Internet of Things (IoT) seperti saat sekarang ini telah melahirkan cara pandang dan kerja baru dalam berorganisasi. Disebutkan bahwa di zaman serba IT ini orang sangat dianjurkan untuk lebih mengedepankan kolaborasi daripada kompetisi. Bahkan, sebagian menyatakan era kompetisi sudah mati, saatnya kolaborasi.
EraPada hakikatnya, kolaborasi acapkali diartikulasikan dan digunakan untuk menguraikan ragam bentuk permasalahan atau pekerjaan yang bersifat lintas batas, lintas sektor, lintas hubungan ataupun lintas organisasi bahkan lintas negara sekalipun secara bersama-sama alias "Working Together"Â untuk mencapai tujuan bersama, (O'Leary, 2010).
Shawn Anchor dalam bukunya "The Happiness Anvantage"Â memandang kolaborasi yang sehat merupakan salah satu faktor penting dalam menciptakan produktivitas dan kebahagiaan. Dia menegaskan kolaborasi sehat adalah kolaborasi yang melibatkan interaksi antar individu atau kelompok yang saling memperkuat dan menguntungkan.
Pada tataran praktisnya, banyak orang dan organisasi yang mulai beralih dari paradigma lama, kompetisi, menuju paradigma kolaborasi. Mereka paham bahwa ada perubahan cara pandang dan perkembangan teknologi yang semakin cepat sehingga berkolaborasi lebih baik daripada kerja sendiri atau bersaing.
Kolaborasi menjadi lebih penting dan utama karena dapat membantu organisasi menciptakan keunggulan bersama, melahirkan inovasi baru dan mempercepat tercapainya visi organisasi itu sendiri. Para kolaborator juga akan mendapatkan keuntungan berlibat ganda melalui kerja kolaborasi berupa penambahan wawasan, pengalaman dan keahlian.
Dalam dunia bisnis, kolaborasi juga sudah lumrah dilakukan. Misalnya kolaborasi antara Go-Jek dan Tokopedia yang kemudian melakukan merger menjadi GoTo. Sebagaimana kita ketahui bersama, keduanya sama-sama bisnis startup terkemuka di Indonesia, bahkan sudah masuk ke level unicorn di dunia.
Begitu pula dengan perusahaan taxi Blue Bird yang dulu berjaya lalu sempat meredup karena kehadiran sekaligus gempuran taxi online dan kini mulai bersinar kembali setelah taxi berkelir biru ini berkolaborasi dengan Go-Jek. Hal ini menunjukkan kolaborasi lebih mampu menjawab persoalan dan menghadapi tantangan yang lebih kompleks.
Kolaborasi Lahirkan Inovasi Â
Di era serba cepat dan penuh perubahan ini, di mana big data menjadi panglima, kolaborasi turut menjadi kunci utama dalam menciptakan inovasi. Di berbagai sektor, baik itu di dunia bisnis, pendidikan, maupun sosial, kolaborasi telah terbukti mampu melahirkan ide-ide baru yang tidak hanya kreatif, tetapi juga berdampak luas.
Cara kerja yang menggabungkan berbagai perspektif, keahlian serta sumber daya dari kedua belah pihak atau lebih memungkinkan untuk menjawab tantangan-tantangan yang kompleks dengan cara yang lebih efektif dan efisien. Ketika individu-individu dengan latar belakang, keahlian dan pengalaman berbeda berkumpul dalam rangka bekerja sama, mereka membawa pandangan-pandangan unik yang mungkin tidak dimiliki oleh orang lain.
Ide-ide tersebut bertemu, berinteraksi dan sering kali berkembang menjadi solusi inovatif yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya. Proses demikian ini disebut sebagai "divergent thinking," pemikiran berbeda yang mendorong kreativitas serta membuka jalan bagi lahirnya inovasi yang lebih solutif dan konkret.
Lebih lanjut, sadar atau tidak bahwa tantangan yang dihadapi oleh individu atau organisasi sering kali melampaui kemampuan individu atau organisasi itu sendiri. Dengan berkolaborasi, semua pihak dapat menggabungkan sumber daya masing-masing baik itu finansial, teknologi, maupun sumber daya manusia untuk mencapai tujuan bersama.
Penggabungan ini tidak hanya memperbesar kemungkinan sukses, tetapi juga mempercepat proses inovasi. Sebagai contoh, di dunia pendidikan, individu atau lembaga yang berkolaborasi dalam penelitian dan pengembangan (R&D) sering kali mampu menghasilkan penemuan baru yang lebih cepat dan lebih baik dibandingkan dengan dikerjakan secara mandiri.
Dalam konteks organisasi Pemuda Hidayatullah dan Hidayatullah secara umum kolaborasi ini adalah keniscayaan di tengah pusaran kehidupan dunia yang semakin terhubung satu sama lain. Kita tidak bisa lagi kerja sendiri atau berkompetisi dengan lembaga lain untuk menjawab tantangan dan mencapai visi organisasi.
Paling tidak kolaborasi sesama internal organisasi yang meliputi lintas struktur, lintas sektor dan lintas hubungan. Selain karena kesamaan visi serta misi utama, kerja sama alias kolaborasi seperti ini akan semakin menguatkan gerak langkah organisasi hingga pada akhirnya mampu menghadirkan solusi inovatif secara kolektif atau berjamaah. Â
Lebih menarik lagi kalau dapat berkolaborasi dengan lintas organisasi, menjadikan orang atau lembaga lain sebagai mitra bukan kompetitor. Masing-masing individu atau organisasi punya kelebihan sekaligus kekurangan yang apabila keduanya mampu dikolaborasikan dengan baik maka akan menjadi kekuatan luar biasa untuk mencapai tujuan bersama.
Paradigma kolaboratif seperti ini memang harus mulai dibangun oleh Pemuda Hidayatullah. Sebab, melahirkan generasi Rabbani, memimpin Indonesia dan mewujudkan peradaban Islam bukanlah perkara sederhana dan mampu dikerjakan sendiri. Butuh banyak sekali sumbangan pemikiran, kekuatan dan sumber daya untuk mewujudkan itu semua. Â
Ini peluang yang harus ditangkap oleh siapapun terutama Pemuda Hidayatullah bila hendak mengimbangi zaman dan mencapai tujuan, bahkan harus mampu menjadi inisiator gerakan kolaborasi ini. Pada saat bersamaan, kita mesti mempersoleh diri agar dapat dipandang layak oleh siapapun sebagai mitra kolaborasi mereka.
Hanya saja, langkah kolaboratif dalam bentuk apapun kadangkala menghadapi tantangan pada aspek implementasi serta tataran eksekusi. Beda visi, motivasi, emosi, gengsi dan posisi menjadi penghambat terjadinya proses kolaborasi meskipun berada dalam satu organisasi. Oleh karena itu, dibutuhkan keterbukaan, komunikasi, kemauan dan kepemimpinan yang kuat untuk mengelola dinamika kolaborasi ini.
Merawat Semangat Kompetisi
Sekilas memang terdengar kontradiktif, namun sebenarnya antara kolaborasi dan kompetisi dapat berjalan beriringan dan saling memperkuat satu sama lain. Kurang tepat orang yang menyatakan era kompetisi sudah mati, justru merawat kompetisi sekaligus menguatkan kolaborasi adalah strategi penting untuk mencapai kemajuan, baik dalam konteks individu, organisasi maupun bangsa.
Ellen Langer, seorang profesor psikologi di Universitas Harvard dikenal karena kontribusinya dalam bidang mindfulness dan kesadaran memandang bahwa kolaborasi sebagai salah satu cara untuk memperkuat hubungan antar individu, dan dia percaya bahwa kolaborasi dapat membantu meningkatkan kepercayaan seseorang dalam sebuah organisasi.
Menurut Langer seseorang atau organisasi perlu memiliki sikap "mindful"Â atau sadar dalam berkolaborasi dan berkompetisi. Dengan sikap mindful, seseorang dapat memahami bahwa kolaborasi dan kompetisi bukanlah dua hal yang berlawanan, melainkan saling melengkapi dan mendukung satu sama lain.
Bila ditarik pada ruang organisasi semisal Pemuda Hidayatullah, maka aktualisasi kolaborasi mengarahkan kita untuk mencapai tujuan bersama. Sementara kompetisi menggiring kita agar selalu meningkatkan kualitas layanan dan peningkatan sumber daya. Dalam artikulasi lainnya, berlomba-lomba memberikan pelayanan terbaik untuk umat manusia.
Sama halnya dengan kolaborasi, paradigma kompetisi juga mendorong terciptanya inovasi dan kreasi karena setiap orang termasuk organisasi berusaha menjadi lebih baik dari yang lainnya. Tentu saja, persaingan dimaksud adalah persaingan yang sehat, adil dan beradab. Kompetisi yang mampu menghadirkan kemaslahatan bukan kerusakan.
Sebagai contoh, dalam industri teknologi, persaingan antar perusahaan untuk menciptakan produk yang lebih canggih dan efisien sering kali menghasilkan terobosan baru yang berusaha untuk memenuhi atau bahkan melebihi ekspektasi konsumen. Namun, bila kompetisi itu lalu melahirkan praktik monopoli, penipuan dan perpecahan, maka perlu dihindari.
Bisa saja organisasi Pemuda Hidayatullah berkolaborasi dengan pihak internal atau eksternal dalam hal peningkatan kualitas kader, penelitian dan bisnis yang saling menguntungkan, tetapi bersaing dalam hal layanan keummatan dalam bentuk program atau kegiatan untuk merebut segmentasi pasar.
Tentu saja, persaingan lintas struktur atau lintas organisasi perlu dirawat sedemikian rupa agar tetap saling berpacu dalam melakukan kebaikan. Masing-masing individu dan atau organisasi seperti Pemuda Hidayatullah harus terus memproduksi program-program kebaikan (dakwah) sekaligus menawarkannya kepada masyarakat secara umum. Â Â
Sudut Pandang Al-Qur'anÂ
Sebenarnya, bila kita menelisik sumber utama agama Islam tentang paradigma kolaborasi dan kompetisi sebagaimana uraian di atas, maka Al-Quran dan Hadits Rasulullah SAW baik secara tersurat maupun tersirat sudah memberikan rambu-rambu kepada kita untuk berkolaborasi dan berkompetisi tanpa harus menafikan salah satu dari keduanya.
Dalam literatur Islam yang merujuk pada Al-Quran, kolaborasi ditimbang sama dengan konsep Ta'awun. Makna serupanya adalah bekerja sama, tolong menolong, gotong royong dan saling membantu dalam masalah kebaikan sebagaimana termaktub dalam Al-Quran yang artinya, "Tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan..." (Q.S: Al-Maidah:2)
Firman Allah SWT dalam Al-Quran surah As-Saff ayat 4 juga menegaskan: "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh." Dua ayat ini selain menegaskan tentang pentingnya kolaborasi, juga menggarisbawahi kolaborasi dimaksud adalah kebaikan dan inilah value ajaran Islam.
Rasulullah SAW juga menyebutkan bahwa, "Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti satu bangunan yang saling menguatkan satu sama lain." (HR. Bukhari). Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi disebutkan, "Tangan Allah bersama Jamaah," yakni mengedepankan persatuan dan saling bekerja sama.
Sementara paradigma berkompetisi dalam Al-Quran disebut dengan fastabiqul khairat, yang berarti "berlomba-lomba dalam hal kebaikan." Paradigma ini menekankan perlunya bersaing untuk mencapai puncak kebaikan serta ketakwaan kepada Allah SWT, baik itu sebagai individu ataupun komunitas dalam sebuah organisasi.
Dalam Al-Quran, kata "kompetisi" acap acap menggunakan diksi dan arti "berlombalah." Ayat-ayat tentang keunggulan berlomba dalam kebaikan antara lain: surah Al-Hadid ayat 21, surah Al-Maidah ayat 48 dan surah Al-Baqarah ayat 148. Paradigma fastabiqul khairat mendorong orang-orang untuk memanfaatkan waktu agar berbuat kebajikan sehingga mampu melahirkan karya terbaik dan bermanfaat bagi semesta.
Dapat dikata, Islam telah lebih dahulu mencetuskan konsep kompetisi serta kolaborasi dalam merespon persoalan zaman meskipun secara implementasi masih lebih dominan persaingan daripada gotong royong dan baru di era ini konsep kolaborasi itu hendak diamalkan. Sekaligus pembuktian bahwa Al-Quran memang tak pernah lekang oleh zaman.
Pada akhirnya, mengakui bahwa selama ini kita sudah sama-sama bekerja (fastabiqul khairat) namun belum saling bekerja sama (ta'awun) dalam mewujudkan peradaban Islam termasuk langkah maju dan inovatif, sehingga kolaborasi dan kompetisi bukanlah dua hal yang melulu dipertentangkan atau dianggap sebagai pilihan yang harus dipilih salah satunya.
Sebaliknya, menguatkan kerja kolaborasi karena merujuk pada perkembangan dan kebutuhan zaman sekaligus merawat kompetisi merupakan strategi jitu untuk mewujudkan visi dan misi organisasi atau paling tidak keduanya dapat diintegrasikan secara seimbang untuk mencapai hasil lebih optimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H