Mohon tunggu...
Candrika Adhiyasa
Candrika Adhiyasa Mohon Tunggu... Guru - Orang biasa

pelamun, perokok, kurus, agak kepala batu, penikmat sastra terjemahan dan filsafat. Instagram dan Twitter @candrimen

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Aroma Pengasingan dalam Buku Puisi "Suara dari Pengungsian" karya Nissa Rengganis: Sebuah Tinjauan Ringkas

21 November 2021   01:10 Diperbarui: 21 November 2021   01:12 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku ini merupakan sebuah album foto. Sekurang-kurangnya, di dalam buku ini ada dua jenis foto: (1) Foto berbentuk gambar dan (2) foto berbentuk teks, tepatnya puisi. Keduanya sama-sama menyajikan peristiwa tertentu, yang abstrak maupun yang konkret---dan tentu saja, emosional. Penulisnya sendiri, kadang menjadi mata subjek yang memandang suatu peristiwa, tetapi dalam kesempatan yang lain, dalam ruang dan waktu yang lain, ia melebur menjadi bagian dari peristiwa yang ia potret. Penulis hidup di antara dua profesi: (1) Subjek-yang-Memotret dan (2) Subjek-yang-Dipotret.


"Duka tersimpan

Pada puing-puing yang diruntuhkan"

  • Byblos (p. 4)

Ada yang abstrak, "duka disimpan," seolah-olah duka adalah sandal, benda. Tetapi ada pula yang konkret, yang menubuh, "puing-puing yang diruntuhkan" itu. Bangunan-bangunan fisik, diluluh-lantakkan dengan sengaja karena berbagai alasan, atawa kepentingan. Puing-puing di sini kuat dugaan merupakan sisa kampung halaman, yang membuat penduduknya kehilangan rumah, dan tentu saja membuat mereka menangis atau marah. Permusuhan antara Yang-Menghancurkan dan Yang-Dihancurkan menjelanak ke atmosfer. Dalam kesadaran itu, orang-orang Yang-Dihancurkan pergi, mencari rumah baru, mencari hunian. Namun:

"Tak ada lagi yang tersisa

Hanya jejak-jejak kaki

Tertinggal di pasir menuju hutan lebat

Menuju tempat yang tak punya alamat."

  • Ishmael Beah (p. 9)

Kebingungan, derita, pengasingan, menjadi denyut nadi bagi mereka yang kehilangan rumah, dan membuat mereka menjadi makhluk baru nan menyedihkan bernama "pengungsi". Ketakutan dan harapan berkelebat dalam pandangan yang kosong ketika kaki-kaki mereka melangkah ke antah-berantah. Dalam waktu yang sama, orang-orang di belahan bumi lain, yang hidup dalam dunia yang relatif lebih "manusiawi", berlomba-lomba menyampaikan simpati yang kering. Penulis menyampaikan semacam sinisme.

"Kau masih terus berdebat

Terjebak pada slogan-slogan dan tagar #savepalestina

sembari menikmati pasta

di depan sofa dan bersiap ke pesta."

  • Apa Kabar Palestina (p. 46)

Dalam keterlunta-luntaan, para pengungsi melarat. Sebagian mati, sebagian menjadi martir di kemudian hari. Lantas, negara kemudian (hanya) menjadi juru catat dari kematian-kematian mereka.

"Atas nama Negara

kematian hanya angka-angka

di Sidang Paripurna."

  • Atas Nama Negara (p. 49)

Sudah sejak lama, nyawa manusia hanya sebatas angka-angka, yang tercatat dalam laporan-laporan menyebalkan dan bertele-tele. Penulis kemudian menggerutu---mengenai renungan yang barangkali klasik tetapi kekal---mengenai kesetaraan (kemanusiaan).

"Kita memandang jendela yang sama

entah mengapa

nasib kita begitu berbeda."

  • Memandang Jendela yang Sama (p. 57)

Dalam keadaan genting, di zaman pandemic ini, dunia mulai terdigitasi, dan omong kosong bertebaran bukan lagi di koran cetak, melainkan di media sosial dan program-program lunak---yang sebagian besar kemungkinan tidak terlalu berguna.

"Tuhan, kami lapar

Negara hanya menyediakan webinar."

  • Waktu pun Terhenti (p. 36)

Webinar tak memberi apa-apa kecuali harapan dan secuil kisi-kisi teknis. Seolah-olah kemiskinan dan derita dapat reda sekadar dengan beberapa sesi tatap layar dalam aplikasi meeting. Secanggih apa pun zaman, atau bahkan justru karena ia semakin canggih, konflik identitas tak pernah reda dan cenderung semakin ekslusif serta menajam. Maalouf menyatakan bahwa identitas yang bertautan sedemikian kompleks itu merupakan hal yang sensitif, dan sensitivitas ihwal identitas, misalnya identitas keagamaan, tidak lebih reaktif daripada identitas kebahasaan.

"Kesedihan adalah kami

Diungsikan puisi

Diasingkan bahasa dan kata-kata."

  • Suara dari Pengungsian (p. 72)

Buku ini kemudian secara tersirat menyampaikan dikotomi bangsa, Exile and the Kingdom, yang membelah dunia mereka dengan pagar berduri. Konflik identitas yang melahirkan peperangan, pengasingan, penindasan, akhirnya menciptakan akhir yang ambigu---yang bisa membingungkan begitu banyak pihak, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung.

"Bagaimana aku harus akhiri bait puisi ini---

Kau pergi juga

Hujan belum reda:

Aku tersesat di lengang-lengang ingatan."

  • Perpisahan (p. 79)

Secara substansial, konflik identitas ini merupakan sesuatu yang teramat rumit, dan nyaris membuat putus asa bagi mereka yang memiliki kadar kemanusiaan yang memadai. Namun bagi mereka yang hidup secara mekanis dalam ruang-ruang birokrasi, agaknya persoalan ini bukanlah persoalan yang emosional-kontemplatif, melainkan kuantitatif-administratif; terkait dengan data-data yang dingin. Diskusi mengenai kemanusiaan barangkali dicukupkan dengan beberapa lembar dokumen dan program yang memerlukan waktu dan segelintir dana, sementara dalam waktu bersamaan, nyawa-nyawa ditanggalkan dari tanah yang tandus akan kemanusiaan yang konkret.

"Laporan selesai."

  • Laporan (p. 5)

 

Candrika Adhiyasa

17 November 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun