Alhasil, syarat untuk menjadi seorang guru besar di Indonesia tidaklah serumit saat ini dibandingkan beberapa dasawarsa lalu. Sebenarnya, budaya riset berbasis publikasi belumlah terlalu lama dipraktikkan di Indonesia. Namun dengan adanya rangking-rangking tersebut, publikasi mendadak menjadi tolok ukur penting karir seorang akademisi.
Sementara itu, dukungan fasilitas riset tidak secepat perubahan kebijakan yang berorientasi pada jurnal ilmiah berindeks luaran tadi. Akibatnya kita selalu menganggap bahwa proses bukan menjadi sesuatu yang krusial dalam menghasilkan berideks luaran riset tersebut. Hal tersebut sangat berbahaya karena kita akan mudah melakukan klaim-klaim spektakuler tanpa adanya basis pengetahuan yang memadai. Dapat kita bayangkan jika klaim ini terkait riset di bidang kesehatan yang menyangkut nyawa manusia atau kesehatan masyarakat.
Permasalahan ketiga, beberapa universitas dan lembaga penelitian di Indonesia belum memiliki basis ilmuwan yang kuat untuk menutup "gagap budaya riset". Sementara itu, sebagian besar ilmuwan Indonesia yang berkarir di luar negeri sebenarnya memilih untuk tidak berada di Indonesia karena lemahnya dukungan fasilitas penelitian dan kebijakan yang memudahkan peneliti untuk berinovasi. Lemahnya dukungan SDM ini berakibat pada lemahnya transfer pengetahuan dan pengalaman yang didapat oleh para ilmuwan tersebut ketika mereka menimba ilmu di luar negeri.
Masalah-masalah teknis tersebut itulah yang tidak mendukung peningkatan kualitas publikasi ilmiah seperti manajemen riset, etika publikasi, dan pengalaman dalam berkorespondensi serta menjawab komentar-komentar reviewer jurnal internasional Sayangnya, ilmu-ilmu ini tidak bisa kita dapatkan karena orang-orang yang memiliki best practices dalam hal-hal seperti ini tidak hidup dan berkarya di Indonesia.
Kesimpulan
Sebenarnya masih banyak universitas, para akedemisi dan komunitas ilmiah masih berjalan pada jalur yang benar dengan tetap mempertahankan tardisi keilmuan dan akademiknya melalui penerbitan jurnal-jurnal bereputasi nasional maupun internasional tanpa peduli apakah diindeks oleh Scopus atau tidak.Â
Para pakar dalam bidang-bidang tertentu juga tetap menulis dan mengirimkan manuskripnya ke jurnal-jurnal yang memang terjaga kualifikasinya, tidak peduli jurnal tersebut terindeks Scopus atau tidak. Semangat inilah yang benar dan harus dijaga serta dikembangkan di kampus-kampus kita. Oleh karena itu, Kemenristek Dikti (Kemendikbud) harus merumuskan ulang bahwa jurnal bereputasi bukan hanya yang terindeks oleh Scopus dan sejenisnya.
Pemerintah juga hendaknya mendorong agar penerbit menjaga betul kualitas buku-buku akademik terbitannya yakni dengan menggandeng para pakar akademisi dari kampus sebagai bagian dari editorial board atau reviewer untuk menelaah, menyeleksi, dan memberi masukan calon naskah buku yang diterbitkan.Â
Para akademisi juga harus selalu belajar untuk memperluas perspektif, bahwa media massa sangat potensial sebagai sarana penyebaran gagasan dan temuan riset. Model-model kebijakan berlogika behavioristik reward-punishment seperti Scopus terbukti menghasilkan kartel sitasi dan jalan pintas asal terindeks Scopus. Untuk mengatasi hal tersebut, yang harus mulai digarap adalah mengembangkan komunitas epistemik di kampus-kampus, yaitu pengembangan pusat-pusat studi, publikasi jurnal ilmiah akademik, dan penerbitan buku yang berkualitas.
Penghargaan kepada para peneliti atau akademisi dalam melakukan riset patut menjadi perhatian bagi pemerintah. Salah satu faktor kendala tidak berkembangnya budaya riset atau iklim intelektual adalah proposal penelitian tidak boleh mencantumkan honor peneliti (alasannya karena sudah masuk dalam remunerasi), dana penelitian yang masih minim, dukungan perkembangan pusat studi yang terbatas.Â
Iming-iming sebagai reward terhadap gaji dan tunjangan sebagai tunjangan jabatan dari akademisi kampus, maka aktivitas pengembangan keilmuan akan terlihat tidak menarik. Kebijakan ukuran kualitas akademisi mengacu kepada Scopus sebagai upaya potong kompas, namun tidak diikuti dengan penguatan komunitas-komunitas epistemik di kampus, tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali kecurangan dan stagnasi perkembangan ilmu pengetahuan.