Mohon tunggu...
bustanol arifin
bustanol arifin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Happy Reader | Happy Writer

Tertarik Bahas Media dan Politik | Sore Hari Bahas Cinta | Sesekali Bahas Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

6 Alasan Penting Mengapa Perlu Meningkatkan Literasi Media

17 Januari 2024   15:26 Diperbarui: 23 Januari 2024   09:34 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi media sosial. (Dok Shutterstock via Kompas.com)

Sadar atau tidak, saat ini kita sedang berada dalam pusaran peradaban informasi yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi. Peradaban ini mengarahkan orang secara cepat mencari, mengolah, mengelola, menyimpan dan menyebarkan informasi. 

Dalam istilah lain, teknologi informasi mengarahkan kita menjadi produsen sekaligus konsumen informasi.

Masa keterbukaan informasi ini sekaligus mengantarkan masyarakat pada peniadaan sekat-sekat informasi. Dampak positifnya, masyarakat memiliki bebas akses informasi dari mana dan kapan saja sesuai dengan keinginan serta kebutuhannya. Hanya saja, bila tidak bijak dalam memanfaatkan keterbukaan informasi ini bisa jadi bumerang yang sangat berbahaya.

Dominasi noise (kebisingan) yang bersumber dari media online dan sosial menjadi salah satu penanda datangnya mara bahaya tersebut. Ketika sesuatu yang nirfaedah menjadi dominan niscaya yang muncul adalah kegaduhan belaka. Akhirnya, tak dapat dipungkiri kalau kehadiran teknologi informasi ini semakin membuat runyam dan pengap ruang kehidupan kita.

Melalui tesisnya, Medium is the Message, McLuhan mengatakan bahwa teknologi informasi tidak sekadar menyuplai informasi, tetapi juga membentuk cara masyarakat berpikir sekaligus bertindak. 

Lima dekade kemudian, Nicholas Car dalam buku The Shallows: What the internet is Doing to Our Brains mengatakan, sirkuit otaknya berubah gara-gara teknologi informasi.

Kondisi ini sudah diprediksi oleh futurolog, Alvin Toffler, lebih dari satu dekade lalu bahwa era peradaban teknologi informasi ini akan menjadi sumber kegaduhan informasi. Kemudian, dia menekankan pentingnya kemampuan melakukan seleksi terhadap terpaan informasi sebagai kunci kesehatan dan keberadaban kita.

Bahkan jauh sebelum Toffler, kitab suci Al-Qur'an yang turun di abad ke-7 sudah lebih dahulu memberi panduan supaya kita senantiasa memiliki kemampuan meneliti, memilah sekaligus memilih informasi yang kita terima. 

Sikap tabayyun inilah yang dapat mengantarkan kita pada kemampuan membedakan fakta, berita, opini, gosip, hoaks, dan juga propaganda.

Memiliki Kemampuan Analisis

Kemampuan menganalisis sebuah informasi ini perlu kita kuasai agar dapat memahami mana informasi yang benar dan salah, sekaligus menyadari bahwa tidak semua informasi yang kita terima harus disebarluaskan. 

Adakalanya, sebuah informasi memang mengandung kebenaran setelah melalui proses verifikasi, validasi dan konfirmasi atau tabayyun.

Namun, tak perlu kita sebarkan karena dapat menimbulkan kegaduhan. Misalnya, waktu dan tempatnya yang kurang tepat, seperti berita kedaluwarsa yang didaur ulang atau kejadiannya di luar negeri tapi disebarkan di dalam negeri. Bisa juga informasi yang menimbulkan ketakutan, kekhawatiran berlebihan dan atau perpecahan antar sesama anak bangsa.

Sebagai contoh, seorang mahasiswi tertidur di dalam kendaraan umum. Tiba-tiba bangun, dan langsung melompat ke luar pintu setelah melihat sekelilingnya hanya ia seorang sebagai penumpang. 

Setelah diusut, sehari sebelumnya beredar informasi, seorang wanita diperkosa oleh sekelompok orang di dalam angkutan umum hingga meninggal dunia. Mahasiswi ini membaca informasi tersebut dan ia merasa ketakutan.

Sampai saat ini, saya masih ragu dan khawatir setiap kali hendak makan sayur kangkung. Salah satu sebabnya, pernah mendapatkan informasi seseorang menuliskan pengalamannya makan di warung makan dan mendapati satu batang kangkung tersebut masih ada ulatnya. Judulnya juga menakutkan, "Hati-hati kalau makan kangkung di rumah makan."

Mungkin, sang penulis hendak memberikan edukasi atau peringatan kepada khalayak supaya berhati-hati tatkala makan sayuran berdasarkan pengalaman pribadinya. 

Hanya saja, sebagian orang malah menjadi takut atau khawatir setelah membacanya. Bahkan, tidak sedikit khalayak yang memboikot rumah makan tertentu setelah membaca sebuah informasi.

Fakta kedua menyajikan, pengguna internet di Indonesia mencapai 215 juta pada tahun 2023, jumlahnya naik dibandingkan dengan tahun 2022 yang hanya 210 juta pengguna (APJII 2023). 

Sementara pengguna aktif media sosial, jumlahnya mencapai 167 juta pengguna. Jumlah ini mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai angka 191 juta.

Namun, secara umum data ini menunjukkan, masyarakat Indonesia semakin melek internet dan secara teknis dapat dikatakan masyarakat Indonesia juga melek media sosial. 

Artinya, ketergantungan kita pada media sudah bukan rahasia lagi, bahkan menurut sebuah penelitian 70 persen waktu masyarakat Indonesia, termasuk kita, dihabiskan untuk berinteraksi dengan media dengan rata-rata 3 jam 18 menit setiap hari (We Are Social).

Tentu saja, kabar sangat baik ini harapannya dapat selaras dengan tingkat literasi masyarakat pada media itu sendiri, sehingga kehadiran informasi teknologi ini bisa menjadi keberkahan tersendiri bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Dalam arti lain, lebih banyak dampak positifnya daripada negatifnya, dan hal ini patut untuk kita syukuri.

Sehingga, apa yang sudah diramalkan oleh Alvin Toffler dan kekhawatiran Nicholas Car serta para pegiat literasi media lainnya betul-betul tidak akan terjadi. Ya, meskipun ada, jumlahnya mungkin sangat sedikit, dan itupun karena faktor belum mendapatkan pencerahan bagaimana seharusnya memanfaatkan kehadiran teknologi informasi sebaik mungkin.

Kemampuan kita untuk menggunakan media, baik sebagai penonton, pendengar, pembaca maupun sebagai pengguna memungkinkan kita menerima dan mencari isi media. 

Pertanyaan muncul kemudian, apakah beragam dan banyaknya isi media yang kita terima atau sebarkan itu merupakan informasi yang kita butuhkan dan bermanfaat untuk diri dan orang lain.

Mengapa Literasi Media Penting?

Jadi, kembali pada judul tulisan ini, mengapa literasi media penting? 

Pertama, supaya kita tidak terjebak dan turut menjadi bagian dari sumber kegaduhan informasi itu sendiri. 

Kita bisa melihat hingar-bingar kehidupan dunia maya saat ini, masih dipenuhi dengan penyebaran hoaks, provokasi, gosip, caci dan maki serta keburukan-keburukan lainnya.

Melihat kenyataan ini, maka kita dapat menyimpulkan tingkat literasi media kita masih sangat rendah dan pastinya perlu ditingkatkan, dan yang paling penting adalah kita bukan termasuk bagian penikmat, pembuat dan penyebar segala jenis keburukan tersebut. Salah satu caranya, adalah senantiasa meningkatkan literasi media kita setiap saat.

Kedua, kepekaan dan kemampuan menganalisis sebuah konten media harus dibarengi dengan keberanian mengadukan konten negatif kepada pihak berwenang, sehingga kita juga berperan sebagai penyeimbang dalam arus informasi. 

Maraknya konten asusila, hoaks, kekerasan atau bullying mampu kita cegah bilamana memiliki tingkat literasi tinggi pada media.

Ketiga, literasi media menjadi penting bagi kita semua supaya bisa berperan aktif melakukan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya literasi media dan melek media. 

Memberikan informasi mencerahkan dan mencerdaskan, menginspirasi serta memberdayakan masyarakat sehingga memiliki bekal dan modal pengetahuan yang cukup dalam menghadapi luapan banjir informasi ini.

Istilah literasi media dan melek media harus diketahui sekaligus disadari oleh masyarakat luas supaya mereka dapat memilah dan menggunakan informasi dengan bijak, dapat memberikan evaluasi serta advokasi kepada orang lain tentang bagaimana cara berinteraksi, berkomunikasi yang baik lagi benar lewat saluran teknologi informasi.

Keempat, literasi media membantu kita memiliki sikap kritis. Dengan memahami cara media bekerja, kita dapat melihat melampaui permukaan berita dan menganalisis pesan yang disampaikan. 

Hal ini memungkinkan kita untuk tidak hanya menerima informasi begitu saja, tetapi juga untuk menilai dan mempertanyakan keberimbangannya.

Kelima, boleh dikata saat ini kita sedang terpapar oleh media sosial, yang dapat memengaruhi pembentukan identitas digital kita. 

Literasi media membantu kita memahami dampak penggunaan media sosial terhadap kesehatan mental, hubungan sosial, dan citra diri. Dengan demikian kita dapat membuat keputusan yang lebih bijak dalam berinteraksi di dunia maya.

Keenam, semakin canggih teknologi informasi mestinya berbanding lurus dengan ketinggian etika dalam menggunakannya, sehingga literasi media ini juga mencakup pemahaman tentang etika penggunaan teknologi. 

Kita dapat mengetahui dampak teknologi terhadap privasi dan keamanan. Literasi media memungkinkan kita untuk menjadi pengguna teknologi yang cerdas beradab, dan bertanggung jawab.

Akhirnya, era peradaban teknologi informasi ini, literasi media adalah kunci untuk membekali kita dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk berhasil. 

Dengan literasi media, kita dapat menghadapi tantangan informasi yang fluktuatif, mengembangkan sikap kritis dan menjadi peredam kegaduhan sekaligus sumber keteduhan di tengah pengapnya kehidupan. 

Oleh karenanya, literasi media harus menjadi prioritas agar kita dapat berperan peran aktif dan positif dalam meneduhkan kegaduhan informasi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun