Mohon tunggu...
Cadis Luz
Cadis Luz Mohon Tunggu... Nelayan - Sing tenang.

Belum pernah aku berurusan dengan sesuatu yang lebih sulit daripada jiwaku sendiri, yang terkadang membantuku, dan terkadang menentangku. Imam Ghazali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tuti dan Sesajen

9 September 2019   20:12 Diperbarui: 9 September 2019   20:29 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalian pasti mencari pesugihan di pohon beringin tua itu, iya kan?" tanya Pak Rudi.

Para pencari pesugihan itu saling tatap, awalnya tidak ingin mengakui tetapi akhirnya mereka mengiyakan dengan embel-embel jika Tuti sudah menipu mereka dengan mengaku sebagai juru kunci pohon beringin tersebut.

Pak Rudi lalu menggelengkan kepala. "Kalian seharusnya berpikir sebelum bertindak."

"Apa urusanmu, Pak Tua! Tidak usah ikut campur!" seru salah satu dari mereka.

Para pencari pesugihan memutuskan pergi meninggalkan lelaki tua itu. Lantas, Pak Rudi berseru kepada mereka. "Tuti sudah meninggal gantung diri di pohon beringin itu, dan kuburannya ada di dalam rumah gubuk yang kalian bakar!"

Langkah mereka lalu terhenti oleh ucapan Pak Rudi, hampir bersamaan menoleh ke belakang dan menertawakan cerita Pak Rudi. Lalu saat mereka kembali menghadap ke depan, sudah ada Tuti berdiri dan menangis. Katanya, "Aku cuma minta makan, kenapa kalian pelit sekali?"

Kali ini para pencari pesugihan itu ngeri melihat Tuti yang bewajah pucat, dan luka yang ada di lehernya. Mereka lantas menoleh ke belakang, namun Pak Rudi sudah lari terbirit-birit lebih dulu. Lalu mereka menoleh lagi, tetapi Tuti sudah tidak ada di depan mereka. Detik kemudian suara perempuan tertawa terdengar jelas, arahnya dari pohon beringin. Mata para pencari pesugihan itu lantas membulat melihat Tuti terbahak-bahak sembari memakan sesajen. Kemudian, mereka lari tunggang langgang sampai-sampai tidak peduli menginjak kuburan.

"Akhirnya aku bisa makan enak," kata Tuti yang berwajah pucat dengan luka di lehernya.

Selesai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun