Ada satu pepatah dari China, pepatah yang sebenarnya sebuah strategi. "Kalau anda sudah mengepung musuh, jangan tutup semua lobang, sebab dia memiliki "struggle to life", dia nekat dan hal ini bisa merugikan anda juga. Sediakan lah satu jalan, atau satu lobang sehingga dia bisa keluar dari lobang itu dan tidak nekat".
Pepatah ini benar benar dijalankan oleh Sun Tzu ahli perang yang sangat terkenal itu. Strategi menyediakan satu jalan keluar ternyata tidak hanya berlaku dalam dunia perang, tapi juga dalam psikologi.
Ketika seseorang dihinggapi perasaan gagal, perasaan tidak mampu, perasaan tidak berguna, yang bisa membuat dia nekat dan melakukan hal hal yang merugikan dirinya, dia butuh satu lobang atau satu jalan keluar. Apa itu? Seseorang untuk disalahkan.
Ketika perasaan bersalah muncul dalam diri seseorang, hal ini bisa memicu satu tindakan nekat, misalnya melakukan hal hal yang ekstrim seperti pindah domisili, keluar dari dunia keramaian dengan menjadi seorang pertapa atau bahkan bunuh diri.Â
Pada situasi seperti ini apa yang dia butuhkan adalah sesuatu untuk mengalihkan perasaan bersalahnya. Dia butuh satu info dimana bukan dia yang bersalah.Â
Nah dengan timbulnya info baru bahwa ada pihak lain yang bersalah, maka dia akan mengalihkan energi negatif dan mengumpulkan energi positif untuk melakukan suatu tindakan yang lebih aktif.
Seorang dosen Fakultas Psikologi saya ajak berdiskusi lalu dia memberikan pendapat. Dalam teori Psikoanalisa yang dikemukakan Freud, bentuk pengalihan perasaan dengan menyalahkan orang lain adalah salah satu tipe dari mekanisme pertahanan diri (defense mechanism), disebut proyeksi.Â
Proyeksi adalah mekanisme melindungi diri dari kesadaran akibat kebiasaan/perbuatan diri yang tidak baik, dengan menuduhkannya kepada orang lain.Â
Atau dapat juga dikatakan bahwa proyeksi merupakan usaha untuk menyalahkan orang lain mengenai kegagalan, kesulitan atau keinginan diri yang tidak baik. Teknik ini mungkin dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan karena seseorang harus menerima kenyataan akan keburukan dirinya sendiri.
Apakah pihak lain yang disalahkan itu benar benar salah atau hanya dianggap salah itu nomor dua, namun nomor satunya seseorang yang gagal itu sudah bisa keluar dari perasaan hampanya atau perasaan bersalahnya.
Info yang mengatakan bahwa ada seseorang atau pihak lain yang salah tentu tidak serta merta dia terima.
Namun info ini pasti akan direnungkan, dicari bukti bukti yang mendukung lalu disusun lah narasi untuk menggambarkan kebenarannya. Begitu narasi ini sudah tersusun maka muncul lah energi baru untuk melakukan hal hal yang baru.Â
Meskipun narasi yag dibangun untuk membangun kebenaran diri ini masih sangat rapuh (masih bisa didebat), namun perasaan bersalah itu sudah hilang, berganti dengan perasaan marah, benci, sakit hati kepada pihak yang 'disalahkan".
Nah disinilah bisa timbul masalah yang lebih besar, jika pihak yang dipersalahkan tidak terima atau bahkan menolak narasi itu. Jika ini terjadi, terjadi adu narasi, terjadi adu bukti, terjadi perdebatan.Â
Namun jika pihak yang dibenci tadi adalah orang bijak, menerima narasi itu dengan jiwa besar, bahkan mau meminta maaf langsung seolah menerima dia "disalahkan" maka seharusnya dirinya perlu diapresiasi dan diucapkan terima kasih. Karena dia sudah berhasil mengalihkan perasaan negatif pihak yang pertama bukan?
Coba kita sederhanakan sehingga lebih mudah dipahami..
A, adalah perasaan bersalah karena gagal memenangkan sebuah kontes dua tahap yang biasa dilakukan.
B, adalah narasi bahwa ada pihak yang dituduh melakukan sesuatu di kontes tahap kedua sehingga terjadi kekalahan.Â
Nah pada saat hanya A yang ada, maka perasaan bersalah itu muncul dan bisa mengakibatkan tindakan tindakan yang nekat (memang terdengar bahwa sudah ada keinginan untuk melakukan sesuatu yang merugikan).Â
Beberapa waktu kemudian ada info dari sumber yang sangat dipercaya sehingga disusun lah menjadi B. Munculnya B ini membuat A tenggelam.Â
Selanjutnya B diterima dengan penuh kegembiraan dan muncul lah rasa benci yang sangat besar terhadap pihak yang terlibat, atau tokoh tokoh di B. Digembar-gemborkan lah B di mana-mana, termasuk di komunitas komunitas luar yang tidak tahu menahu sama sekali.-
Apakah B sudah pasti benar? (Apakah tuduhan negatif terhadap B sudah pasti seperti itu?) Mari kita lihat lebih detail.
1. Dalam kontes 2 tahap itu, ternyata hasil kontes kedua sangat ditentukan oleh hasil kontes pertama. Artinya kedudukan pada kontes pertama sudah meramalkan kekalahan pada kontes kedua. Nah fakta ini seolah dihilangkan saat menyusun B.
2. Dalam menyusun narasi B tidak ada bukti yang mempunyai hubungan sebab akibat langsung. Yang ada hanya data tentang suatu aktivitas yang dianggap berhubungan langsung dengan B. Padahal sudah ada pernyataan dari pihak yang lebih formal bahwa aktivitas itu tidak berhubungan langsung. Namun B tetap dipertahankan dan dijual (disampaikan) terus menerus.
Nah yang menarik adalah adanya fakta bahwa pihak pihak yang dituduhkan di B, tidak melakukan perlawanan apa apa.Â
Padahal banyak sekali bukti terdengar bahwa pihak pihak yang dilibatkan di pernyataan B selalu dinarasikan dengan bahasa bahasa yang sangat menyudutkan. Dan jadilah pihak pihak di B dianggap kurang ajar, menusuk dari belakang, dan dibenci dengan setengah mati.
Namun titik terang muncul saat ada kontes berikutnya yang berhasil dimenangkannya. Pada kontes berikutnya ini juga dilakukan dua tahap.Â
Hasil pada tahap pertama sudah bisa diramalkan bahwa dia akan (pasti) memenangkan tahap kedua (kalau pada kontes pertama, hasil tahap pertama sudah meramalkan kekalahannya pada tahap kedua).Â
Dan benar, pada tahap kedua dia menang dengan gemilang. Dan kemenangan nya sekaligus mementahkah B (bahwa segala tuduhan kepada pihak pihak di B tidak benar)
Kalai begitu masih perlukah narasi B itu dipertahankan dan disimpan erat erat? Bukankah sebaiknya kepada semua yang menjadi "tokoh B" diucapkan terima kasih, karena berhasil memberikan satu "lobang" atau satu jalan keluar yang mengakibatkan "katarsis" sehingga tidak lagi dihinggapi perasaan bersalah ?
Hanya orang yang berjiwa besar dan mau melihat dengan kacamata baru yang mau mengucapkan terima kasih kepada orang yang dia benci.Â
Kedewasaan saja tidak cukup, sebab berterima kasih butuh "rationale thinking" yang komplek dan menunjukkan kematangan mental, kata dr Lahargo S Kembaren SpJ.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H