Berbicara anak berarti berbicara masa depan kita. Artinya, kesejahteraan, kebahagiaan serta kesuksesan ada pada putra dan putri kita. Mereka merupakan aset terbesar dalam kehidupan yang sepuluh atau dua puluh tahun ke depan akan menjadi pelopor perubahan, pemimpin serta penerus perjuangan bangsa dan negara.
Bila demikian adanya, memastikan mereka terbentuk dengan cara yang benar hingga menjadi individu yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2023 tentang tujuan pendidikan nasional adalah kewajiban sekaligus tanggungjawab kita semua.
Untuk merealisasikan generasi tersebut di atas tak lain kecuali melalui pemilihan pendidikan yang mampu mendidik dan mengantarkan anak didiknya mengenal diri sendiri dan Tuhannya. Mampu membentuk anak-anak kita menjadi pribadi berilmu, beriman, beramal, dan beradab. Pendidikan yang berorientasi bukan hanya pada prestasi atau pencapaian duniawi semata, namun juga kesuksesan, kesejahteraan serta kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sekilas nampak sederhana dan sangat mudah diwujudkan, namun ketika berhadapan dengan kenyataan semua menemui kesulitan seperti tanpa ada ujungnya. Ya, mendidik anak memang gampang-susah, apalagi mau ideal seperti yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional di atas. Seorang pemerhati pendidikan pernah mengatakan, "untuk mendidik satu orang anak, dibutuhkan orang satu kampung dan itu juga belum tentu berhasil."
Sialnya, bilamana mengalami kegagalan dalam mendidik anak, semuanya saling menyalahkan dan saling lempar tanggungjawab. Sebenarnya, ini tanggungjawab siapa? Ya, tanggugjawab kita. "Semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru," kata Ki Hajar Dewantara. Lalu, bagaimana supaya pendidikan itu sukses? Kuncinya, ada pada pendidikan tiga serangkai.
Sukses tidaknya proses pendidikan itu tergantung dari tiga orang ini: orang tua, guru dan anak. Ketiganya merupakan satu rangkaian yang tak boleh diputuskan layaknya sebuah rantai. Satu saja terputus, maka akan berdampak pada yang lain. Harus saling kerja sama dan sama-sama kerja satu sama lain supaya semua harapan dapat mewujud menjadi kenyataan.
Pertama, orang tua. Kemauan dan kesadaran pertama memang harus hadir dari kedua orang tua. Sebab, bagaimanapun kedua orang tua lah yang memiliki tanggungjawab mendidik serta mengantarkan anak-anaknya menjadi manusia seutuhnya. Mereka yang punya cita-cita ingin seperti apa dan hendak dibawa kemana anak-anaknya.
Orang tua harus memiliki kemauan kuat dan sungguh-sungguh dalam mendidik anak sekaligus memberikan dukungan penuh kepada putra-putrinya. Andaikata kedua orang tua atau salah satu dari mereka tidak punya kemauan, jangan berharap anak-anaknya bisa menjadi manusia terdidik dan sukses mengarungi kehidupan di dunia dan akhirat nanti. Â
Kedua, guru atau pendidik. Sebagai orang yang mendapatkan tugas mendidik dari orang tua, guru punya andil besar dalam mengantarkan kesuksesan seorang anak. Maka, kesungguhan dalam menstransformasikan ilmu sekaligus nilai kepada peserta didiknya harus dimiliki oleh seorang guru yang ditopang dengan semangat mengabdi untuk negeri.
Tanpa semangat guru, niscaya tidak akan lahir generasi terdidik yang mengusasi beragam ilmu pengetahuan sekaligus karakter moral melalui proses pendidikan. Pepatah Arab mengatakan yang artinya begini, "Andaikata tidak ada guru, niscaya aku tidak akan pernah tahu siapa Tuhanku." Jadi, posisi guru sangat menentukan suksesnya pendidikan. Â Â
Ketiga, anak atau siswa. Orang tuanya sudah memberikan dukungan, gurunya juga semangat mengajar, akan tetapi anak atau siswa tidak memiliki kemauan, ya, jangan berharap juga bisa sukses menjalani proses pendidikan. Justru, kemauan anak menjadi kunci dari semuanya. Jika orang tua kurang memberikan dukungan, guru juga demikian.
Selama sang anak atau siswa punya keinginan menggebu-gebu untuk sukses dan terus belajar, kesempatan itu masih terbuka lebar. Sebab, yang akan belajar dan menerima pembelajaran adalah dia sendiri, bukan orang tua apalagi guru. Bila dia enggan belajar, pupus sudah harapan kedua orang tuanya mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan di masa depan.
Keluarga, Sekolah dan Masyarakat
Secara konstitusi atau kelembagaan, ada juga tiga komponen yang merupakan satu kesatuan dari sukses tidaknya proses pendidikan, meliputi: Keluarga, Sekolah dan Masyarakat. Artinya, kita semua memiliki tugas serta tanggungjawab untuk turut serta mencerdaskan kehidupan anak bangsa, mulai dari keluarga, sekolah hingga masyarakat.
Lembaga pertama yang harus ambil bagian adalah keluarga, karena pendidikan pertama dan paling utama memang seharusnya berawal dari rumah atau keluarga. Penanaman nilai-nilai iman, moral, etika dan norma sosial lainnya dilakukan oleh keluarga di rumah. Di sana sudah ada kedua orang tua, kakek-nenek, kakak-adik, paman-bibi dan keluarga besar lainnya.
Keluarga menjadi pondasi sekaligus benteng utama bagi tumbuh kembang seorang anak, sebelum nantinya mereka berinteraksi dengan dunia luar. Dukungan kasih sayang sekaligus emosional harus didapatkan anak sejak dari rumah, termasuk juga prinsip-prinsip kehidupan yang senantiasa dipegang teguh dan diperjuangkan oleh seorang anak.
Kedua, sekolah menjadi tempat atau gudangnya ilmu pengetahuan bagi seorang anak. Lewat kurikulum pendidikan yang disajikan, anak mendapatkan beragam bentuk ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai penting untuk perkembangan intelektual dan sosial seorang anak. Interaksi di dalam kelas, kegiatan ekstrakurikuler, dan lingkungan belajar di sekolah.
Semuanya menjadi penting dalam rangka membentuk dan mengantarkan anak didik menjadi pribadi berilmu, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sekolah, termasuk di dalamnya pemerintah dalam mebuat sebuah kebijakan mengenai kurikulum yang akan diberikan kepada generasi bangsa.
Peran masyarakat juga tidak kalah penting dibandingkan dengan peran keluarga dan sekolah. Mereka juga dapat membentuk kepribadian seseorang melalui kebiasaan-kebiasaan atau nilai budaya yang senantiasa di pegang teguh. Bahkan, masyarakat menjadi kunci sukses tidaknya seseorang dalam menempuh proses pendidikan kehidupan.
Melalui interaksi setiap hari antara anak dan masyarakat maka dapat merubah sikap dan cara pandang seorang anak terhadap nilai-nilai kehidupan yang sudah tertanam dalam dirinya. Maksudnya, apa yang sudah didapatkan di rumah dan sekolah akan ikut terwarnai dan bahkan hilang disebabkan pengaruh dari lingkungan sekitar atau masyarakat.
Perlu kita ketahui, kadang-kadang kita sudah menanamkan nilai-nilai iman, moral dan etika di rumah, kemudian sudah kita bekali juga dengan ilmu pengetahuan dan kemampuan sosial di sekolah, tapi keduanya bisa luntur ketika sudah berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Inilah kekuatan masyarakat dalam membentuk kepribadian seseorang. Â Â
Pada intinya, untuk sukses mendidik anak sesuai dengan cita-cita kita sebagai orang tua dan juga pendidik atau tenaga kependidikan sebagaimana tertuang dalam tujuan pendidikan nasional, maka peran penting ketiga unsur tersebut di atas harus sama-sama berkerja secara baik dan maksimal. Satu saja terputus maka akan sangat berdampak pada yang lain.
Memastikan anak-anak kita terdidik dengan baik dan benar, berarti kita perlu memastikan tiga mata rantai ini bekerja secara optimal dan juga benar. Mulai dari kedua orang tua, guru dan anak serta secara kelembagaan, mulai dari keluarga atau rumah, sekolah dan masyarakat itu sendiri. Semuanya harus bersama dan bersatu-padu membentuk generasi baru, masa depan Indonesia itu sendiri.
Teringat ungkapan Ki Hajar Dewantara, "Ing Ngarso Sung Tuledho, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani," (Di depan memberikan teladan, di tengah membangun motivasi dan di belakang memberikan dorongan). Semuanya harus saling melengkapi dan memberi, bukan terserah orang tua atau keluarga, bukan juga guru atau sekolah, dan bukan juga masyarakat atau anak, tapi ketiganya harus seiring seirama dan melangkah bersama.
Akhirnya, kita harus mengakui bahwa pendidikan bukanlah tanggung jawab tunggal dari satu entitas saja, melainkan hasil dari kolaborasi yang erat antara orang tua, guru dan anak serta keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dengan memahami dan memperkuat peran masing-masing unsur, diharapkan pendidikan dapat menjadi lebih holistik dan mempersiapkan anak atau siswa untuk menghadapi tantangan dunia dengan lebih baik.
  Â
 Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI