Dalam keadaan genting, di zaman pandemic ini, dunia mulai terdigitasi, dan omong kosong bertebaran bukan lagi di koran cetak, melainkan di media sosial dan program-program lunak---yang sebagian besar kemungkinan tidak terlalu berguna.
"Tuhan, kami lapar
Negara hanya menyediakan webinar."
- Waktu pun Terhenti (p. 36)
Webinar tak memberi apa-apa kecuali harapan dan secuil kisi-kisi teknis. Seolah-olah kemiskinan dan derita dapat reda sekadar dengan beberapa sesi tatap layar dalam aplikasi meeting. Secanggih apa pun zaman, atau bahkan justru karena ia semakin canggih, konflik identitas tak pernah reda dan cenderung semakin ekslusif serta menajam. Maalouf menyatakan bahwa identitas yang bertautan sedemikian kompleks itu merupakan hal yang sensitif, dan sensitivitas ihwal identitas, misalnya identitas keagamaan, tidak lebih reaktif daripada identitas kebahasaan.
"Kesedihan adalah kami
Diungsikan puisi
Diasingkan bahasa dan kata-kata."
- Suara dari Pengungsian (p. 72)
Buku ini kemudian secara tersirat menyampaikan dikotomi bangsa, Exile and the Kingdom, yang membelah dunia mereka dengan pagar berduri. Konflik identitas yang melahirkan peperangan, pengasingan, penindasan, akhirnya menciptakan akhir yang ambigu---yang bisa membingungkan begitu banyak pihak, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung.
"Bagaimana aku harus akhiri bait puisi ini---
Kau pergi juga
Hujan belum reda:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!