Mohon tunggu...
bustanol arifin
bustanol arifin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Happy Reader | Happy Writer

Tertarik Bahas Media dan Politik | Sore Hari Bahas Cinta | Sesekali Bahas Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Terminologi Asing dalam Debat Cawapres

24 Januari 2024   08:39 Diperbarui: 26 Januari 2024   07:00 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampilan cawapres dalam debat terakhir di JCC, Jakarta pada (21/1/2024). (kompas.id/Rony Aryanto Nugroho)

Misalnya, ada istilah lumbung pangan, kelestarian hutan, panca usaha, pembukaan lahan dan pengawetan hijauan. Artinya, istilah ini sudah ada dan melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Kalaupun belum ada, paling tidak diterjemahkan ke dalam bahasa nasional, bahasa persatuan yakni Indonesia, supaya tidak terkesan memasarkan atau mempopulerkan istilah asing melalui panggung terhormat.

Di samping itu, istilah asing yang diucapkan oleh cawapres belum tentu dipahami oleh masyarakat kalangan bawah, yakni masyarakat desa dan adat. 

Sepanjang debat cawapres berlangsung, dari awal sampai akhir, saya mencatat beberapa istilah asing yang diucapkan oleh masing-masing cawapres. Misalnya, cawapres nomor urut satu, Muhaimin Iskandar mengucapkan istilah asing sebanyak empat kali, yakni Giant Sea Wall, Deforestasi, Reforestasi, dan Policy.

Cawapres nomor urut dua, Gibran Rakabuming Raka, mengucapkan 16 istilah asing. Green Job Smart Farming, One Map Policy, No One Behind, Carbon Capture, Carbon Storage, Food Estate Sustainabililty Report, Costly, Sense of Belonging, Lithium Ferro Phosphate, Food Lost, Food Waste, Combine Harvester, Middle Income Trap dan SDGs.

Sementara cawapres nomor urut tiga, Prof. Dr. Moh Mahfud MD, mengucapkan 6 istilah dalam bahasa asing. Deforestasi, No One Left Behind, Food Estate, Opening Speech, Net Zero Emision dan Recycle.

Pada saat yang sama, terminologi atau istilah lokal sangat sedikit terucap dari lisan mereka. Hanya cawapres nomor urut dua yang mengucapkan istilah atau kearifan lokal, seperti Trihita Karana, Trisakti, Tritangku, Trinitas dan peribahasa jawa, Deso Mowo Coro, Negoro Mowo Toto.

Padahal, Indonesia selain kaya akan sumber daya alamnya, juga kaya akan keberagaman budaya dan istilah-istilah unik untuk menyebut nama tempat atau kegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Mengapa istilah gotong royong, guyub, upacara adat dan kearifan lokal lainnya tidak terdengar pada debat cawapres kemarin.

Kita jadi bertanya, bagaimana mereka mau membangun desa atau membangun Indonesia dari desa, sementara cara membangunnya menggunakan cara asing. Saya mengira, kalau masalah menjaga kelestarian lingkungan hidup dan keberlanjutan, masyarakat Indonesia tidak perlulah diajari dan bahkan seharusnya asing perlu belajar kepada orang Indonesia.

Seharunya forum debat menjadi sarana untuk menasionalisasi bahkan menginternasionalisasi istilah-istilah lokal kita, sehingga dapat diketahui oleh masyarakat Internasional. Bukan malah sebaliknya, melokalisasi atau mengkampanyekan istilah asing. Ini penting, mengingat bahasa merupakan identitas dari bangsa itu sendiri.

Bahasa sebagai Identitas Bangsa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun