Mohon tunggu...
bustanol arifin
bustanol arifin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Happy Reader | Happy Writer

Tertarik Bahas Media dan Politik | Sore Hari Bahas Cinta | Sesekali Bahas Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Terminologi Asing dalam Debat Cawapres

24 Januari 2024   08:39 Diperbarui: 26 Januari 2024   07:00 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampilan cawapres dalam debat terakhir di JCC, Jakarta pada (21/1/2024). (kompas.id/Rony Aryanto Nugroho)

Menyaksikan debat calon wakil presiden kemarin malam, mengingatkan saya pada pengalaman pribadi beberapa waktu lalu, ketika masuk di sebuah kedai kopi (kafe) untuk memesan minuman serta makanan. 

Di depan meja reservasi, sempat bengong dan kesal karena semua daftar menunya menggunakan bahasa asing, termasuk air mineral, tertulis Mineral Water.

Begitu pula dengan para pelayannya, mereka cukup fasih menyebutkan kepada saya nama-nama menu berbahasa asing tersebut. Bahkan, pelanggan lain di samping saya juga terlihat kebingungan dengan istilah-istilah atau nama-nama makanan dan minuman yang ada di kedai tersebut, hingga ia meminta penjelasan lebih jelas kepada sang pelayan.

Terus terang, saya bukan orang yang anti bahasa asing, tetapi mengapa tidak menggunakan bahasa atau istilah nasional saja? 

Di daftar menu, tertulis "Milk Tea" lalu saya tanya, ini seperti apa bentuk dan rasanya? "Campuran teh dan susu, kak," jawab pelayan. "Oh, teh susu?" saya tanya sambil menegaskan. "Iya, kurang lebih seperti itu, kak" katanya.

Dalam hati saya, kenapa tak dinamai "Teh Susu Dingin dan Teh Susu Hangat" saja ya? Lebih familiar serta nasionalis, dan saya perhatikan tidak satu pun ada orang asing di kedai kopi (kafe) itu. Ya, sungguh ironis, jangan-jangan sebagian pengunjung juga tidak memahami namanya, hanya melihat gambar makanan dan minumannya saja.

Bukan hanya kedai kopi ini saja, beberapa tempat acapkali saya amati dan temukan banyak menggunakan istilah atau nama asing, seperti tempat perbelanjaan, apartemen, perumahan, rumah makan, papan nama, tempat hiburan, pemakaman dan lain sebagainya. 

Saya tidak tahu apakah orang yang berjualan di pinggir-pinggir jalan itu paham kalau "Thai Tea" maksudnya adalah Teh Thailand.

Penggunaan Istilah Asing dalam Debat Cawapres

Pada debat cawapres kemarin malam, saya dan mungkin juga kebanyakan orang, lebih banyak mendengar istilah asing daripada lokal atau nasional. Misalnya, Giant Sea Wall, Green Job, Food Estate, Smart Farming, Deforestasi, Greenflation dan lain sebagainya yang kemungkinan besar istilah lokalnya juga sudah ada dalam bahasa Indonesia.

Bisa jadi, semua yang digaungkan oleh para cawapres menggunakan terminologi asing sudah dilakukan atau dijalankan oleh masyarakat Indonesia sejak dahulu kala. 

Misalnya, ada istilah lumbung pangan, kelestarian hutan, panca usaha, pembukaan lahan dan pengawetan hijauan. Artinya, istilah ini sudah ada dan melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Kalaupun belum ada, paling tidak diterjemahkan ke dalam bahasa nasional, bahasa persatuan yakni Indonesia, supaya tidak terkesan memasarkan atau mempopulerkan istilah asing melalui panggung terhormat.

Di samping itu, istilah asing yang diucapkan oleh cawapres belum tentu dipahami oleh masyarakat kalangan bawah, yakni masyarakat desa dan adat. 

Sepanjang debat cawapres berlangsung, dari awal sampai akhir, saya mencatat beberapa istilah asing yang diucapkan oleh masing-masing cawapres. Misalnya, cawapres nomor urut satu, Muhaimin Iskandar mengucapkan istilah asing sebanyak empat kali, yakni Giant Sea Wall, Deforestasi, Reforestasi, dan Policy.

Cawapres nomor urut dua, Gibran Rakabuming Raka, mengucapkan 16 istilah asing. Green Job Smart Farming, One Map Policy, No One Behind, Carbon Capture, Carbon Storage, Food Estate Sustainabililty Report, Costly, Sense of Belonging, Lithium Ferro Phosphate, Food Lost, Food Waste, Combine Harvester, Middle Income Trap dan SDGs.

Sementara cawapres nomor urut tiga, Prof. Dr. Moh Mahfud MD, mengucapkan 6 istilah dalam bahasa asing. Deforestasi, No One Left Behind, Food Estate, Opening Speech, Net Zero Emision dan Recycle.

Pada saat yang sama, terminologi atau istilah lokal sangat sedikit terucap dari lisan mereka. Hanya cawapres nomor urut dua yang mengucapkan istilah atau kearifan lokal, seperti Trihita Karana, Trisakti, Tritangku, Trinitas dan peribahasa jawa, Deso Mowo Coro, Negoro Mowo Toto.

Padahal, Indonesia selain kaya akan sumber daya alamnya, juga kaya akan keberagaman budaya dan istilah-istilah unik untuk menyebut nama tempat atau kegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Mengapa istilah gotong royong, guyub, upacara adat dan kearifan lokal lainnya tidak terdengar pada debat cawapres kemarin.

Kita jadi bertanya, bagaimana mereka mau membangun desa atau membangun Indonesia dari desa, sementara cara membangunnya menggunakan cara asing. Saya mengira, kalau masalah menjaga kelestarian lingkungan hidup dan keberlanjutan, masyarakat Indonesia tidak perlulah diajari dan bahkan seharusnya asing perlu belajar kepada orang Indonesia.

Seharunya forum debat menjadi sarana untuk menasionalisasi bahkan menginternasionalisasi istilah-istilah lokal kita, sehingga dapat diketahui oleh masyarakat Internasional. Bukan malah sebaliknya, melokalisasi atau mengkampanyekan istilah asing. Ini penting, mengingat bahasa merupakan identitas dari bangsa itu sendiri.

Bahasa sebagai Identitas Bangsa

Secara pasti, kita tidak mengetahui maksud pribadi dari penggunaan istilah atau terminologi asing oleh masing-masing cawapres, tapi patut kita duga supaya terlihat dan terdengar intelek, terkini dan menguasai isu-isu internasional yang sedang berkembang dan penting terkait tema debat tersebut.

Bisa juga tujuannya untuk menjebak lawan debat agar kesulitan memahami dan memberikan jawaban, sehingga mengganggu konsentrasi lawan. 

Lebih jauh lagi, sengaja menggunakan istilah asing karena hendak memenuhi kepentingan asing, dan bila benar adanya maka nasionalismenya patut dipertanyakan

Perlu menjadi catatan penting bagi kita semua, debat capres dan cawapres bukan hanya untuk kalangan elit, tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. 

Khususnya, masyarakat desa dan adat yang kemarin menjadi topik bahasan oleh ketiga cawapres. Artinya, penggunaan istilah asing pada debat kemarin mencederai masyarakat desa dan adat.

Peribahasa mengatakan "bahasa adalah bangsa," yang mencerminkan gagasan bahwa bahasa memiliki peran penting dalam membentuk identitas suatu bangsa. Hal ini menyiratkan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi elemen kunci yang membentuk sekaligus mengekspresikan identitas, budaya, dan keberlanjutan suatu kelompok manusia yang membentuk sebuah bangsa.

Bangsa-bangsa yang merdeka dari penjajahan, termasuk Indonesia sudah pasti meninggalkan bahasa penjajah lalu kembali menggunakan nama-nama atau istilah-istilah nasional yang sudah disepakati bersama untuk menyatakan identitas mereka. Sayangnya hal demikian belum menjadi kesadaran bersama masyarakat Indonesia.

Para elit selayaknya menggunakan nama-nama atau istilah-istilah nasional atau lokal, sebagai bukti kecintaan pada bangsa dan negara Indonesia, bukan malah ikut-ikutan menggunakan bahasa asing yang jelas-jelas bisa menggeser atau bahkan menghilangkan keanekaragaman budaya serta kearifan lokal kita.

Kasarnya, secara fisik memang kita sudah tidak terjajah lagi, namun secara psikis dan budaya justru kita sedang terjajah. Terbukti dari pertunjukan debat cawapres kemarin, banyaknya istilah asing yang diucapkan dan dipopulerkan oleh masing-masing cawapres menunjukkan ketidakberdayaannya pada penjajahan gaya baru.

Butuh Kesadaran dan Komitmen Bersama

Kembali pada pengalaman dan pengamatan pribadi saya di awal tulisan ini, bahwa serbuan istilah atau terminologi asing sudah bukan rahasia lagi, bahkan menjamur ke seluruh lapisan masyarakat dan masuk di setiap relung kehidupan bangsa. Mulai dari nama tempat, orang dan kendaraan banyak menggunakan bahasa atau istilah asing.

Menyikapi hal ini tentu hanya tugas satu orang, seluruh komponen bangsa harus bersatu padu melawan penjajahan gaya baru. Terutama kalangan elit yang isinya adalah orang-orang hebat, berpendidikan tinggi, punya jabatan, terkenal, berpengaruh dan punya kekayaan. Capres dan cawapres masuk jajaran elit, sehingga perlu memberikan contoh kepada semua.

Pihak berwenang dalam hal ini pemerintah perlu mengeluarkan aturan secara jelas mengenai penggunaan istilah asing ini, jikapun tidak bisa dihilangkan, paling tidak dibatasi. 

Buat undang-undang untuk mengatur ini semua, mulai dari tempat perbelanjaan, perumahan, apartemen, rumah makan, pendidikan, rumah sakit dan lain sebagainya.

Termasuk juga pada debat capres berikutnya, penyelenggara pemilu (KPU) perlu memberikan aturan yang jelas terkait penggunaan istilah asing bagi peserta debat. Bila perlu dilarang keras menggunakan frasa, peribahasa, nama, istilah asing selama debat berlangsung. Hal ini sebagai bentuk pendidikan kepada masyarakat juga komitmen nasionalisme kita.

Saya khawatir, bila penggunaan nama, frasa, terminologi, serta kalimat asing semakin banyak dan masif dilakukan, suatu saat kita akan menjadi bangsa yang punah, atau paling tidak jadi bangsa linglung karena bengong dan merasa terasing di negeri sendiri.

Butuh kesadaran sekaligus komitmen bersama untuk memelihara bahasa nasional, kearifan lokal sebagai sebuah identitas bangsa dan negara. Kita harus menjadi bangsa merdeka dan berdaulat dengan cara tidak meniru sekaligus menggunakan budaya atau istilah asing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun