijakan, pasien terlambat mendapatkan tindakan pengobatan segera dan berakibat fatal (meninggal). 

Dalam hal atau kondisi tertentu, terkadang pemimpin level bawah perlu mengambil keputusan secara politik tentang haruskah melanggar kebijakan karena situasi darurat dengan membuat kebijakan diskresi. Dalam situasi tertentu terkadang pengambil keputusan tidak lagi berdasarkan pendekatan obyektif (normal), namun cenderung bersifat subyektif (situasional).

Contoh lainnya, Kementerian Kesehatan melalui Badan/Lembaga Layanan Kesehatan dalam hal menangani masalah mengenai obesitas, penyalahgunaan narkoba, kekerasan, ternyata tidak saja berkaitan dengan masalah kesehatan. Akan tetapi merupakan masalah sosial yang sangat kompleks dan dalam penanganan perlu koordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait lainnya walaupun mengalami hambatan (kesulitan) karena program dan visi atau kewenangan yang berbeda sehingga perlu upaya keras dalam bekerjasama.

Ada suatu kondisi atau titik tertentu dimana seorang pemimpin mengakui tidak dapat menyelesaikan masalah jahat (wicked). Jika masalah tersebut dapat diselesaikan dengan kewenangan sebagai pemimpin -- melalui kemampuan untuk memecahkan masalah, melakukan tindakan tegas atau diskresi dan tahu yang harus dilakukan - berarti masalah tersebut dikategorikan masalah jinak. 

Tetapi sebaliknya, masalah jahat dalam hal ini pemimpin -- tidak punya kemampuan untuk memecahkan masalah, tidak dapat melakukan tindakan tegas karena berdampak dilematis. Terkadang pemimpin stratejik tidak memiliki kemampuan membuat keputusan karena keterbatasan wewenang  atau adanya intervensi pihak luar yang harus diakomodasikan, memperhatikan dampak yang ditimbulkan, dan sebagainya. Oleh karena itu, salah satu cara penyelesaian adalah melakukan tindakan kolektif.

Tindakan kolektif diperlukan karena pemimpin tidak memiliki (mampu) solusi individu dan tahu bagaimana mengatasinya. Dengan demikian, tindakan kolektif merupakan pengalihan wewenang dari individu ke kolektif karena hanya keterlibatan kolektif yang dapat berharap untuk mengatasi masalah tersebut. Penanganan masalah jahat yang penuh ketidakpastian, memang memerlukan seni dibandingkan ilmu pengetahuan yakni seni melibatkan komunitas dalam menghadapi masalah kolektif yang kompleks.

Phill Jackson (1995: 149--151) menjelaskan dalam kasus Wheelright, dikisahkan pada abad ke-3 SM,  Kaisar Tiongkok Liu Bang merayakan konsolidasinya atas Tiongkok dengan perjamuan yang dihadiri oleh para bangsawan dan pakar militer dan politiknya. Salah satu tamu bertanya kepada salah satu ahli militer, Chen Cen, mengapa Liu Bang adalah Kaisar, karena Liu Bang bukan bangsawan sejak lahir atau ahli dalam urusan militer atau politik. Jawaban ahli militer Chen Cen justru mengajukan pertanyaan kembali, "menurut Anda, apa yang menentukan kekuatan roda?' Tamu tersebut menjawab kekuatan jari-jari roda, tetapi Chen Cen membantah bahwa dua set jari-jari dengan kekuatan yang identik tidak selalu membuat roda dengan kekuatan yang identik. 

Kekuatan roda juga dipengaruhi oleh ruang di antara jari-jari, dan untuk menentukan ruang itu adalah seni sejati dari wheelwright. Dengan demikian, seorang pemimpin tidak perlu menjadi ahli untuk menjadi sukses namun memiliki bawahan dan kolega terkait sebagai sumber daya kolektif yang diperlukan untuk kesuksesan organisasi -- dan sumber daya yang tidak dimiliki pemimpin -- ruang mewakili otonomi yang diperlukan bagi pengikut untuk tumbuh menjadi pemimpin itu sendiri.

  • Penutup

Kembali lagi pada permasalahan kisah komandan pos perbatasan, pada saat dia menerima instruksi telegram seharusnya dikaji atau analisis dalam penerapan kebijakan. Langkah pertama yang dilakukan komandan menginstruksikan untuk melakukan pemeriksaan setiap orang atau kendaraan yang melewati pos perbatasan dan Langkah berikut dengan memperketat pemeriksaan secara (dengan memeriksa bodi kendaraan hingga penggeledahan pada pakaian dan tubuh seseorang). Langkah tersebut dianggap sebagai kebijakan normal dalam penanganan masalah jinak.

Namun hasilnya ternyata nihil, berarti komandan tersebut harusnya berpikir kembali dan melakukan kajian berikutnya. Mengapa rombongan sepeda motor harus berpayah-payah setiap hari membawa pasir?, untuk apa atau apa kegunaannya?, dsb. Fokus dan persepsi komandan tersebut harus bergeser ke out-look forward dan berpikir holistic, dia harus mengirimkan anak buahnya untuk mencari tahu/informasi dari mana pasir berasal dan kemana pasir itu dituju, mungkin termasuk mencari informasi maksud secara jelas dari info telegram yang diterima.

Langkah tersebut terkadang mungkin melewati batas kewenangan, maka diperlukan koordinasi dengan instansi atau pemda terkait, termasuk jaringan atau mitra kerja di luar organisasi. Semakin banyak informasi diterima akan memperluas view atau pandangan kita dalam memahami suatu masalah, sehingga dapat diperoleh gambaran keseluruhan (holistic) untuk mengambil keputusan dan kebijakan. Demikian halnya, pada saat mengambil keputusan sebagai langkah kebijakan, diperlukan kerjasama kolektif atau koordinasi maupun kolaborasi dengan instansi terkait atau mitra kerja kita.

Pentingnya seorang pemimpin stratejik untuk memahami masalah jahat (wicked problem), karena perlu berbagai pertimbangan dalam mengambil keputusan, kondisi perubahan situasi yang tidak menguntungkan (problematis) dan ketidakpastian, kadang permasalahan ditunda atau didiamkan dapat berdampak lebih signifikan akibatnya dan perlu penanganan segera, dan disitulah kualitas sebagai pemimpin stratejik dari pejabat publik dipertaruhkan karena kemampuan dalam menganalisis masalah dan mengambil keputusan secara strategis dan mengeliminir dampak yang terjadi. Hal tersebut dapat terlihat ketika kemampuan pemimpin stratejik pada saat mengalami kondisi krisis atau mengalami gejolak perubahan yang tidak pasti seperti saat wabah Covid-19 yang baru saja telah kita lewati.

Referrence:

Paul 't Hart, John Uhr (2008). Public Leadership Perspectives and Practices, Published by ANU E Press The Australian National University, 2008. http://epress.anu.edu.au/public_leadership _citation.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun