Jauh sebelum istilah Backpacker dan Traveller ini dikenal masyarakat, kegiatan bepergian atau jalan-jalan ini sudah banyak dilakukan bahkan digandrungi oleh orang-orang zaman terdahulu, khususnya kalangan Muslim. Sebut saja misalnya, Ibnu Batutah (1304-1368), Laksamana Ceng Ho (1371-1433), Ahmad Ibnu Fadhlan (877-960), Abu Hasan Al-Masudi (896-965).
Nama-nama orang ini menghabiskan sebagian hidupnya untuk berkeliling menjelajahi dunia. Seperti seorang cendikiawan Muslim asal Maroko yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah Al-Lawati At-Tanji bin Batutah atau yang dikenal dengan nama Ibnu Batutah (1304-1368 M).
Pada abad pertengahan, Ibnu Batutah berkelana ke berbagai pelosok dunia dalam kurun waktu kurang lebih 30 tahun. Saat memulai petualangan menjelajah dunia, Ibnu Batutah baru berusia 21 tahun, masih sangat muda.
Ia pergi sendirian, meninggalkan kampung halaman, keluarga dan teman sepermainan. Berjalan kaki, berkuda dan berlayar melintasi benua Afrika hingga ratusan kilometer dan mengunjungi 40 lebih negara. Tentu saja, perjalanannya dalam rangka ibadah, dakwah, berpetualang dan mencari ilmu.
Dalam perjalanan, Ibnu Batutah banyak bertemu dan bersinggungan dengan ragam manusia beserta budaya, politik dan agamanya. Ia juga banyak belajar tentang wilayah kekuasaan muslim, mengitari jalur-jalur penting dan melihat kekuatan politik umat Islam.
Alhasil, setelah kembali ke kampung halaman Ibnu Batutah mengisahkan pengalaman perjalanannya dan menuliskannya dalam buku berjudul Rihlah.
Traveling dalam Pandangan Islam
Ternyata, Islam memberikan perhatian khusus pada orang-orang yang malakukan Traveling (perjalanan). Utamanya perihal pelaksanaan ibadah bagi sang Traveler atau musafir, yakni Allah SWT memberikan keistimewaan berupa keringanan.
Hal ini setelah mengingat, menimbang dan memperhatikan seorang Musafir yang menempuh perjalanan jauh sekaligus panjang dari segi waktu, tenaga, biaya serta pikiran, lalu Allah memutuskan bahwa ibadah seorang Traveler (salat dan puasanya) tidak harus sesuai dengan orang yang tidak bepergian, alias diam di kampung halaman.
Dalam firman-Nya: "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar sholat, jika takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu." (Q.S: An-Nisa: 101)
Rasulullah SAW juga menguatkan melalui sabdanya: "Bahwa Rasulullah SAW pergi menuju Makkah pada bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa, sesampainya di daerah Kadid, beliau berbuka kemudian orang-orang turut berbuka." (H.R: Bukhari)