Tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia hadir dalam acara Paku Integritas KPK di Jakarta, Rabu (17/1/2024). Mereka hadir bukan dalam rangka debat atau adu program pemberantasan korupsi, tetapi sengaja diundang untuk mendengarkan penyampaian berbagai masalah dan hambatan pemberantasan korupsi oleh Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) kepada para kontestan pilpres 2024.
Setelah menyampaikan materi, KPK kemudian memberikan kesempatan kepada tiga paslon presiden dan wakilnya untuk memberikan tanggapan atau menyampaikan gagasannya perihal cara atau pendekatan mereka dalam memberantas korupsi di Indonesia. Kesempatan pertama diberikan kepada calon presiden nomor urut satu, Anies Rasyid Baswedan dan terakhir capres nomor urut tiga, Ganjar Pranowo.
Calon presiden nomor urut dua, Prabowo Subianto, bertekad melakukan pencegahan korupsi dengan pendekatan sistematik dan realistik. Salah satu caranya dengan memberikan jaminan peningkatan kualitas hidup serta menaikkan gaji para pejabat. Ia mengacu pada negara maju, dimana negara menjamin kualitas hidup para pejabat sipil seperti Mahkamah Agung sekaligus memberikan gaji paling tinggi sehingga mereka tidak ada potensi korupsi.
Beda, Teori dan Hasil Penelitian
Bila mengacu pada teori Gone yang dikemukakan oleh Jack Bologne tentang faktor penyebab seseorang melakukan tindak pindana korupsi, maka pernyataan Prabowo Subianto terkait penyebab pejabat melakukan korupsi karena gaji rendah tersebut tak dapat dibenarkan dan otomatis cara mencegah perilaku korupsi melalui pendekatan sistematik dan realistik dengan menaikkan gaji para pejabat juga tidak tepat.
Menurut teori ini ada empat penyebab mengapa orang melakukan tindakan korupsi. Pertama, karena faktor Greedy (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), Exposure (pengungkapan). Gamblangnya, orang melakukan tindakan korupsi karena faktor keserakahan alias tidak pernah puas atas apa yang sudah mereka capai atau miliki.
Jadi, setinggi dan sebesar apapun gaji atau pendapatan seseorang bila masih ada sifat serakah pada dirinya niscaya tidak akan menghentikannya untuk berlaku korup. Keserakahan semakin memperoleh keleluasaan bila ada kesempatan untuk melakukan korupsi, dan kesempatan itu salah satunya ada pada kekuasaan atau jabatan. "Kekuasaan itu cenderung korup, kekuasaan absolut korup seratus persen," Lord Acton.
Masih menurut teori ini, motif seseorang berani melakukan korupsi karena faktor kebutuhan atau gaya hidup yang berlebihan. Kebutuhan yang melampaui pendapatan biasanya membuat orang mencari cara supaya dapat memenuhi kebutuhannya, salah satunya dengan melakukan penipuan, perampokan, korupsi atau tindak kejahatan lainnya.
Gaya hidup berlebihan selalu identik dengan hidup glamor, memenuhi ruang hidupnya dengan barang-barang mewah serta mahal meskipun pada dasarnya tidak memiliki cukup uang. Gaji 100 juta tapi gaya hidup 1 miliar, akhirnya orang seperti ini cenderung melakukan segala cara, termasuk korupsi, untuk mendapatkan uang supaya bisa hidup mewah.
Terakhir adalah Exposure (pengungkapan). Lemahnya hukum atau penindakan terhadap para koruptor membuat orang terutama pejabat merasa aman dan nyaman berlaku korup. Mereka yang pernah tertangkap melakukan tindak pidana korupsi cenderung mengulangi perbuatan korupsi lagi. Hukum yang ada dicari celahnya agar bisa berlaku korup serta selamat dari jerat hukum itu sendiri, dan ini banyak terjadi.
Pengungkapan kasus korupsi yang tidak dibarengi dengan penegakan hukum secara benar dan dapat menimbulkan efek jera bagi para koruptor akan membuat koruptor semakin berani dan semangat melakukan korupsi lagi. Bentuk sanksi atau hukuman yang terlalu ringan terhadap para koruptor membuat mereka mempermainkan hukum dan secara sembunyi atau bahkan terang-terangan mengkorupsi uang rakyat Indonesia.
Pada intinya, pangkal dari semua motif seseorang melakukan tindakan korupsi adalah karena sifat serakah pada dunia atau harta yang sudah membelenggu jiwanya. Sementara tiga faktor lainnya hanya sebatas pendukung terjadinya perilaku korup tersebut. Dorongan serakah yang dibantu oleh adanya kesempatan melalui jabatan atau kekuasaan dan kebutuhan memenuhi gaya hidup lalu ringannya hukuman bila kedapatan melakukan korupsi.
Lah, kalau sumber utamanya adalah keserakahan individu mengapa solusinya menaikkan gaji mereka? Namanya serakah pasti tidak akan pernah merasa cukup, digaji satu miliar minta dua, tiga, empat dan bahkan seratus miliar. Kalau perbandingannya dengan negara maju, mungkin saja bukan karena gajinya yang tinggi, tetapi moralnya sudah teruji.
Saya meyakini faktor kemajuan sebuah bangsa bukan terletak pada banyaknya materi, tetapi karena majunya ilmu pengetahuan yang dibarengi dengan moralitas dan integritas tinggi. Hal ini tercatat dalam sejarah, maju dan mudurnya peradaban sebuah bangsa itu tergantung dari rusak dan baiknya ilmu serta moral bangsa itu sendiri. Dalam artian, bila sebuah bangsa marak adanya kerusakan termasuk korupsi, sesungguhnya sedang terjadi kerusakan ilmu dan moral.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahayu Ningsih Suharyadi dan Hadi terkait dengan faktor psikologis yang mempengaruhi seseorang melanggar integritas yakni, rendahnya religiulitas, rendahnya moral, motivasi berkuasa, gaya hidup mewah, dan kurang bahagia. Lima faktor ini menjadi penyebab utama banyak pejabat melakukan korupsi.
Pada kenyataannya memang benar, mengaku berpegang teguh pada nilai sila Ketuhanan Yang Maha Esa, nyatanya jauh dari nilai-nilai agama atau nilai ketuhanan. Nampak berbeda antara ucapan dengan perbuatan, antara janji dan kenyataan, antara sumpah dan kebijakan. Terlihat religius, agamis dan saleh tapi ternyata korupsi uang negara. Inilah mengapa mereka korupsi, hukum Tuhan saja dilanggar apalagi hukum negara.
Begitu pula dengan rasa malu, nampaknya sudah mulai hilang dari kamus kehidupan koruptor. Jangankan merasa bersalah lalu meminta maaf ketika sudah ditetapkan jadi tersangka korupsi, justru mereka masih bisa tersenyum dan bahkan melakukan fitnah sana-sini. Ini juga menjadi pemicu seorang pejabat semakin berani berlaku korup, rendahnya moral dan integritas.
Motivasi mendapatkan keuntungan materi besar melalui jabatan atau kekuasaan juga menjadi salah satu penyebab terjadinya perilaku korup para pejabat. Artinya, tujuan utama berkuasa pada dasarnya memang dalam rangka memperkaya diri, bukan mengabdi kepada masyarakat dan negeri. Niatan inilah yang pada akhirnya mengantarkan seseorang menjadi koruptor dan menilap uang negara melalui berbagai sektor.
Hidup mewah dan kurang bahagia sepertinya sudah menjadi budaya bagi kehidupan pejabat negeri. Seperti bukan pejabat namanya jika belum hidup mewah, dan belum bahagia rasanya bila tidak bergelimang harta. Sehingga mereka berbondong-bondong korupsi, mengumpulkan sekaligus memamerkan kekayaan supaya terlihat mewah dan bahagia.
Menaikkan Moralitas dan Integritas Pejabat Â
Sekali lagi, koruptor bukan karena mereka kekurangan gaji, tapi karena sudah kehilangan jati diri. Jauhnya mereka dari nilai-nilai agama menyebabkan tumbuh suburnya sifat serakah pada dunia, abai terhadap moralitas serta integritas, cenderung hidup hedonis dan konsumtif serta mengabaikan prinsip-prinsip kebenaran, kejujuran, keadilan dan keilmuan.
Oleh karenanya, rasanya kurang tepat bila hendak mencegah perilaku korupsi para pejabat dengan cara menaikkan gaji mereka. Sebab, pangkal utamanya adalah moral bukan materi. Banyak contohnya, pejabat negara yang lebih memilih hidup sederhana dan bahkan enggan menerima gaji dari negara, semisal jenderal Hoegeng, Lopa, Hatta dan lain sebagainya. Padahal, jika mau mereka juga punya kesempatan mendulang materi.
Justru yang harus diperbaiki dan dikuatkan adalah mentalitas, moralitas dan integritas para pejabat tersebut agar menghilangkan sikap serakahnya pada dunia. Dekatkan mereka kepada agama dan nilai-nilai luhur Pancasila supaya terbentuk kepribadian yang jujur, benar, ulet dan bertanggungjawab dalam menjalankan tugas sebagai pelayan rakyat. Cegah mereka dari hidup glamor atau hedonis supaya tidak berambisi melakukan tindakan korupsi.
Saya sepakat gaji pejabat pemerintah, baik sipil maupun militer serta seluruh pegawainya dinaikkan, bukan dalam rangka mencegah terjadinya tindakan korupsi, tetapi meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan mereka. Sementara untuk mencegah perbuatan korupsi para pejabat negara, naikkan mentalitas, moralitas dan integritas mereka. Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H