Di sisi lain, untuk meningkatkan jenjang jabatan, dosen di perguruan tinggi dan peneliti di lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) wajib mempublikasikan karya ilmiah hasil penelitiannya melalui buku, prosiding, dan jurnal ilmiah, baik di tingkat nasional maupun internasional. Dosen, peneliti, dan mahasiswa wajib mempublikasikan hasil karyanya dalam bentuk karya ilmiah yang bermutu.
Kebijakan Kemenristekdikti tersebut itulah menyebabkan beberapa dosen atau peneliti menghalalkan berbagai cara, seperti yang disebutkan diawal pembuka kata artikel ini, dalam upaya karya ilmiah dapat dipublikasikan melalui Scopus sebagai ukuran reputasi intelektual mereka.Â
Cara lainnya bagaimana agar terhindar dari seleksi dan review yang ketat dari Scopus adalah langsung menulis manuskrip untuk dikirim dan terbitkan di prosiding (kumpulan paper akademis) konferensi internasional yang akan dipublikasikan dan diindeks oleh Scopus atau beberapa pengindeks internasional lainnya.
Cara ini memang lebih praktis, tapi harus rela membayar lumayan. Praktis karena menulis di prosiding tidak ditelaah dan seleksi secara ketat, termasuk oleh Scopus (Surya Dalimunthe, 2018). Seleksi hanya dilakukan di level panitia penyelenggara konferensi dan penerbit internasional yang akan mempublikasikan prosiding.Â
Sementara itu pihak Scopus tidak menyeleksi ketat substansi prosiding. Ketika rata-rata institusi penyelenggara konferensi internasional butuh peserta banyak untuk menunjang operasional acara ( bahkan menangguk untung), tim penyeleksi (reviewers) tentu tidak akan mengetatkan proses seleksi manuskrip.Â
Hal itu disebabkan dengan prinsip bahwa makin banyak peserta konferensi yang ikut, makin banyak pula uang masuk ke panitia untuk membayar penyelenggaraan acara, honor tim penyeleksi, dan membayar ke penerbit internasional yang bersedia mempublikasikan prosiding hasil konferensi untuk diindeks oleh Scopus. Perlu diingat juga bahwa Scopus adalah bagian dari raksasa bisnis penerbit internasional, Elsevier. Artinya, ada perputaran uang di situ.
Bahkan pada saat ini, muncul beragam Event Organizer (EO) konferensi dan seminar yang menawarkan pengelolaan acara konferensi kepada pihak perguruan tinggi dan menjanjikan publikasi prosidingnya akan diindeks oleh Scopus. Oleh karena itu, para dosen jika mendengar prosiding akan diindeks oleh Scopus pasti akan tertarik untuk ikut sebagai peserta.Â
Pengajuan karya ilmiah melalui publikasi ilmiah bereputasi internasional memang cukup sulit, karena manuskrip yang diterbitkan di jurnal bereputasi internasional dan terindeks Scopus memiliki kebijakan seleksi yang ketat. Soal kualitas substansi manuskrip pasti jadi perhatian utama, termasuk kebaruan, temuan, dan kontribusi keilmuannya.
Sunu Wibirama dalam unggahan Facebook-nya (2021), menyebutkan bahwa fenomena gegar budaya riset terjadi karena mental para akademisi kita yang berjiwa mental ogah ribet (shortcut mentality), "tuntutan kinerja yang hanya memperhatikan angka-angka kuantitatif (luaran penelitian) tanpa usaha yang serius untuk memperhatikan proses penelitian hanya akan menghasilkan mentalitas shortcut (shortcut mentality)." Â
Permasalahan Pertama, angka-angka capaian kinerja yang dijadikan acuan memang lebih mudah digunakan untuk menilai prestasi seseorang daripada uraian panjang tentang pentingnya kejujuran dan obyektivitas. Dari dulu sistem pendidikan kita lebih mementingkan angka nilai raport di sekolah daripada uraian yang menjabarkan proses perkembangan belajar mereka. Akibatnya, sejak kecil kita sudah dididik untuk berorientasi pada hasil, bukan proses. Sikap mental ini sudah terlanjur menjadi budaya karena dijustifikasi oleh peraturan dan cara pandang masyarakat kita yang "ogah ribet".
Permasalahan kedua, para peneliti dan akademisi di Indonesia mengalami gagap budaya riset karena adanya rangking-rangking yang menjadi tolok ukur kinerja sebuah lembaga, baik lembaga setingkat universitas maupun di tingkat kementerian.