Mohon tunggu...
Cak Bro Cak Bro
Cak Bro Cak Bro Mohon Tunggu... Administrasi - Bagian dari Butiran debu Di Bumi pertiwi

Menumpahkan barisan Kata yang muncul di Pikiran

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membangun Budaya Riset bagi Akademisi dan Tak Sekadar Mengejar Jurnal Terindeks Scopus (Bagian Terakhir)

28 September 2021   08:45 Diperbarui: 28 September 2021   09:08 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Membangun Budaya Riset Bagi Para Akademisi dan

 Tak Sekedar Mengejar Jurnal Scopus (Bagian Kedua)

Oleh : Subroto (Komunitas Birokrat Menulis.org)

Kebijakan Publikasi ilmiah Di Indonesia

Berdasarkan UU Nomor 14 tahun 2015 tentang Guru dan Dosen, dalam pasal 60 dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen antara lain wajib melakukan publikasi ilmiah sebagai salah satu sumber belajar. Selanjutnya dijabarkan secara teknis berdasarkan Permen Ristek Dikti Nomor 20 tahun 2017 tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor mewajibkan dosen dengan jabatan akademik lektor kepala dan profesor untuk melakukan publikasi ilmiah. 

Berdasarkan hal tersebut dapat dibayangkan betapa banyaknya jurnal penelitian yang membanjiri bagi 260 ribu dosen dan 10 ribu peneliti (berdasarkan data Ristek Dikti tahun 2017) dan diperkirakan dibutuhkan sekitar 8 ribu jurnal terakreditasi nasional, dan 150 jurnal bereputasi internasional (Panduan Editorial Pengelolaan Jurnal ilmiah, 2020).

Dampak dari kebijakan tersebut terjadi lonjakan sangat drastis terhadap perkembangan Jurnal Ilmiah di Indonesia. Seperti yang tercantum dalam Buku Panduan Editorial Pengelolaan Jurnal ilmiah, yang diterbitkan Direktorat Pengelolaan Kekayaan Intelektual Kemenristek/BRIN, 2020 terjadi peningkatan atas perkembangan Jurnal Ilmiah Indonesia. 

Adanya peningkatan pendaftaran ISSN yang mencapai 65 ribu permohonan ISSN di PDII-LIPI hingga tahun 20019. Demikian pula Jurnal Indonesia yang terindeks Scopus hingga tahun 2019 sudah mencapai 57 juta jurnal.

Selain itu, adanya perubahan peringkat dan kemudahan mekanisme akreditasi berdampak pada peningkatan jumlah jurnal yang terakreditasi nasional. Sampai 31 Desember 2019 jumlah jurnal terakreditasi sebanyak 4.608 jurnal dengan rincian:

  • peringkat 1 (Q1) sebanyak 61 jurnal,
  • peringkat 2 (Q2) sebanyak 770 jurnal,
  • peringkat 3 (Q3) sebanyak 888 jurnal,
  • peringkat 4 (Q4) sebanyak 1.549 Jurnal,
  • peringkat 5 (Q5) sebanyak 1.174 Jurnal, dan 
  • peringkat 6 (Q6) sebanyak 166 jurnal.

Gagap Budaya Riset bagi Para Akademisi dan Peneliti di Indonesia

Adanya kebijakan baru berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2015 dan Peraturan Menristekdikti Nomor 20 tahun 2017, kini Perguruan Tinggi di Indonesia juga mewajibkan calon lulusan S-1, S-2, dan S-3 untuk mempublikasikan karya ilmiah mereka di jurnal ilmiah. 

Di sisi lain, untuk meningkatkan jenjang jabatan, dosen di perguruan tinggi dan peneliti di lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) wajib mempublikasikan karya ilmiah hasil penelitiannya melalui buku, prosiding, dan jurnal ilmiah, baik di tingkat nasional maupun internasional. Dosen, peneliti, dan mahasiswa wajib mempublikasikan hasil karyanya dalam bentuk karya ilmiah yang bermutu.

Kebijakan Kemenristekdikti tersebut itulah menyebabkan beberapa dosen atau peneliti menghalalkan berbagai cara, seperti yang disebutkan diawal pembuka kata artikel ini, dalam upaya karya ilmiah dapat dipublikasikan melalui Scopus sebagai ukuran reputasi intelektual mereka. 

Cara lainnya bagaimana agar terhindar dari seleksi dan review yang ketat dari Scopus adalah langsung menulis manuskrip untuk dikirim dan terbitkan di prosiding (kumpulan paper akademis) konferensi internasional yang akan dipublikasikan dan diindeks oleh Scopus atau beberapa pengindeks internasional lainnya.

Cara ini memang lebih praktis, tapi harus rela membayar lumayan. Praktis karena menulis di prosiding tidak ditelaah dan seleksi secara ketat, termasuk oleh Scopus (Surya Dalimunthe, 2018). Seleksi hanya dilakukan di level panitia penyelenggara konferensi dan penerbit internasional yang akan mempublikasikan prosiding. 

Sementara itu pihak Scopus tidak menyeleksi ketat substansi prosiding. Ketika rata-rata institusi penyelenggara konferensi internasional butuh peserta banyak untuk menunjang operasional acara ( bahkan menangguk untung), tim penyeleksi (reviewers) tentu tidak akan mengetatkan proses seleksi manuskrip. 

Hal itu disebabkan dengan prinsip bahwa makin banyak peserta konferensi yang ikut, makin banyak pula uang masuk ke panitia untuk membayar penyelenggaraan acara, honor tim penyeleksi, dan membayar ke penerbit internasional yang bersedia mempublikasikan prosiding hasil konferensi untuk diindeks oleh Scopus. Perlu diingat juga bahwa Scopus adalah bagian dari raksasa bisnis penerbit internasional, Elsevier. Artinya, ada perputaran uang di situ.

Bahkan pada saat ini, muncul beragam Event Organizer (EO) konferensi dan seminar yang menawarkan pengelolaan acara konferensi kepada pihak perguruan tinggi dan menjanjikan publikasi prosidingnya akan diindeks oleh Scopus. Oleh karena itu, para dosen jika mendengar prosiding akan diindeks oleh Scopus pasti akan tertarik untuk ikut sebagai peserta. 

Pengajuan karya ilmiah melalui publikasi ilmiah bereputasi internasional memang cukup sulit, karena manuskrip yang diterbitkan di jurnal bereputasi internasional dan terindeks Scopus memiliki kebijakan seleksi yang ketat. Soal kualitas substansi manuskrip pasti jadi perhatian utama, termasuk kebaruan, temuan, dan kontribusi keilmuannya.

Sunu Wibirama dalam unggahan Facebook-nya (2021), menyebutkan bahwa fenomena gegar budaya riset terjadi karena mental para akademisi kita yang berjiwa mental ogah ribet (shortcut mentality), "tuntutan kinerja yang hanya memperhatikan angka-angka kuantitatif (luaran penelitian) tanpa usaha yang serius untuk memperhatikan proses penelitian hanya akan menghasilkan mentalitas shortcut (shortcut mentality)."  

Permasalahan Pertama, angka-angka capaian kinerja yang dijadikan acuan memang lebih mudah digunakan untuk menilai prestasi seseorang daripada uraian panjang tentang pentingnya kejujuran dan obyektivitas. Dari dulu sistem pendidikan kita lebih mementingkan angka nilai raport di sekolah daripada uraian yang menjabarkan proses perkembangan belajar mereka. Akibatnya, sejak kecil kita sudah dididik untuk berorientasi pada hasil, bukan proses. Sikap mental ini sudah terlanjur menjadi budaya karena dijustifikasi oleh peraturan dan cara pandang masyarakat kita yang "ogah ribet".

Permasalahan kedua, para peneliti dan akademisi di Indonesia mengalami gagap budaya riset karena adanya rangking-rangking yang menjadi tolok ukur kinerja sebuah lembaga, baik lembaga setingkat universitas maupun di tingkat kementerian.

 Alhasil, syarat untuk menjadi seorang guru besar di Indonesia tidaklah serumit saat ini dibandingkan beberapa dasawarsa lalu. Sebenarnya, budaya riset berbasis publikasi belumlah terlalu lama dipraktikkan di Indonesia. Namun dengan adanya rangking-rangking tersebut, publikasi mendadak menjadi tolok ukur penting karir seorang akademisi.

Sementara itu, dukungan fasilitas riset tidak secepat perubahan kebijakan yang berorientasi pada jurnal ilmiah berindeks luaran tadi. Akibatnya kita selalu menganggap bahwa proses bukan menjadi sesuatu yang krusial dalam menghasilkan berideks luaran riset tersebut. Hal tersebut sangat berbahaya karena kita akan mudah melakukan klaim-klaim spektakuler tanpa adanya basis pengetahuan yang memadai. Dapat kita bayangkan jika klaim ini terkait riset di bidang kesehatan yang menyangkut nyawa manusia atau kesehatan masyarakat.

Permasalahan ketiga, beberapa universitas dan lembaga penelitian di Indonesia belum memiliki basis ilmuwan yang kuat untuk menutup "gagap budaya riset". Sementara itu, sebagian besar ilmuwan Indonesia yang berkarir di luar negeri sebenarnya memilih untuk tidak berada di Indonesia karena lemahnya dukungan fasilitas penelitian dan kebijakan yang memudahkan peneliti untuk berinovasi. Lemahnya dukungan SDM ini berakibat pada lemahnya transfer pengetahuan dan pengalaman yang didapat oleh para ilmuwan tersebut ketika mereka menimba ilmu di luar negeri.

Masalah-masalah teknis tersebut itulah yang tidak mendukung peningkatan kualitas publikasi ilmiah seperti manajemen riset, etika publikasi, dan pengalaman dalam berkorespondensi serta menjawab komentar-komentar reviewer jurnal internasional Sayangnya, ilmu-ilmu ini tidak bisa kita dapatkan karena orang-orang yang memiliki best practices dalam hal-hal seperti ini tidak hidup dan berkarya di Indonesia.

Kesimpulan

Sebenarnya masih banyak universitas, para akedemisi dan komunitas ilmiah masih berjalan pada jalur yang benar dengan tetap mempertahankan tardisi keilmuan dan akademiknya melalui penerbitan jurnal-jurnal bereputasi nasional maupun internasional tanpa peduli apakah diindeks oleh Scopus atau tidak. 

Para pakar dalam bidang-bidang tertentu juga tetap menulis dan mengirimkan manuskripnya ke jurnal-jurnal yang memang terjaga kualifikasinya, tidak peduli jurnal tersebut terindeks Scopus atau tidak. Semangat inilah yang benar dan harus dijaga serta dikembangkan di kampus-kampus kita. Oleh karena itu, Kemenristek Dikti (Kemendikbud) harus merumuskan ulang bahwa jurnal bereputasi bukan hanya yang terindeks oleh Scopus dan sejenisnya.

Pemerintah juga hendaknya mendorong agar penerbit menjaga betul kualitas buku-buku akademik terbitannya yakni dengan menggandeng para pakar akademisi dari kampus sebagai bagian dari editorial board atau reviewer untuk menelaah, menyeleksi, dan memberi masukan calon naskah buku yang diterbitkan. 

Para akademisi juga harus selalu belajar untuk memperluas perspektif, bahwa media massa sangat potensial sebagai sarana penyebaran gagasan dan temuan riset. Model-model kebijakan berlogika behavioristik reward-punishment seperti Scopus terbukti menghasilkan kartel sitasi dan jalan pintas asal terindeks Scopus. Untuk mengatasi hal tersebut, yang harus mulai digarap adalah mengembangkan komunitas epistemik di kampus-kampus, yaitu pengembangan pusat-pusat studi, publikasi jurnal ilmiah akademik, dan penerbitan buku yang berkualitas.

Penghargaan kepada para peneliti atau akademisi dalam melakukan riset patut menjadi perhatian bagi pemerintah. Salah satu faktor kendala tidak berkembangnya budaya riset atau iklim intelektual adalah proposal penelitian tidak boleh mencantumkan honor peneliti (alasannya karena sudah masuk dalam remunerasi), dana penelitian yang masih minim, dukungan perkembangan pusat studi yang terbatas. 

Iming-iming sebagai reward terhadap gaji dan tunjangan sebagai tunjangan jabatan dari akademisi kampus, maka aktivitas pengembangan keilmuan akan terlihat tidak menarik. Kebijakan ukuran kualitas akademisi mengacu kepada Scopus sebagai upaya potong kompas, namun tidak diikuti dengan penguatan komunitas-komunitas epistemik di kampus, tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali kecurangan dan stagnasi perkembangan ilmu pengetahuan.

Perumusan ulang pengertian dan ukuran publikasi bereputasi internasional harus juga mencakup publikasi selain yang diindeks Scopus, dengan catatan jelas reputasinya. 

Demikian pula terhadap para penerbit buku ilmiah perlu diarahkan untuk lebih meningkatkan kualitas seleksi naskah akademiknya, menulis di media massa perlu dilihat potensi besarnya dalam membangun wacana publik, pusat-pusat kajian perlu diberi ruang dan fasilitas yang cukup untuk berkembang, dan penghargaan terhadap aktivitas riset perlu lebih ditingkatkan. 

Solusi yang ditawarkan untuk mengatsi permasalhan tersebut diharapkan akan lebih membangun budaya riset atau iklim intelektual para akademisi kita sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas publikasi ilmiah dan popular.

Referensi:

  • Edi Subkhan, "Scopus dan Problem Kultur Akademik Kita", detiknews.com., 21/3/19, diunggah tanggal 29/09/21.
  • Sunu Wibirama, "Balapan Scopus, Jurnal Predator dan Gagap Budaya Riset", ajpkm.org. 11/02/21
  • Panduan Editorial Pengelolaan Jurnal Ilmiah, Direktorat Pengelolaan Kekayaan Intelektual Deputi Bidang Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset Teknologi/ Badan Riset dan Inovasi Nasional 2020. ARJUNA (ristekbrin.go.id)
  • Rina Hayati, "Pengertian Jurnal Internasional, Ciri, Struktur, dan Cara Membuatnya", penelitianilmiah.com, 16/10/21. https://penelitianilmiah.com/jurnal-internasional/ 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun